Sabtu, Mei 18, 2024
30.1 C
Palangkaraya

Mengenal Lebih Dekat Ahmad, Marbot Masjid Ar-Raudlah

Anak Sudah Mapan Bekerja, Masih Bermimpi Punya Rumah

22 tahun lamanya, Ahmad mengabdi menjadi marbot di Masjid Ar-Raudlah. Dari mulai bangunan yang biasa-biasa saja, sampai perwajahan masjid enak dipandang dan nyaman saat digunakan untuk beribadah.

*WULAN SARI, Palangka Raya

SESAMPAINYA di halaman Masjid Ar-Raudlah, tampaklah seorang pria yang sudah tidak lagi terlihat muda dengan menggunakan gamis berwarna hitam dengan peci berwarna putih itu sedang menyapu halaman masjid selepas salat Asar. Sambutan ramah diterima penulis tak kala menyapa dan menyampaikan tujuan penulis mendatanginya.

Ahmad, sudah 22 tahun mengabdikan dirinnya menjadi marbut. Ahmad lahir dan besar di Desa Pagar Dalam, Martapura. Semasa muda ia mendalami ajaran islam di madrasah tsanawiyah di depan rumahnya yang kebanyakan pengajar dari kalangan keluarganya sendiri. Dilanjutkan belajar di Darussalam Martapura selama enam tahun dan kuliah di IAIN Antasari Banjarmasin sampai lulus, walau sempat berhenti karena terkendala biaya.

 

Suami dari Halimah itu menceritakan panjang lebar awal mula dirinya sebelum menjadi marbut di Palangka Raya. Dulu di Samarinda dia tidak memiliki tempat tinggal dan terpaksa harus tinggal di salah satu masjid di dekat pasar.

Di masjid itu dia sering mengumandangkan azan dan membaca Al-Quran. Sampai salah seorang kaum masjid itu menghampirinya dan mengatakan, tidak boleh tidur di masjid dan menawarkan untuk tinggal di rumahnya saja. Lalu, ditawari menjadi kaum masjid dan tinggal di rumah yang sudah disediakan ini.

“Saya menerima tawaran itu dan menjadi kaum di sana selama empat tahun,”ujarnya kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Baca Juga :  Sound No Sip

Bapak dari tiga orang anaknya ini lalu kembali ke Martapura karena permintaan ibunya. Lalu dinikahkan dengan murid ibunya yang bernama Halimah. Sosok perempuan yang zuhud dan juga merupakan seorang penghapal (hafizah) Al-Quran.

Singkat cerita bersama istrinya merantau ke Palangka Raya. Pada 1997, Ahmad memboyong anak dan istrinya dari Martapura ke Palangka Raya untuk mengelola langgar. Kala itu, langgar baru beroprasi beberapa bulan sejak dibangunnya pada 1995.

Walau hanya sebuah langgar sederhana dengan dinding beton kasar, lantai semen kasar, jendela dan pintu hanya ditutupi kayu, langgar itu sudah bisa difungsikan untuk ibadah. Dengan ukuran 6×6 meter persegi, langgar itu dikenal dengan nama langgar Nurul Zakirin. Sebelum akhirnya menjadi Masjid Ar-Raudlah pada tahun 2015 yang memiliki luas 10×10 meter persegi.

Pria yang telah 26 tahun menjabat sebagai marbut mengaku tidak memiliki pekerjaan lain. Dulu ia pernah membuka pembelajaran pengajian, penghasilan tambahan dari situ dengan bayaran seikhlasnya. Namun saat ini berhenti sudah karena sudah ada banyak sekolah TPA maupun TPQ di lingkungan masjid.

Lalu dilanjutkan dengan adanya RKM dari yayasan termasuk dirinya didalamnya, menjadi menjadi penghasilan tambahan. Kadang kala ia juga menerima tawaran dari teman-temanya yang minta tolong untuk diisikan dalam yasinan maupu pengajian, tapi hal itu tidak untuk semua orang hanya orang-orang terdekatnya saja.

