Selasa, April 15, 2025
24.2 C
Palangkaraya

Perjalanan Inspiratif Yunita,  Menekuni Kerajinan Tangan

Awalnya Bikin Gelang dan Gantungan Kunci, Bisa Dapat Omzet Jutaan Rupiah Sehari

Manik-manik kecil itu bukan sekadar pernak-pernik pemanis. Di tangan Yunita (33), benda-benda mungil itu menjadi sumber rezeki, pintu kreativitas, dan harapan masa depan. Empat tahun terakhir, ia menjelma dari mantan pegawai menjadi perajin dan rutin menjajakan karyanya tiap Minggu pagi di lokasi car free day (CFD).

NOVIA NADYA CLAUDIA, Palangka Raya

DI bawah langit mendung yang teduh, di tengah riuhnya CDF Palangka Raya, seorang perempuan tampak sibuk melayani pembeli di lapak kecilnya. Tangannya lincah merapikan gantungan kunci dan gelang warna-warni hasil karyanya. Namanya Yunita, perajin aksesori yang menjadikan hobi masa remaja sebagai jalan hidup dan sumber penghidupan utama.

Yunita bukan sekadar penjual kerajinan tangan. Warga Jalan Hiu Putih ini adalah perajin yang menciptakan sendiri tiap karya yang dijualnya. Bersama adiknya, ia merangkai satu per satu aksesori berbahan dasar akrilik, batu, mika, dan manik-manik yang dibeli dari luar kota melalui Shopee atau grup online shop. Meski tinggal cukup jauh di kawasan Jalan Hiu Putih, semangatnya tak pernah surut untuk hadir di lokasi CFD tiap Minggu pagi, membawa hasil karyanya ke pusat keramaian kota.

Perjalanan Yunita menekuni dunia kerajinan tangan tak selalu mulus. Lulusan SMK jurusan sekretaris ini sempat menjajal dunia kerja sebagai SPG di Matahari dan Kawasaki, hingga menjadi customer service di Toyota Palangka Raya. Namun, kecintaannya pada manik-manik yang tumbuh sejak duduk di bangku sekolah tak pernah padam. Dari sekadar iseng menonton video di YouTube, ia mulai bereksperimen membuat gelang dan gantungan kunci. Tak disangka, karya pertamanya yang diunggah di Facebook langsung mendapat respons dari teman-temannya.

Baca Juga :  Ketika Lapas dan Rutan di Kalteng Over Kapasitas

“Awal dibuat, di-posting di Facebook, terus ada teman yang bilang lucu, mau beli. Akhirnya dari situ terus bikin lagi, dan makin banyak yang pesan,” ceritanya sambil melayani pembeli dengan ramah.

Saat pandemi melanda dan tali masker menjadi kebutuhan baru, Yunita ikut berinovasi. Produknya laku keras. Bahkan sampai dikirim ke luar daerah, seperti Jawa Barat dan Sampit. Beberapa di antaranya bahkan dibeli untuk dijual kembali.

Kini, lapak kecilnya di CFD menjadi salah satu sumber pendapatan utama keluarganya. Dalam sehari, penghasilan dari jualan bisa mencapai Rp1,5 juta. Bahkan saat mengikuti Festival Budaya Isen Mulang (FBIM), ia pernah meraup omzet hingga Rp1,8 juta dalam sehari. Puncaknya, saat ikut dalam suatu acara expo, pendapatan kotornya tembus Rp10 juta, belum dikurangi sewa lapak dan modal bahan. Meski begitu, Yunita menyadari bahwa usaha tak selalu berjalan mulus. Ada saatnya sepi pembeli. Bahkan harus nombok.

“Namanya usaha, pasti ada naik turun. Untungnya kerajinan ini enggak basi, jadi enggak khawatir,” katanya sembari tertawa.

