Perjalanan rohani ke holyland dimulai dari Mesir. Ada kisah Yusuf dan Musa. Juga tempat keluarga kudus pernah tinggal. Dilanjutkan ke Israel, tempat Yesus lahir, memulai pelayanan, disalibkan, mati, dikuburkan, bangkit, hingga naik ke surga. Pengalaman yang luar biasa ini juga diperkuat ketika mengunjungi Nebo, Yordania. Tempat Musa melihat Kanaan, tanah yang dijanjikan Tuhan.
AZUBA, Kairo
TERIK mentari tak menyurutkan semangat rombongan perjalanan rohan PT Flo Go untuk menapaki jejak keluarga kudus Yusuf, Maria, dan bayi Yesus di Mesir. Sebelum memasuki Virgin Mary Church, saya (penulis) bersama rombongan terlebih dulu diajak masuk ke Gereja Gantung yang dipersembahkan untuk perawan Maria.
“Kenapa disebut Gereja Gantung?” tanya Rami kepada rombongan menggunakan bahasa Indonesia dengan cukup fasih.
“Karena Gereja Gantung dibangun di atas bekas benteng Romawi bernama Babilonia. Artinya, penyangga gereja ini adalah bangunan benteng Babilonia yang kurang lebih tingginya 18 meter,” jelasnya.
Dalam Gereja Ortodok Koptik yang dibangun oleh Kaisar Costantine dari Romawi pada abad IV itu terdapat mimbar yang ditunjang 13 pilar, mewakili Yesus dan 12 murid-Nya. Di sana, Benteng Babilonia juga bisa dilihat dari beberapa bagian bawah bangunan gereja yang sudah dilapis kaca.
Dari tempat itu, rombongan Flo Go diajak mengunjungi Virgin Mary Church. Jarak Gereja Gantung dengan Virgin Mary Church tidak terlalu jauh. Kurang lebih 5 menit berjalan kaki.
Virgin Mary Church merupakan tempat keluarga kudus pernah tinggal selama berada di Mesir, menghindari kejaran Raja Herodes yang kala itu menghendaki kematian bayi Yesus. Bahkan di dalam gereja tersebut masih terdapat sumur yang pernah digunakan keluarga kudus untuk mendapatkan air. Bahkan masih ada airnya sampai sekarang. Kami pun sempat minum air dari sumur itu.
Hari itu, rombongan Flo Go mendapat kesempatan melihat peradaban Mesir kuno. Namanya National Museum of Egyptian Civilizantion. Untuk masuk ke tempat ini, kami tidak perlu mengeluarkan biaya lagi karena sudah sepaket. Di dalam museum ini, kami juga bisa melihat mumi Firaun. Namun tidak dibolehkan untuk mengambil gambar. Rencananya museum ini akan diisi dengan 17 ribu harta Firaun. Sejauh ini baru terisi 30 persen.
Setelah dari museum, kami diajak untuk beribadah di Gereja Mukjizat (Churh Simon the Tanneratau) atau yang dikenal dengan Gereja Sampah. Disebut Gereja Mukjizat karena gereja yang terletak di sebelah tenggara Kairo ini merupakan bukti mukjizat yang pernah terjadi di masa lampau. Ceritanya, ada sebuah pegunungan bernama Gunung Mokatam berpindah tempat sejauh 3 kilometer. Sementara sebutan Gereja Sampah dikarenakan lokasinya berada di Bukit Muqattam yang dijadikan tempat penimbunan sampah Kota Kairo. Penduduk yang ditinggal di bukit itu bertahan hidup dari hasil mengolah sampah.
Untuk mencapai gereja ini, rombongan yang berjumlah 35 orang diantar menggunakan mobil. Tidak bisa menggunakan bus karena badan jalan yang sempit. Rumah-rumah penduduk dibangun berdempetan. Cukup bising karena mobilitas masyarakat cukup ramai. Terlihat pula tiap bagian pintu atau dinding rumah terpasang simbol salib maupun gambar Bunda Maria. Ketika sudah hampir tiba, pahatan lukisan demi lukisan di bukit ini terlihat sangat jelas. Di balik lokasinya yang kumuh, ternyata Gereja Mukjizat ini memiliki bangunan yang indah dan unik. Berbentuk seperti gua, tapi sangat besar. Bahkan bisa menampung sekitar 18 ribu orang.
“Pahatan lukisan-lukisan ini dibuat oleh seseorang seniman dari Belanda, dipahat atau diukir sampai sekarang,” kata Rami.