“Pekerjaan saya ya hanya jadi tukang bersih-bersih dan azan, serta menjadi imam di setiap waktu salat wajib maupun sunnah. Itu saja, yang lain-lain kurang bisa tapi kalau pekerjaan yang masih ada kaitannya dengan agama insyaallah bisa-bisa saja” ujarnya.

Baca Juga :  BRI Serahkan Bantuan untuk SPN Polda Kalteng

Masalah pekerjaan lanjut Ahmad, saat ini ia tidak terlalu memikirkan masalah pekerjaan. Gaji yang awalnya hanya sekitar Rp200 ribu hingga sekarang menjadi Rp1,5 juta sudah dirasa mencukupi.

Dulu sebelum dilakukannya renovasi, ada beberapa masyarakat yang tertarik tentang Islam dan ingin mempelajarinya. Ahmad pun tidak segan untuk mengajari. Dari beberapa orang yang sudah diajarinya itu, sebagian dari mereka adalah orang-orang berkedudukan tinggi di pemerintahan. Jadi tidak jarang keluarga kecil pindahan dari Martapura itu menerima bantuan dari orang-orang yang dulu menjadi muridnya.

“Dulu mencari uang susah, pendapatan yang dulunya tidak cukup untuk membelikan jajan anak. Alhamdulillah rezeki mengalir dari yang tidak tempat yang tidak disangka-sangka ini. Mungkin ini juga karena niat awal juga melakukan segala sesuatu dengan ikhlas lillahi ta’ala. Apalagi sekarang anak-anak juga sudah sukses, bekerja semua. Kedua anak laki-lakiku sekarang sudah bekerja di hotel dan anak perempuanku sudah bekerja di salah satu TK,” ujarnya dengan sukur dan bangga.

Ia juga mengungkapkan bahwa keinginannya saat ini hanyalah ingin punya rumah pribadi. Karena saat ini keluarga kecil itu hanya tinggal di rumah milik yayasan masjid. “Ya, untuk saat ini masih berniat membangun atau memiliki rumah sendiri,”uajr Ahmad yang sudah pernah menjalani umrah.(ram)

 

 

22 tahun lamanya, Ahmad mengabdi menjadi marbot di Masjid Ar-Raudlah. Dari mulai bangunan yang biasa-biasa saja, sampai perwajahan masjid enak dipandang dan nyaman saat digunakan untuk beribadah.

*WULAN SARI, Palangka Raya

SESAMPAINYA di halaman Masjid Ar-Raudlah, tampaklah seorang pria yang sudah tidak lagi terlihat muda dengan menggunakan gamis berwarna hitam dengan peci berwarna putih itu sedang menyapu halaman masjid selepas salat Asar. Sambutan ramah diterima penulis tak kala menyapa dan menyampaikan tujuan penulis mendatanginya.

Ahmad, sudah 22 tahun mengabdikan dirinnya menjadi marbut. Ahmad lahir dan besar di Desa Pagar Dalam, Martapura. Semasa muda ia mendalami ajaran islam di madrasah tsanawiyah di depan rumahnya yang kebanyakan pengajar dari kalangan keluarganya sendiri. Dilanjutkan belajar di Darussalam Martapura selama enam tahun dan kuliah di IAIN Antasari Banjarmasin sampai lulus, walau sempat berhenti karena terkendala biaya.

 

Suami dari Halimah itu menceritakan panjang lebar awal mula dirinya sebelum menjadi marbut di Palangka Raya. Dulu di Samarinda dia tidak memiliki tempat tinggal dan terpaksa harus tinggal di salah satu masjid di dekat pasar.

Di masjid itu dia sering mengumandangkan azan dan membaca Al-Quran. Sampai salah seorang kaum masjid itu menghampirinya dan mengatakan, tidak boleh tidur di masjid dan menawarkan untuk tinggal di rumahnya saja. Lalu, ditawari menjadi kaum masjid dan tinggal di rumah yang sudah disediakan ini.

