Senin, November 25, 2024
26.6 C
Palangkaraya

Mangaruhi, Paduan Nilai Budaya, Sosial, Ketahanan Pangan dan Konservasi Alam

PALANGKA RAYA – Sambil meraba bagian dasar kolam, gerak Rusdiana lincah menyusuri sudut demi sudut kolam, mencari ikan secara manual dengan hanya mengandalkan genggaman tangan. Selang dua setengah menit, dirinya berhenti sejenak di sudut kolam, riak air mulai muncul dari dasar kolam, tak berselang lama, ia mengangkat ikan lele sebesar genggaman lengan orang dewasa. Disambut sorak-sorai para penonton.

Pemandangan itulah yang terlihat kala dirinya mengikuti perlombaan yang mempertandingkan lomba-lomba bernuansa budaya tradisional masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng), salah satunya yakni lomba menangkap ikan secara manual dengan tangan kosong atau yang dikenal juga dengan tradisi mangaruhi, dilaksanakan di halaman Museum Balanga, Rabu (3/5) lalu.

Wanita berusia 45 tahun itu menunjukkan kepiawaiannya dalam melakukan pencarian ikan dengan cara demikian. Tidaklah mudah untuk mempraktekkan tradisi mangaruhi, dibutuhkan ketelitian, kecermatan, serta kesabaran yang tinggi. Namun, hal itu tidaklah sulit bagi Rusdiana. Sebab, cara mencari ikan dengan tangan kosong seperti itu sudah merupakan warisan lintas generasi, dari kakek dan neneknya, orang tuanya, kemudian diturunkan kepada dirinya.

“Mangaruhi ini kami diajarkan turun temurun, dari kakek nenek ke orang tua, kemudian orang tua ke saya. Cara mencari ikan dengan mangaruhi ini butuh kesabaran, harus tekun dan tahan nunggu lama, biasanya di kampung kami, kami dapat ikan haruan, lais, dan lain-lain dari hasil mangaruhi ini,” ungkap Rusdiana kepada Kalteng Pos.

Kendati tradisi turun temurun yang telah membudaya bertahun-tahun lamanya, tradisi mangaruhi ini tidaklah terancam punah. Setidaknya di Kelurahan Mungku Baru, Kecamatan Rakumpit, Kota Palangka Raya, tradisi menangkap ikan dengan tangan kosong seperti itu masih dilakukan oleh masyarakat setempat dari muda hingga dewasa. Dilakukan saat air di sungai sedang surut. Hal ini diakui oleh Rusdiana.

“Masih dijalankan oleh orang-orang di desa kami, kami melakukan mangaruhi ini kalau air sungainya surut, dari tua hingga muda, laki-laki maupun perempuan,” ujarnya.

Mangaruhi hanya dijalankan saat musim kemarau dan air di sungai sudah surut. Dalam musim penghujan seperti yang terjadi akhir-akhir ini mangaruhi tidak dilakukan oleh masyarakat. “Kalau air masih pasang (dalam, red), kami hanya memancing. Terakhir kami mangaruhi pada November 2022 lalu, saat air sungai di desa kami sudah surut, kami secara beramai-ramai mencari ikan,” tuturnya.

Saat ini, di sudut-sudut Kota Palangka Raya, tengah marak masyarakat yang mencari ikan dengan cara tak ramah lingkungan, salah satunya adalah dengan menggunakan alat setrum ikan. Rusdiana mengaku, meski cara tersebut mudah, pihaknya tetap bersikukuh tidak memakai cara tersebut. Lebih memilih mencari ikan dengan mangaruhi saat air surut atau memancing saat air pasang.

“Kalau kita pakai setrum, air di sungai kecil tempat kami nyari ikan itu kan bisa habis, kalau masih pakai mangaruhi seperti ini dan memancing, ikannya tetap lestari, lingkungan juga terjaga, kalau nyetrum itu bisa habis karena banyak ikan yang mati,” jelasnya.

Baca Juga :  Wakil Ketua II DPRD Apresiasi Pelantikan Batamad Seruyan

Wanita yang mengaku bekerja sebagai wiraswasta itu menyebut cara mencari ikan dengan mangaruhi dilakukan murni untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. “Kami melakukan cara mangaruhi ini untuk kebutuhan pangan sendiri saja, agar kami tidak beli,” ucapnya.