Setelah tiba, rombongan Flo Go terlebih dulu berfoto di depan gereja sebelum masuk untuk beribadah. Tampak semua peserta kala itu memuji dan memuliakan nama Tuhan. Ada juga ujud pribadi dari masing-masing peserta yang ditulis pada secarik kertas, lalu didoakan oleh abuna dan abuni di sana. Sesuai nama gerejanya, ada keyakinan bahwa doa dan harapan yang dinaikkan dari tempat ini bakal mendatangkan mukjizat.
Ketika ibadah selesai, matahari sudah terbenam. Cuaca saat itu tidak terlalu dingin, karena memang di sana tidak pernah turun hujan seperti di Indonesia. Perjalanan rohani kami hari itu pun selesai. Selanjutnya kami diantar ke Hotel Conrad. Sebuah hotel yang luas dan begitu nyaman. Ditambah lagi suguhan pemandangan Sungai Nil yang begitu memanjakan mata siapa pun yang menginap di situ. Sungai di mana bayi Musa dihanyutkan oleh orang tuanya, lalu ditemukan oleh putri Firaun dan dijadikan anaknya (Keluaran 2:1-10). Sebelumnya peserta diajak makan malam di salah satu restoran yang terletak di tepian Sungai Nil. Sungai terkenal ini memiliki panjang 6.700 kilometer.
Esoknya, perjalanan rohani kami memasuki hari ketiga. Sekitar pukul 07.00 waktu setempat, semua peserta berkumpul untuk sarapan. Ada berbagai menu masakan dan buah-buahan untuk sarapan pagi itu. Usai sarapan, rombongan diajak mengunjungi Toko Minyak Narwastu. Peserta juga mendapat kesempatan melihat Piramida Djoser dan Giza. Tak hanya dari luar, tapi masuk sampai ke dalam bangunan yang termasuk dalam tujuh keajaiban dunia ini. Bersama Flo Go, peserta pejalanan rohani juga bisa melihat penjara Nabi Yusuf yang dijebloskan Potifar, seorang pegawai Istana Firaun (Kejadian 39:1-20). Kami juga diberi kesempatan untuk berfoto di patung sphinx yang merupakan salah satu mahakarya bangsa Mesir kuno. Patung berbentuk kepala manusia dan berbadan singa.
Keseruan tak sampai di situ. Sore harinya rombongan Flo Go diantar mengunjungi pabrik kertas papyrus. Tanaman papyrus yang banyak tumbuh di tepi Sungai Nil merupakan bahan baku pembuatan kertas pada zaman kuno. Dilihat sepintas, daun pohon ini mirip rambut terjurai.
Dengan diterjemahkan oleh Rami, penjaga toko kertas papyrus bernama Sherif menjelaskan kepada rombongan alasan papyrus diklaim sebagai tanaman suci.
“Pertama, karena bentuknya seperti sinar matahari, ini bentuk suci bagi orang Mesir. Alasan kedua, batangnya berbentuk segitiga, ini simbol piramida, simbol suci bagi orang Mesir,” jelasnya kepada semua peserta Flo Go, Selasa (20/9).
Di tempat itu pula kami mendapat pengetahuan soal cara dan proses pembuatan kertas papyrus. Pertama-tama, batangnya dikupas tipis-tipis. Rami juga sempat meminta salah satu peserta untuk mencoba menarik kulit bagian luar papyrus untuk menguji kekuatannya. Terbukti kulitnya sangat kuat.
“Jadi ini bisa dibuat untuk sepatu, sandal, tas, payung, dan keranjang Musa (keranjang yang digunakan untuk menghanyutkan bayi Musa di Sungai Nil), jadi papyrus ini tidak disukai buaya, tapi untuk membuat kertas, yang digunakan adalah isi batangnya yang berwarna putih, tapi bagian ini tidak sekuat kulit, karena ada serat air dan gula,” ungkap Rami.
Untuk mengeluarkan kandungan air dalam batang papyrus, harus dipipihkan menggunakan kayu bulat. Jika masih ada kandungan gulanya, maka harus direndam terlebih dahulu dalam air tawar. Jika direndam selama satu minggu, maka akan mendapatkan kertas berwarna cream. Jika direndam selama dua minggu, maka yang didapat adalah kertas yang agak kecokelatan. Tahap selanjutnya, dianyam di atas karpet berbulu, kemudian dipres hingga membentuk kertas yang bisa dipakai untuk melukis dan menulis.
