Jika Indonesia ingin benar-benar mewujudkan visi besar Indonesia Emas 2045, maka perlindungan terhadap generasi penerus harus dimulai sejak langkah pertama kehidupan mereka. Dalam momentum Pekan Imunisasi Dunia yang diperingati tiap tanggal 30 April, pesan ini ditegaskan kembali oleh dr Arieta Rachmawati Kawengian SpA, dokter spesialis anak RSUD dr Doris Sylvanus, dalam podcast Ruang Redaksi Kalteng Pos.
NOVIA NADYA CLAUDIA, Palangka Raya
SUASANA hangat dan penuh edukasi mewarnai episode terbaru Podcast Ruang Redaksi Kalteng Pos, saat memperingati Pekan Imunisasi Dunia yang jatuh tiap tanggal 30 April. Kali ini, redaksi menghadirkan dr Arieta Rachmawati Kawengian SpA, dokter spesialis anak dari RSUD dr Doris Sylvanus Palangka Raya, yang mengupas tuntas pentingnya imunisasi sebagai benteng pertama perlindungan anak sejak dini.
Dokter Arieta menjelaskan, imunisasi sudah seharusnya dimulai sejak anak lahir. Program imunisasi dasar yang mencakup vaksin hepatitis B, BCG, polio, DPT, HIB, hingga campak-rubela harus tuntas dalam rentang usia 0–2 tahun. Tak berhenti di situ, vaksinasi lanjutan juga penting diberikan hingga usia sekolah.
Namun, dalam praktiknya masih ada orang tua yang enggan memberikan imunisasi kepada anak. Alasan pun beragam. Mulai dari kekhawatiran efek samping seperti demam, hingga anggapan keliru bahwa imunisasi bisa menyebabkan penyakit tertentu. Ada pula yang menolak karena alasan keyakinan pribadi.
“Padahal, demam usai imunisasi adalah reaksi tubuh yang normal. Itu tanda sistem imun anak sedang bekerja. Kita bisa redakan dengan banyak minum, kompres, atau obat penurun panas. Justru, imunisasi adalah bentuk perlindungan khusus terhadap penyakit-penyakit berbahaya yang tidak bisa dicegah hanya dengan ASI atau makanan bergizi,” paparnya.
Menurut dr Arieta, tantangan lain muncul setelah pandemi Covid-19. Banyak orang tua yang melewatkan jadwal imunisasi anak karena pembatasan mobilitas dan kekhawatiran datang ke fasilitas kesehatan. Dampaknya, cakupan imunisasi dasar menurun drastis dan kasus penyakit yang sebelumnya terkendali mulai bermunculan lagi, seperti difteri dan pertusis.
“Saat pemerintah sudah membuka akses luas dan menyediakan vaksin secara gratis, yang dibutuhkan sekarang adalah kesadaran orang tua,” tegas dr Arieta.
Saat ini telah ada program Kejar Imunisasi. Program ini memungkinkan anak-anak yang tertinggal jadwalnya tetap mendapat vaksinasi dengan penyesuaian. Tentunya, vaksin diberikan setelah pemeriksaan kesehatan menyeluruh, untuk memastikan anak dalam kondisi layak diimunisasi.
“Walau telat, imunisasi masih bisa dikejar. Tentu harus melalui skrining, karena bisa jadi anak sudah pernah terpapar penyakit tertentu. Jika hasilnya negatif, maka vaksin bisa diberikan. Jika positif, perlu pemeriksaan lanjutan,” jelasnya.
Dokter Arieta mengatakan, sekarang ini fasilitas imunisasi tersedia di berbagai tingkatan layanan kesehatan. Mulai dari posyandu, puskesmas, rumah sakit tingkat pratama, hingga rumah sakit kabupaten/kota dan provinsi. Namun, karena vaksin disediakan dalam ampul yang hanya bisa digunakan sekali setelah dibuka, maka pelaksanaan imunisasi tetap dijadwalkan secara kolektif.
“Misalnya, satu ampul untuk 10 anak. Kalau hanya satu yang datang, maka sisanya mubazir, karena vaksin tidak bisa disimpan lagi setelah dibuka,” katanya.
Tak hanya soal kesehatan, imunisasi juga menjadi syarat administratif penting, terutama untuk anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan atau mengikuti program luar negeri.
“Saya pernah menangani remaja yang terkendala untuk ikut pertukaran pelajar karena imunisasinya tidak lengkap. Imunisasi tidak hanya menyelamatkan kesehatan, tetapi juga membuka jalan bagi masa depan anak,” ungkap dr Arieta, sembari mengingatkan para orang tua menyimpan bukti dan jadwal imunisasi anak.
Dalam rangka Pekan Imunisasi Dunia, IDI di berbagai daerah, termasuk Kalimantan Tengah, turut aktif menyelenggarakan promosi kesehatan. Di RSUD dr Doris Sylvanus, talkshow dan penyuluhan rutin dilakukan untuk menyosialisasikan pentingnya imunisasi. Sementara di tingkat nasional, peringatan tahun ini dipusatkan di Baduy Luar, Banten, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan WHO.
Salah satu program imunisasi yang saat ini tengah digencarkan adalah vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks pada remaja perempuan. Bahkan pemerintah telah memasukkannya dalam program gratis di sekolah-sekolah, termasuk di Palangka Raya, guna memastikan anak perempuan mendapat perlindungan maksimal sejak dini.
Namun, semua program ini hanya akan efektif jika orang tua memiliki kesadaran dan pemahaman yang benar tentang pentingnya imunisasi.
“Banyak yang menganggap imunisasi tidak penting, atau takut anak demam. Padahal, imunisasi adalah investasi jangka panjang. Jangan biarkan anak menderita karena kesalahan informasi,” tegasnya.
Sebagai penutup, dr Arieta menyampaikan pesan yang menyentuh bagi para orang tua di seluruh penjuru Kalimantan Tengah dan Indonesia.
“Bapak ibu sekalian, bawalah anak anda untuk melengkapi imunisasinya. Karena dengan generasi yang sehat, maka akan tercipta Indonesia yang kuat dan siap menyongsong masa depan gemilang pada tahun 2045,” pesannya. (*/ce/ala)