Ia berharap agar anak-anak muda nantinya, generasi selanjutnya, tetap melestarikan budaya mangaruhi. Jangan sampai mencari ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. “Kami berharap anak-anak muda nanti seperti ini saja mencari ikannya (mangaruhi, red), jangan nyetrum,” tandasnya.

Hal senada juga diutarakan oleh Sunerson. Ia mengatakan, tradisi ini masih terus lestari perkembangan teknologi terkini tidak memengaruhi cara anak muda di Desa Mungku Baru untuk tetap melakukan aktivitas mangaruhi.

“Anak-anak kami tetap terjun ke sungai, mencari ikan, kemajuan teknologi tidak memengaruhi mereka untuk malas melakukan aktivitas tersebut,” ucapnya.

Meski demikian, pria berusia 40 tahun itu mengaku cukup gamang akan kondisi ke depan terkait semakin maraknya cara mencari ikan dengan menyetrum. “Kalau pakai alat itu kan kami nggak pernah ya sejauh ini, itu tidak bagus untuk ikan di sungai karena bisa habis dan banyak yang mati, nggak baik untuk lingkungan,” ujar pria kelahiran 1979 itu.

Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pangan, Interaksi Sosial, dan Konservasi

Pemerhati budaya Kalteng, Gauri Vidya Dhaneswara menjelaskan, mangaruhi pada dasarnya merupakan kearifan lokal masyarakat pulau Kalimantan, yang hidup di lahan dengan topografi dataran rendah, untuk kebutuhan survival atau bertahan hidup. Tradisi mangaruhi ini menunjukkan kegigihan orang-orang kalimantan di masa lalu untuk berjuang mempertahankan hidup mereka.

“Mangaruhi ini salah satu upaya atau strategi mereka untuk bertahan hidup, jadi lebih pada pemenuhan kebutuhan akan pangan, yang dilakukan terutama saat musim kemarau,” jelas Gauri kepada Kalteng Pos.

Biasanya, lanjut Gauri, pada musim kemarau masyarakat kalimantan, khususnya Dayak, akan melakukan kegiatan mangaruhi di lutu, yakni lokasi danau rawa, semacam danau yang sewaktu-waktu bisa surut dan bisa pasang tergantung kondisi cuaca. “Pada prinsipnya itu merupakan salah satu upaya masyarakat dayak untuk memenuhi kebutuhan pangan,” ucapnya.

Meski demikian, kegiatan mangaruhi tidak bisa hanya dilihat dari dimensi pemenuhan pangan, namun juga dimensi sosial yang dilakukan dalam aktivitas tersebut.

“Mangaruhi itu kan dilakukan dengan beramai-ramai, nggak bisa kalau sendiri-sendiri, di situlah terbangun adanya kerjasama, terbentuknya jejaring sosial, yang biasanya dilakukan oleh masyarakat satu kampung, maka dari itu, ada interaksi sosial juga di dalamnya untuk merekatkan hubungan sosial antar masyarakat,” jelas pria bergelar sarjana antropologi tersebut.

Baca Juga :  Hendra Ekaputra Terima Gelar Kehormatan Dayak

Tak hanya itu, di tengah maraknya cara menangkap ikan secara ilegal dan tak ramah lingkungan seperti menyetrum, manfaat mangaruhi pada dasarnya tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan kebutuhan interaksi sosial masyarakat, tapi juga kebutuhan konservasi alam.

“Mangaruhi ini kan kearifan lokal yang mana manusia melakukan pemanfaatan potensi alam, dengan sifatnya yang tidak kemaruk dan asal tangkap saja, ini yang membuat keberlangsungan dari ekosistem itu terlestarikan. Berbeda dengan cara mencari ikan zaman sekarang yang banyak tidak memperhatikan konsep keberlangsungan lingkungan, salah satunya dengan menyetrum itu,” sebut pria yang juga menjabat sebagai Pamong Budaya Ahli Muda di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng tersebut.

Oleh karena itu, lanjut Gauri, mangaruhi tidak hanya membawa nilai pemenuhan kebutuhan pangan, tetapi juga isu sosial budaya masyarakat, dan konservasi alam.

