PALANGKA RAYA – Tiga terdakwa kasus politik uang di Kabupaten Barito Utara (Batara) telah divonis bersalah. Vonis ini menjadi amunisi tambahan bagi pasangan calon (paslon) Gogo–Helo dalam sidang gugatan hasil pemungutan suara ulang (PSU) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Praktisi hukum Ari Yunus Hendrawan mengatakan, putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), terlebih jika menyebut adanya keterkaitan dengan tim kampanye atau struktur paslon tertentu, bisa dijadikan bukti tambahan dalam sidang sengketa di tingkat MK.
“Namun, MK tetap akan menilai apakah praktik politik uang itu memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) atau tidak, serta berdampak signifikan terhadap hasil perolehan suara,” kata Ari, Selasa (22/4/2025).Menurutnya, putusan pidana hanyalah salah satu komponen bukti, bukan penentu tunggal.
Ia menambahkan, terdapat dua aspek penting yang menentukan peluang gugatan Gogo–Helo dikabulkan MK. Pertama, keterkaitan langsung antara terdakwa dengan paslon yang menang. Kedua, dampaknya terhadap hasil perolehan suara.
“Kalau terdakwa merupakan bagian dari tim sukses resmi atau ada bukti keterhubungan langsung dengan paslon pemenang, misalnya melalui alat peraga kampanye, status sebagai saksi partai politik, atau tercatat sebagai bagian dari tim kampanye, maka peluangnya akan lebih besar,” tegas Ari.
Lebih lanjut ia mengatakan, MK akan mempertimbangkan apakah tanpa praktik politik uang tersebut hasil pemilu akan berbeda.“Jika selisih suara tipis dan vonis menunjukkan praktik TSM, peluang Gogo–Helo akan makin besar,” tambahnya.
Ari menegaskan, MK akan mempertimbangkan segala bentuk bukti yang memengaruhi keabsahan hasil pemilu, termasuk vonis pidana politik uang. Namun, MK tidak otomatis mendiskualifikasi paslon hanya karena adanya vonis itu.
“MK akan menilai apakah praktik tersebut bersifat TSM atau tidak, apakah pelaku terafiliasi dengan paslon tertentu, serta apakah dampaknya signifikan terhadap hasil perolehan suara,” jelasnya.Menurutnya, vonis pidana dengan hukuman tiga tahun penjara menunjukkan bahwa hakim meyakini adanya kesalahan serius terdakwa.
“Hukuman tiga tahun itu tergolong berat, karena biasanya vonis politik uang berkisar 3–4 tahun. Jadi ini bisa jadi indikator kuat, tetapi tetap perlu bukti pendukung lain untuk memperkuat posisi di persidangan MK,” katanya.
Terkait kemungkinan diskualifikasi paslon, Ari menyebut MK tidak terikat pada putusan Bawaslu. “Meskipun Bawaslu menyatakan paslon Agi–Saja tidak terbukti bersalah, tetapi jika dalam sidang MK ditemukan fakta hukum baru yang menunjukkan keterlibatan langsung atau tidak langsung, diskualifikasi bisa saja terjadi,” jelasnya.
“Perlu diingat, MK bisa mengeluarkan putusan ultra petita atau melebihi petitum, jika ditemukan pelanggaran TSM yang signifikan oleh paslon pemenang, meskipun sebelumnya lolos di Bawaslu atau Gakkumdu,” pungkasnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Palangka Raya (UPR), Ricky Zulfauzan, menyebut vonis kasus ini sesuai dengan harapan publik. Namun, ia mengingatkan bahwa putusan tersebut belum final, karena masih terbuka ruang untuk upaya banding.
“Putusan ini bisa menjadi bukti tambahan yang memperkuat gugatan di MK,” tegas Ricky.Menurutnya, peluang gugatan di MK akan bergantung pada bukti bahwa tiga terdakwa itu bekerja atas perintah atau sepengetahuan paslon penerima manfaat politik uang.
“Bukti bisa berupa transfer uang, komunikasi dalam bentuk pesan singkat, atau bentuk koordinasi lain,” jelasnya.
Menurutnya, pidana pemilu memang bisa dijadikan dasar gugatan, tetapi yang lebih penting adalah membuktikan korelasi langsung antara terdakwa dan paslon penerima manfaat politik uang.
“Jika tim hukum Gogo–Helo dapat membuktikan ada perintah langsung atau bukti transfer dari paslon penerima manfaat, maka kemungkinan cukup besar gugatan dikabulkan,” ujarnya.Ricky menilai keputusan hakim dalam kasus ini telah memenuhi rasa keadilan masyarakat.“Keputusan hakim kali ini sudah tepat,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Muhammad Al Ghazali, Tajjalli Rachman Barson, dan Widiana Tri Wibowo hanya bisa tertunduk di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Muara Teweh saat mendengarkan vonis hukuman.
Tiga terdakwa pemberi uang dalam kasus dugaan politik uang pada masa pemungutan suara ulang (PSU) di Kabupaten Batara, dijatuhi hukuman 36 bulan penjara, denda 200 juta, subsider 1 bulan kurungan.
Perkara nomor 39 yang menyeret tiga terdakwa telah diputuskan. Mereka dianggap melanggar Pasal 187a ayat 1 Undang-Undang Pemilihan Umum. Vonis hakim lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yang sebelumnya menuntut hukuman 7 bulan penjara, denda Rp200 juta, subsider 1 bulan kurungan.
Begitu juga dengan dua orang penerima uang, Haris dan Halim. Pemilik perkara nomor 38 itu dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman masing-masing 5 bulan penjara, denda Rp200 juta, subsider 1 bulan kurungan.
“Untuk perkara pemberi uang, mereka divonis 36 bulan tahanan, membayar denda 200 juta, subsider 1 bulan penjara,” beber Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Barito Utara (Batara) Widha Sinulingga saat dihubungi Kalteng Pos, Senin (21/4/2025). (irj/ce/ram)