Dengan harga produk yang terjangkau, mulai dari 10 ribu hingga 35 ribu rupiah, lapaknya kerap dipadati pembeli, terutama anak-anak dan remaja. Tak hanya mengandalkan CFD, ia juga menitipkan barang di beberapa toko aksesori. Bahkan, ada toko yang khusus memintanya menyediakan stok untuk dijual lagi.

Baca Juga :  Melihat Perayaan Natal di Kediaman Rektor UPR Dr Andrie Elia

Tren yang berubah-ubah menjadi tantangan tersendiri bagi Yunita. Namun, di situlah letak daya juangnya. Ia terus berinovasi, memanfaatkan bahan-bahan yang sama untuk menciptakan bentuk dan model berbeda. Kreativitasnya tak pernah berhenti berkembang.

“Saya selalu lihat-lihat tren terbaru. Kalau model lama udah enggak laku, kami rombak, bikin baru lagi. Yang penting terus belajar dan jangan berhenti berusaha,” ungkapnya.

Yunita kini menekuni usahanya itu sepenuh hati. Dengan waktu yang fleksibel, ia bisa tetap dekat dengan kedua anaknya yang kerap menemaninya berjualan. Ia tak hanya menikmati tiap proses membuat kerajinan tangan, tetapi juga merasakan kepuasan saat karya tangannya dipakai dan disukai banyak orang.

Di balik segala pencapaiannya, Yunita masih menyimpan mimpi yang lebih besar, memiliki toko sendiri. Ia ingin punya tempat di mana pelanggan bisa datang langsung dan memesan aksesori sesuai keinginan mereka. Suatu ruang kreatif yang tak hanya menjadi tempat memamerkan karya, tetapi juga menjadi wadah berkembangnya ide-ide baru.

“Kalau punya toko sendiri kan enak, orang bisa langsung lihat, bisa pesan custom. Doain ya, semoga bisa terwujud,” ucapnya penuh harap.

Dari sebuah hobi masa remaja, kini Yunita menjadikannya sebagai sumber penghidupan dan jembatan mimpi. Di bawah langit Palangka Raya yang teduh, ia membuktikan bahwa kreativitas, ketekunan, dan sedikit keberanian bisa mengubah manik-manik kecil menjadi kisah besar. (*/ce/ala)

Manik-manik kecil itu bukan sekadar pernak-pernik pemanis. Di tangan Yunita (33), benda-benda mungil itu menjadi sumber rezeki, pintu kreativitas, dan harapan masa depan. Empat tahun terakhir, ia menjelma dari mantan pegawai menjadi perajin dan rutin menjajakan karyanya tiap Minggu pagi di lokasi car free day (CFD).

NOVIA NADYA CLAUDIA, Palangka Raya

DI bawah langit mendung yang teduh, di tengah riuhnya CDF Palangka Raya, seorang perempuan tampak sibuk melayani pembeli di lapak kecilnya. Tangannya lincah merapikan gantungan kunci dan gelang warna-warni hasil karyanya. Namanya Yunita, perajin aksesori yang menjadikan hobi masa remaja sebagai jalan hidup dan sumber penghidupan utama.

Yunita bukan sekadar penjual kerajinan tangan. Warga Jalan Hiu Putih ini adalah perajin yang menciptakan sendiri tiap karya yang dijualnya. Bersama adiknya, ia merangkai satu per satu aksesori berbahan dasar akrilik, batu, mika, dan manik-manik yang dibeli dari luar kota melalui Shopee atau grup online shop. Meski tinggal cukup jauh di kawasan Jalan Hiu Putih, semangatnya tak pernah surut untuk hadir di lokasi CFD tiap Minggu pagi, membawa hasil karyanya ke pusat keramaian kota.

Perjalanan Yunita menekuni dunia kerajinan tangan tak selalu mulus. Lulusan SMK jurusan sekretaris ini sempat menjajal dunia kerja sebagai SPG di Matahari dan Kawasaki, hingga menjadi customer service di Toyota Palangka Raya. Namun, kecintaannya pada manik-manik yang tumbuh sejak duduk di bangku sekolah tak pernah padam. Dari sekadar iseng menonton video di YouTube, ia mulai bereksperimen membuat gelang dan gantungan kunci. Tak disangka, karya pertamanya yang diunggah di Facebook langsung mendapat respons dari teman-temannya.