“Isu konservasi itu yang sangat penting untuk saat ini. Mereka hanya memakai tangan, tidak melukai ikan-ikan kecil yang bisa berkembang untuk ke depannya, oleh karena itu, terdapat tiga pesan utama yang terdapat dalam tradisi mangaruhi ini, yakni pemenuhan pangan, kebutuhan sosial, dan konservasi alam,” tandasnya.

Sejatinya, masyarakat adat mempunyai tradisi yang berlandaskan kearifan lokal pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Konsep mangaruhi yang juga membawa nilai konservasi lingkungan ini, menjadi sangat penting untuk dilestarikan sebagai sistem pemenuhan kebutuhan pangan yang dapat dilakukan oleh manusia dengan tetap memperhatikan keberlanjutan dan kelangsungan ekosistem alam.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengatakan, mangaruhi ini merupakan salah satu praktek pengelolaan terhadap sumber daya alam oleh masyarakat adat yang dilakukan dengan berdasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat

“Praktik ini memastikan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya mencari ikan, yang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan kelestarian ekosistem,” jelas Bayu.

Nilai kelestarian lingkungan dalam aktivitas tersebut, lanjut Bayu, terlihat bahwa dalam praktiknya, aktivitas mangaruhi ini dilakukan masyarakat hanya pada momen-momen tertentu saja dan tidak setiap saat, sehingga hal ini akan menjaga ketersedian ikan dan memastikan keberlanjutan spesies ikan tertentu tidak punah.

“Kemudian proses ataupun cara melakukan kegiatan mangaruhi ini tidak menggunakan alat atau bahan berbahaya yang dapat mencemari ekosistem, sehingga ekosistem masih tetap terjaga dan fungsinya dapat terus berjalan dengan baik untuk memberikan dukungan terhadap lingkungan dan manusia,” ujarnya.

Praktik seperti ini, lanjut Bayu, seharusnya bisa diadopsi oleh pemerintah untuk melakukan proses pengelolaan alam yang berkelanjutan. “Cara mencari ikan dalam konsep mangaruhi ini juga perlu didorong dalam kebijakan atau program di tingkat pemerintah daerah untuk dilindungi dan difasilitasi,” tandasnya. (dan/ram)

PALANGKA RAYA – Sambil meraba bagian dasar kolam, gerak Rusdiana lincah menyusuri sudut demi sudut kolam, mencari ikan secara manual dengan hanya mengandalkan genggaman tangan. Selang dua setengah menit, dirinya berhenti sejenak di sudut kolam, riak air mulai muncul dari dasar kolam, tak berselang lama, ia mengangkat ikan lele sebesar genggaman lengan orang dewasa. Disambut sorak-sorai para penonton.

Pemandangan itulah yang terlihat kala dirinya mengikuti perlombaan yang mempertandingkan lomba-lomba bernuansa budaya tradisional masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng), salah satunya yakni lomba menangkap ikan secara manual dengan tangan kosong atau yang dikenal juga dengan tradisi mangaruhi, dilaksanakan di halaman Museum Balanga, Rabu (3/5) lalu.

Wanita berusia 45 tahun itu menunjukkan kepiawaiannya dalam melakukan pencarian ikan dengan cara demikian. Tidaklah mudah untuk mempraktekkan tradisi mangaruhi, dibutuhkan ketelitian, kecermatan, serta kesabaran yang tinggi. Namun, hal itu tidaklah sulit bagi Rusdiana. Sebab, cara mencari ikan dengan tangan kosong seperti itu sudah merupakan warisan lintas generasi, dari kakek dan neneknya, orang tuanya, kemudian diturunkan kepada dirinya.

“Mangaruhi ini kami diajarkan turun temurun, dari kakek nenek ke orang tua, kemudian orang tua ke saya. Cara mencari ikan dengan mangaruhi ini butuh kesabaran, harus tekun dan tahan nunggu lama, biasanya di kampung kami, kami dapat ikan haruan, lais, dan lain-lain dari hasil mangaruhi ini,” ungkap Rusdiana kepada Kalteng Pos.

