Jumat, April 25, 2025
26.7 C
Palangkaraya

Buku Hantu Tuan Kebun,Ketimpangan di Balik Perkebunan Sawit yg Mengusik Nurani

PALANGKA RAYA – Dua jurnalis investigatif, Budi Baskoro dari Mongabay.co.id dan Aldo Sallis dari Kompas.id, meluncurkan buku bertajuk Hantu Tuan Kebun.

Buku tersebut hadir sebagai refleksi atas berbagai konflik agraria dan sosial yang dipicu oleh ekspansi besar-besaran industri kelapa sawit di Kalimantan Tengah.

Didukung oleh organisasi lingkungan Save Our Borneo (SOB), buku ini menyajikan narasi mendalam, data lapangan, serta kisah-kisah nyata dari dua wilayah dengan tutupan sawit terluas di Kalimantan Tengah: Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan Kabupaten Seruyan.

“Para tuan kebun itu seperti hantu. Kehadirannya mengancam dan terkadang ditakuti. Rupanya tak terlihat, tetapi bisa dirasakan,” kutipan tersebut menjadi salah satu pengantar di dalam buku Hantu Tuan Kebun yang sekaligus merangkum kegelisahan masyarakat terhadap aktor-aktor besar di balik industri sawit.

Berdasarkan data Mapbiomas Indonesia tahun 2022, luas lahan sawit di Kalimantan Tengah mencapai 2 juta hektare. Kotim dan Seruyan menjadi dua kabupaten dengan kontribusi terbesar, masing-masing seluas 577 ribu hektare dan 337 ribu hektare.

 

Luasnya areal ini mencerminkan alih fungsi hutan yang masif dan berdampak langsung pada kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat sekitar.

Namun, luasnya perkebunan sawit tersebut belum menjamin peningkatan kesejahteraan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kotawaringin Timur menunjukkan masih ada 26.570 jiwa penduduk miskin dari total 443.030 jiwa.

Sementara di Seruyan, konflik berkepanjangan yang berpangkal dari sengketa lahan bahkan memicu tragedi kekerasan yang dikenal sebagai Bangkal Berdarah pada 2023.

Baca Juga :  Hak Masyarakat Belum Dipenuhi Perusahaan Sawit

“Ini bukan hanya soal lahan, tapi soal hak, keadilan, dan masa depan masyarakat lokal yang kehidupannya semakin terpinggirkan,” ujar Aldo dalam sesi pemaparan, dalam konferensi pers yang digelar di Swiss-Belhotel Danum Palangka Raya, Kamis (24/4/2025).

Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian besar yang masing-masing berisi rangkaian laporan mendalam dan kisah nyata yang ditemukan langsung di lapangan.

Dari kriminalisasi petani, penghilangan hak masyarakat adat, hingga cerita seseorang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) dan harus hidup dalam pelarian di hutan.

“Kami tidak hanya ingin menghadirkan cerita konflik, tapi juga menghadirkan panggilan kepada pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif untuk mendengar, membuka ruang dialog, dan mencari solusi yang berpihak kepada masyarakat,” ujar Aldo.

Sebagai jurnalis, keduanya menegaskan bahwa buku ini bukanlah upaya tendensius.

“Kami bekerja menggunakan prinsip jurnalisme. Kami berpihak, ya, tapi pada kebenaran dan mereka yang tertinggal,” tambah Budi Baskoro.

Menurut Budi, penulisan buku ini juga menjadi cara untuk menantang jurnalisme harian agar tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga reflektif dan adadvokatif

“Buku ini adalah ajakan berdiskusi. Kami ingin agar liputan tidak hanya berhenti di berita harian, tapi bisa menjadi bahan refleksi kolektif,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Save Our Borneo, Muhammad Habibi, menjelaskan bahwa buku ini memperkuat hasil dokumentasi SOB selama bertahun-tahun.

Baca Juga :  Perpustakaan Adalah Rumah Keduanya

“Kami melihat sendiri bagaimana Kalimantan Tengah, yang dulunya adalah hutan, kini berubah menjadi hamparan sawit. Ada 3,7 juta hektare sawit yang kini berada di kawasan hutan. Ini menunjukkan dampak yang sangat besar terhadap lingkungan dan masyarakat,” ujarnya.

Habibi menambahkan, Hantu Tuan Kebun merupakan jembatan untuk menyuarakan cerita-cerita yang selama ini berkembang di masyarakat namun jarang mendapat tempat dalam kebijakan publik.

“Kami tidak bisa hanya bergantung pada pendekatan hukum. Konflik agraria dari sawit terlalu kompleks untuk diselesaikan dengan satu pendekatan saja,” katanya.

Buku ini diakhiri dengan pesan yang tegas, “Tuan Kebun kami anggap sebagai hantu. Ia ingin menyejahterakan desa lewat investasi, tetapi tidak pernah muncul untuk mendengarkan keluhan desa.”

Aldo dan Budi percaya bahwa dengan bercerita, mereka bisa mencuri perhatian siapa pun yang memiliki kuasa untuk membuat perubahan.

“Buku ini adalah alarm. Alarm agar para penguasa, investor, dan pembuat kebijakan tidak menutup mata. Ini bukan hanya tentang mereka yang kehilangan tanah, tapi tentang semua dari kita yang hidup di bawah bayang-bayang industri besar yang tanpa kendali,” tutup Aldo.

