“Ingat, kita tidak menyembah tetapi menghormati mereka melalui adat istiadat yang diwarisi,” tutupnya.
Geng Kapak mandi di sungai tepat di depan betang. Yang lain siap menari untuk dikumentasi.
Mandi di sungai sedalam sekitar 2 meter, debit air setinggi dada orang dewasa meski 2 hari sebelumnya disapu banjir lebih dari 2 meter, memberikan pengalaman luar biasa. Bermodal senter, jernihnya air Sungai Babuat membuat batu di dasarnya tetap terlihat.
Usai mandi dan membersihkan diri, Jimy Oktolongere Andin / El Nazer Sarajan Ganap (Ontun Bahi/Kaju) juga mengatakan, di rumah leluhur mereka, memberikan bukti fakta Dayak Siang. Keragaman merupakan keniscayaan, terbukti 6 kepala keluarga di rumah betang ini ada beragam keyakinan Kristen, Katolik, Islam, Hindu Kaharingan.
adi malam ada kebaktian, ada juga yang kayolik, muslim, dan ada juga yang hindu kaharingan, ini keragaman
Falsafah Huma Betang, ya inilah bukti dari leluhur. Nah, sebagai generasi masa sekarang, banyak hal yang dititipkan moyang dan orang tua mereka adalah tetap lestarikan budaya, lestarikan alam dan lingkungam sebagai manusia yang berkearifan lokal. Jangan kalah dengan perjalanan dan tantangan perkembangan zaman.
Jimy yang juga dosen di Universitas Palangka Raya tersebut menegaskan, sebagai contoh kata bijak burung nyaru yang memiliki makna dimana hidup selalu menjunjung tinggi kearifan lokal dan bisa menyesuaikan zaman. Seperti halnya dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, maupun istilah think globally act locally (berpikir global bertindak lokal).