Kendati tradisi turun temurun yang telah membudaya bertahun-tahun lamanya, tradisi mangaruhi ini tidaklah terancam punah. Setidaknya di Kelurahan Mungku Baru, Kecamatan Rakumpit, Kota Palangka Raya, tradisi menangkap ikan dengan tangan kosong seperti itu masih dilakukan oleh masyarakat setempat dari muda hingga dewasa. Dilakukan saat air di sungai sedang surut. Hal ini diakui oleh Rusdiana.

“Masih dijalankan oleh orang-orang di desa kami, kami melakukan mangaruhi ini kalau air sungainya surut, dari tua hingga muda, laki-laki maupun perempuan,” ujarnya.

Mangaruhi hanya dijalankan saat musim kemarau dan air di sungai sudah surut. Dalam musim penghujan seperti yang terjadi akhir-akhir ini mangaruhi tidak dilakukan oleh masyarakat. “Kalau air masih pasang (dalam, red), kami hanya memancing. Terakhir kami mangaruhi pada November 2022 lalu, saat air sungai di desa kami sudah surut, kami secara beramai-ramai mencari ikan,” tuturnya.

Saat ini, di sudut-sudut Kota Palangka Raya, tengah marak masyarakat yang mencari ikan dengan cara tak ramah lingkungan, salah satunya adalah dengan menggunakan alat setrum ikan. Rusdiana mengaku, meski cara tersebut mudah, pihaknya tetap bersikukuh tidak memakai cara tersebut. Lebih memilih mencari ikan dengan mangaruhi saat air surut atau memancing saat air pasang.

“Kalau kita pakai setrum, air di sungai kecil tempat kami nyari ikan itu kan bisa habis, kalau masih pakai mangaruhi seperti ini dan memancing, ikannya tetap lestari, lingkungan juga terjaga, kalau nyetrum itu bisa habis karena banyak ikan yang mati,” jelasnya.

Baca Juga :  Wakil Ketua II DPRD Apresiasi Pelantikan Batamad Seruyan

Wanita yang mengaku bekerja sebagai wiraswasta itu menyebut cara mencari ikan dengan mangaruhi dilakukan murni untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. “Kami melakukan cara mangaruhi ini untuk kebutuhan pangan sendiri saja, agar kami tidak beli,” ucapnya.

Ia berharap agar anak-anak muda nantinya, generasi selanjutnya, tetap melestarikan budaya mangaruhi. Jangan sampai mencari ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. “Kami berharap anak-anak muda nanti seperti ini saja mencari ikannya (mangaruhi, red), jangan nyetrum,” tandasnya.

Hal senada juga diutarakan oleh Sunerson. Ia mengatakan, tradisi ini masih terus lestari perkembangan teknologi terkini tidak memengaruhi cara anak muda di Desa Mungku Baru untuk tetap melakukan aktivitas mangaruhi.

“Anak-anak kami tetap terjun ke sungai, mencari ikan, kemajuan teknologi tidak memengaruhi mereka untuk malas melakukan aktivitas tersebut,” ucapnya.

Meski demikian, pria berusia 40 tahun itu mengaku cukup gamang akan kondisi ke depan terkait semakin maraknya cara mencari ikan dengan menyetrum. “Kalau pakai alat itu kan kami nggak pernah ya sejauh ini, itu tidak bagus untuk ikan di sungai karena bisa habis dan banyak yang mati, nggak baik untuk lingkungan,” ujar pria kelahiran 1979 itu.

Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pangan, Interaksi Sosial, dan Konservasi

Pemerhati budaya Kalteng, Gauri Vidya Dhaneswara menjelaskan, mangaruhi pada dasarnya merupakan kearifan lokal masyarakat pulau Kalimantan, yang hidup di lahan dengan topografi dataran rendah, untuk kebutuhan survival atau bertahan hidup. Tradisi mangaruhi ini menunjukkan kegigihan orang-orang kalimantan di masa lalu untuk berjuang mempertahankan hidup mereka.

“Mangaruhi ini salah satu upaya atau strategi mereka untuk bertahan hidup, jadi lebih pada pemenuhan kebutuhan akan pangan, yang dilakukan terutama saat musim kemarau,” jelas Gauri kepada Kalteng Pos.