Hantu Tuan Kebun bukan sekadar buku. Ia adalah refleksi, peringatan, sekaligus seruan untuk membangun masa depan agraria dan lingkungan yang lebih adil.(ovi)

PALANGKA RAYA – Dua jurnalis investigatif, Budi Baskoro dari Mongabay.co.id dan Aldo Sallis dari Kompas.id, meluncurkan buku bertajuk Hantu Tuan Kebun.

Buku tersebut hadir sebagai refleksi atas berbagai konflik agraria dan sosial yang dipicu oleh ekspansi besar-besaran industri kelapa sawit di Kalimantan Tengah.

Didukung oleh organisasi lingkungan Save Our Borneo (SOB), buku ini menyajikan narasi mendalam, data lapangan, serta kisah-kisah nyata dari dua wilayah dengan tutupan sawit terluas di Kalimantan Tengah: Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan Kabupaten Seruyan.

“Para tuan kebun itu seperti hantu. Kehadirannya mengancam dan terkadang ditakuti. Rupanya tak terlihat, tetapi bisa dirasakan,” kutipan tersebut menjadi salah satu pengantar di dalam buku Hantu Tuan Kebun yang sekaligus merangkum kegelisahan masyarakat terhadap aktor-aktor besar di balik industri sawit.

Berdasarkan data Mapbiomas Indonesia tahun 2022, luas lahan sawit di Kalimantan Tengah mencapai 2 juta hektare. Kotim dan Seruyan menjadi dua kabupaten dengan kontribusi terbesar, masing-masing seluas 577 ribu hektare dan 337 ribu hektare.

 

Luasnya areal ini mencerminkan alih fungsi hutan yang masif dan berdampak langsung pada kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat sekitar.

Namun, luasnya perkebunan sawit tersebut belum menjamin peningkatan kesejahteraan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kotawaringin Timur menunjukkan masih ada 26.570 jiwa penduduk miskin dari total 443.030 jiwa.

Sementara di Seruyan, konflik berkepanjangan yang berpangkal dari sengketa lahan bahkan memicu tragedi kekerasan yang dikenal sebagai Bangkal Berdarah pada 2023.

Baca Juga :  Hak Masyarakat Belum Dipenuhi Perusahaan Sawit

“Ini bukan hanya soal lahan, tapi soal hak, keadilan, dan masa depan masyarakat lokal yang kehidupannya semakin terpinggirkan,” ujar Aldo dalam sesi pemaparan, dalam konferensi pers yang digelar di Swiss-Belhotel Danum Palangka Raya, Kamis (24/4/2025).

Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian besar yang masing-masing berisi rangkaian laporan mendalam dan kisah nyata yang ditemukan langsung di lapangan.

Dari kriminalisasi petani, penghilangan hak masyarakat adat, hingga cerita seseorang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) dan harus hidup dalam pelarian di hutan.

“Kami tidak hanya ingin menghadirkan cerita konflik, tapi juga menghadirkan panggilan kepada pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif untuk mendengar, membuka ruang dialog, dan mencari solusi yang berpihak kepada masyarakat,” ujar Aldo.

Sebagai jurnalis, keduanya menegaskan bahwa buku ini bukanlah upaya tendensius.

“Kami bekerja menggunakan prinsip jurnalisme. Kami berpihak, ya, tapi pada kebenaran dan mereka yang tertinggal,” tambah Budi Baskoro.

Menurut Budi, penulisan buku ini juga menjadi cara untuk menantang jurnalisme harian agar tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga reflektif dan adadvokatif

“Buku ini adalah ajakan berdiskusi. Kami ingin agar liputan tidak hanya berhenti di berita harian, tapi bisa menjadi bahan refleksi kolektif,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Save Our Borneo, Muhammad Habibi, menjelaskan bahwa buku ini memperkuat hasil dokumentasi SOB selama bertahun-tahun.

Baca Juga :  Perpustakaan Adalah Rumah Keduanya

“Kami melihat sendiri bagaimana Kalimantan Tengah, yang dulunya adalah hutan, kini berubah menjadi hamparan sawit. Ada 3,7 juta hektare sawit yang kini berada di kawasan hutan. Ini menunjukkan dampak yang sangat besar terhadap lingkungan dan masyarakat,” ujarnya.

Habibi menambahkan, Hantu Tuan Kebun merupakan jembatan untuk menyuarakan cerita-cerita yang selama ini berkembang di masyarakat namun jarang mendapat tempat dalam kebijakan publik.

“Kami tidak bisa hanya bergantung pada pendekatan hukum. Konflik agraria dari sawit terlalu kompleks untuk diselesaikan dengan satu pendekatan saja,” katanya.

Buku ini diakhiri dengan pesan yang tegas, “Tuan Kebun kami anggap sebagai hantu. Ia ingin menyejahterakan desa lewat investasi, tetapi tidak pernah muncul untuk mendengarkan keluhan desa.”

Aldo dan Budi percaya bahwa dengan bercerita, mereka bisa mencuri perhatian siapa pun yang memiliki kuasa untuk membuat perubahan.

“Buku ini adalah alarm. Alarm agar para penguasa, investor, dan pembuat kebijakan tidak menutup mata. Ini bukan hanya tentang mereka yang kehilangan tanah, tapi tentang semua dari kita yang hidup di bawah bayang-bayang industri besar yang tanpa kendali,” tutup Aldo.

Hantu Tuan Kebun bukan sekadar buku. Ia adalah refleksi, peringatan, sekaligus seruan untuk membangun masa depan agraria dan lingkungan yang lebih adil.(ovi)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/