“Kertas ini tahan air, juga bisa dicuci, dan susah sobeknya. Dahulu papyrus ini dipakai untuk menulis Kitab Taurat dan Injil, sekarang ini papyrus digunakan untuk lukisan rohani,” kata Rami seraya memasukan kertas tersebut ke dalam bak air yang ada di meja, lalu menguceknya seperti mengucek kain. Uniknya, kertas ini tidak koyak. Bahkan setelah dikoyakkan dengan keras, kertas ini masih bisa digunakan lagi setelah dijemur.
Tempat ini menjadi lokasi terakhir kunjungan kami di hari ketiga perjalanan rohani bersama Flo Go. Selanjutnya kami diantar ke restoran untuk menikmati makan malam, sebelum kembali ke hotel untuk istirahat. Iya, karena kami harus menyiapkan tenaga untuk perjalanan rohani hari keempat ke Kota Alexanderia, bekas ibu kota Mesir, untuk beribadah di Gereja Santo Markus, sekaligus mengunjungi Benteng Salahuddin.
Gereja Santo Markus dibangun pada tahun 1840 dan merupakan tempat di mana Santo Markus menulis Injil. Menurut Rami, Markus juga merupakan seorang pelukis. Di gereja ini, terlihat ada lukisan murid murid Yesus. Markuslah yang melukisnya.
Sebelum dibangun gereja, tempat ini merupakan rumah Iniyanus, seorang romawi dan penyembah berhala yang bekerja sebagai penjahit sepatu.
“Waktu Markus jalan dari Betlehem mau ke Libia, dia harus lewat tanah ini, dia lewat dari arah Gurun Sinai, dari sana ke Afrika Utara, sampailah di tanah ini, lalu ia beristirahat karena kasutnya sudah rusak. Sewaktu Iniyanus menjahit kasut Markus, telapak tangannya terluka akibat tertusuk jarum, darahnya bercucuran dan ia merasa kesakitan. Melihat itu, Markus lalu mendoakannya dalam nama Yesus. Kemudian sembuhlah lukanya, tidak ada lagi rasa sakit dan darah yang keluar,” cerita Rami.
Setelah menyaksikan mukjizat itu, Iniyanus langsung bertanya kepada Markus. “Siapa-siapa? Kuasa itu dari mana?” ucap Rami menirukan perkataan Iniyanus.
Menurut Rami, saat itu Markus menjelaskan bahwa kuasa itu bukan berasal dari dirinya, tetapi dari Yesus. “Mendengar itu, Iniyanus mengatakan bahwa sepanjang hidupnya di Mesir, di zaman kerajaan Romawi tidak pernah ada dewa atau dewi yang bernama Yesus,” ujarnya.
Setelah itu barulah Markus menceritakan tentang Yesus. Bahwa Yesus datang untuk semua orang, bukan hanya untuk orang Yahudi. Cukup percaya kepada Yesus saja. Mendengar itu, Iniyanus akhirnya percaya dan meminta Markus untuk tinggal di rumahnya. Iniyanus juga memanggil teman-temannya untuk mendengarkan berita bahagia tersebut.
“Ini berita bahagia, karena di Mesir ini, kita harus memberikan persembahan kepada berhala agar berhala senang, supaya memberkati kita, tapi ini tanpa mempersembahkan apapun kami dapat keselamatan, akhirnya Iniyanus percaya kepada Yesus,” ungkapnya.
Di tempat ini Markus menulis injil. Dan di tanah ini pula Markus dibunuh oleh tentara Romawi pada tahun 68. Kaki dan tangannya diikat, lalu ditarik menggunakan kuda, sebelum kepalanya dipenggal.
“Jadi Markus adalah martir pertama, dialah yang menjadi imam di Gereja Koptik, bisa disebut patria, seperti Paus di Gereja Katolik,” imbuhnya.
Di tempat itu pula peserta perjalanan rohani bisa melihat makam tempat dikuburkannya kepala Markus. Makamnya berada di bagian bawah gereja. Tempat ini pula menjadi lokasi terakhir kunjungan kami hari itu. Karena perjalanan dari Kota Alexandaria ke Kairo memakan waktu lebih 4 jam dengan menggunakan bus, maka sore hari semua peserta diajak pulang. Seperti biasa, Flo Go memberikan pelayanan yang sangat luar biasa. Malam itu kami mencicipi menu makan di restoran berbeda. Namanya Barbecue Mawyana. (*bersambung/ce/ala)