Biasanya, lanjut Gauri, pada musim kemarau masyarakat kalimantan, khususnya Dayak, akan melakukan kegiatan mangaruhi di lutu, yakni lokasi danau rawa, semacam danau yang sewaktu-waktu bisa surut dan bisa pasang tergantung kondisi cuaca. “Pada prinsipnya itu merupakan salah satu upaya masyarakat dayak untuk memenuhi kebutuhan pangan,” ucapnya.

Meski demikian, kegiatan mangaruhi tidak bisa hanya dilihat dari dimensi pemenuhan pangan, namun juga dimensi sosial yang dilakukan dalam aktivitas tersebut.

“Mangaruhi itu kan dilakukan dengan beramai-ramai, nggak bisa kalau sendiri-sendiri, di situlah terbangun adanya kerjasama, terbentuknya jejaring sosial, yang biasanya dilakukan oleh masyarakat satu kampung, maka dari itu, ada interaksi sosial juga di dalamnya untuk merekatkan hubungan sosial antar masyarakat,” jelas pria bergelar sarjana antropologi tersebut.

Baca Juga :  Hendra Ekaputra Terima Gelar Kehormatan Dayak

Tak hanya itu, di tengah maraknya cara menangkap ikan secara ilegal dan tak ramah lingkungan seperti menyetrum, manfaat mangaruhi pada dasarnya tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan kebutuhan interaksi sosial masyarakat, tapi juga kebutuhan konservasi alam.

“Mangaruhi ini kan kearifan lokal yang mana manusia melakukan pemanfaatan potensi alam, dengan sifatnya yang tidak kemaruk dan asal tangkap saja, ini yang membuat keberlangsungan dari ekosistem itu terlestarikan. Berbeda dengan cara mencari ikan zaman sekarang yang banyak tidak memperhatikan konsep keberlangsungan lingkungan, salah satunya dengan menyetrum itu,” sebut pria yang juga menjabat sebagai Pamong Budaya Ahli Muda di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng tersebut.

Oleh karena itu, lanjut Gauri, mangaruhi tidak hanya membawa nilai pemenuhan kebutuhan pangan, tetapi juga isu sosial budaya masyarakat, dan konservasi alam.

“Isu konservasi itu yang sangat penting untuk saat ini. Mereka hanya memakai tangan, tidak melukai ikan-ikan kecil yang bisa berkembang untuk ke depannya, oleh karena itu, terdapat tiga pesan utama yang terdapat dalam tradisi mangaruhi ini, yakni pemenuhan pangan, kebutuhan sosial, dan konservasi alam,” tandasnya.

Sejatinya, masyarakat adat mempunyai tradisi yang berlandaskan kearifan lokal pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Konsep mangaruhi yang juga membawa nilai konservasi lingkungan ini, menjadi sangat penting untuk dilestarikan sebagai sistem pemenuhan kebutuhan pangan yang dapat dilakukan oleh manusia dengan tetap memperhatikan keberlanjutan dan kelangsungan ekosistem alam.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengatakan, mangaruhi ini merupakan salah satu praktek pengelolaan terhadap sumber daya alam oleh masyarakat adat yang dilakukan dengan berdasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat

“Praktik ini memastikan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya mencari ikan, yang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan kelestarian ekosistem,” jelas Bayu.

Nilai kelestarian lingkungan dalam aktivitas tersebut, lanjut Bayu, terlihat bahwa dalam praktiknya, aktivitas mangaruhi ini dilakukan masyarakat hanya pada momen-momen tertentu saja dan tidak setiap saat, sehingga hal ini akan menjaga ketersedian ikan dan memastikan keberlanjutan spesies ikan tertentu tidak punah.

“Kemudian proses ataupun cara melakukan kegiatan mangaruhi ini tidak menggunakan alat atau bahan berbahaya yang dapat mencemari ekosistem, sehingga ekosistem masih tetap terjaga dan fungsinya dapat terus berjalan dengan baik untuk memberikan dukungan terhadap lingkungan dan manusia,” ujarnya.

Praktik seperti ini, lanjut Bayu, seharusnya bisa diadopsi oleh pemerintah untuk melakukan proses pengelolaan alam yang berkelanjutan. “Cara mencari ikan dalam konsep mangaruhi ini juga perlu didorong dalam kebijakan atau program di tingkat pemerintah daerah untuk dilindungi dan difasilitasi,” tandasnya. (dan/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/