Baca Juga :  Ketika Lapas dan Rutan di Kalteng Over Kapasitas

“Awal dibuat, di-posting di Facebook, terus ada teman yang bilang lucu, mau beli. Akhirnya dari situ terus bikin lagi, dan makin banyak yang pesan,” ceritanya sambil melayani pembeli dengan ramah.

Saat pandemi melanda dan tali masker menjadi kebutuhan baru, Yunita ikut berinovasi. Produknya laku keras. Bahkan sampai dikirim ke luar daerah, seperti Jawa Barat dan Sampit. Beberapa di antaranya bahkan dibeli untuk dijual kembali.

Kini, lapak kecilnya di CFD menjadi salah satu sumber pendapatan utama keluarganya. Dalam sehari, penghasilan dari jualan bisa mencapai Rp1,5 juta. Bahkan saat mengikuti Festival Budaya Isen Mulang (FBIM), ia pernah meraup omzet hingga Rp1,8 juta dalam sehari. Puncaknya, saat ikut dalam suatu acara expo, pendapatan kotornya tembus Rp10 juta, belum dikurangi sewa lapak dan modal bahan. Meski begitu, Yunita menyadari bahwa usaha tak selalu berjalan mulus. Ada saatnya sepi pembeli. Bahkan harus nombok.

“Namanya usaha, pasti ada naik turun. Untungnya kerajinan ini enggak basi, jadi enggak khawatir,” katanya sembari tertawa.

Dengan harga produk yang terjangkau, mulai dari 10 ribu hingga 35 ribu rupiah, lapaknya kerap dipadati pembeli, terutama anak-anak dan remaja. Tak hanya mengandalkan CFD, ia juga menitipkan barang di beberapa toko aksesori. Bahkan, ada toko yang khusus memintanya menyediakan stok untuk dijual lagi.

Baca Juga :  Melihat Perayaan Natal di Kediaman Rektor UPR Dr Andrie Elia

Tren yang berubah-ubah menjadi tantangan tersendiri bagi Yunita. Namun, di situlah letak daya juangnya. Ia terus berinovasi, memanfaatkan bahan-bahan yang sama untuk menciptakan bentuk dan model berbeda. Kreativitasnya tak pernah berhenti berkembang.

“Saya selalu lihat-lihat tren terbaru. Kalau model lama udah enggak laku, kami rombak, bikin baru lagi. Yang penting terus belajar dan jangan berhenti berusaha,” ungkapnya.

Yunita kini menekuni usahanya itu sepenuh hati. Dengan waktu yang fleksibel, ia bisa tetap dekat dengan kedua anaknya yang kerap menemaninya berjualan. Ia tak hanya menikmati tiap proses membuat kerajinan tangan, tetapi juga merasakan kepuasan saat karya tangannya dipakai dan disukai banyak orang.

Di balik segala pencapaiannya, Yunita masih menyimpan mimpi yang lebih besar, memiliki toko sendiri. Ia ingin punya tempat di mana pelanggan bisa datang langsung dan memesan aksesori sesuai keinginan mereka. Suatu ruang kreatif yang tak hanya menjadi tempat memamerkan karya, tetapi juga menjadi wadah berkembangnya ide-ide baru.

“Kalau punya toko sendiri kan enak, orang bisa langsung lihat, bisa pesan custom. Doain ya, semoga bisa terwujud,” ucapnya penuh harap.

Dari sebuah hobi masa remaja, kini Yunita menjadikannya sebagai sumber penghidupan dan jembatan mimpi. Di bawah langit Palangka Raya yang teduh, ia membuktikan bahwa kreativitas, ketekunan, dan sedikit keberanian bisa mengubah manik-manik kecil menjadi kisah besar. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/