“Saya menerima tawaran itu dan menjadi kaum di sana selama empat tahun,”ujarnya kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Baca Juga :  Sound No Sip

Bapak dari tiga orang anaknya ini lalu kembali ke Martapura karena permintaan ibunya. Lalu dinikahkan dengan murid ibunya yang bernama Halimah. Sosok perempuan yang zuhud dan juga merupakan seorang penghapal (hafizah) Al-Quran.

Singkat cerita bersama istrinya merantau ke Palangka Raya. Pada 1997, Ahmad memboyong anak dan istrinya dari Martapura ke Palangka Raya untuk mengelola langgar. Kala itu, langgar baru beroprasi beberapa bulan sejak dibangunnya pada 1995.

Walau hanya sebuah langgar sederhana dengan dinding beton kasar, lantai semen kasar, jendela dan pintu hanya ditutupi kayu, langgar itu sudah bisa difungsikan untuk ibadah. Dengan ukuran 6×6 meter persegi, langgar itu dikenal dengan nama langgar Nurul Zakirin. Sebelum akhirnya menjadi Masjid Ar-Raudlah pada tahun 2015 yang memiliki luas 10×10 meter persegi.

Pria yang telah 26 tahun menjabat sebagai marbut mengaku tidak memiliki pekerjaan lain. Dulu ia pernah membuka pembelajaran pengajian, penghasilan tambahan dari situ dengan bayaran seikhlasnya. Namun saat ini berhenti sudah karena sudah ada banyak sekolah TPA maupun TPQ di lingkungan masjid.

Lalu dilanjutkan dengan adanya RKM dari yayasan termasuk dirinya didalamnya, menjadi menjadi penghasilan tambahan. Kadang kala ia juga menerima tawaran dari teman-temanya yang minta tolong untuk diisikan dalam yasinan maupu pengajian, tapi hal itu tidak untuk semua orang hanya orang-orang terdekatnya saja.

“Pekerjaan saya ya hanya jadi tukang bersih-bersih dan azan, serta menjadi imam di setiap waktu salat wajib maupun sunnah. Itu saja, yang lain-lain kurang bisa tapi kalau pekerjaan yang masih ada kaitannya dengan agama insyaallah bisa-bisa saja” ujarnya.

Baca Juga :  BRI Serahkan Bantuan untuk SPN Polda Kalteng

Masalah pekerjaan lanjut Ahmad, saat ini ia tidak terlalu memikirkan masalah pekerjaan. Gaji yang awalnya hanya sekitar Rp200 ribu hingga sekarang menjadi Rp1,5 juta sudah dirasa mencukupi.

Dulu sebelum dilakukannya renovasi, ada beberapa masyarakat yang tertarik tentang Islam dan ingin mempelajarinya. Ahmad pun tidak segan untuk mengajari. Dari beberapa orang yang sudah diajarinya itu, sebagian dari mereka adalah orang-orang berkedudukan tinggi di pemerintahan. Jadi tidak jarang keluarga kecil pindahan dari Martapura itu menerima bantuan dari orang-orang yang dulu menjadi muridnya.

“Dulu mencari uang susah, pendapatan yang dulunya tidak cukup untuk membelikan jajan anak. Alhamdulillah rezeki mengalir dari yang tidak tempat yang tidak disangka-sangka ini. Mungkin ini juga karena niat awal juga melakukan segala sesuatu dengan ikhlas lillahi ta’ala. Apalagi sekarang anak-anak juga sudah sukses, bekerja semua. Kedua anak laki-lakiku sekarang sudah bekerja di hotel dan anak perempuanku sudah bekerja di salah satu TK,” ujarnya dengan sukur dan bangga.

Ia juga mengungkapkan bahwa keinginannya saat ini hanyalah ingin punya rumah pribadi. Karena saat ini keluarga kecil itu hanya tinggal di rumah milik yayasan masjid. “Ya, untuk saat ini masih berniat membangun atau memiliki rumah sendiri,”uajr Ahmad yang sudah pernah menjalani umrah.(ram)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/