Jumat, September 20, 2024
29.1 C
Palangkaraya

Menyatukan Kearifan Lokal Flores-Kalteng, Tenun Ikat Lamandau Menarik Perhatian

Melihat Keahlian Menenun Germana Guwan

Kain tenun ikat merupakan salah satu karya kerajinan dari helaian benang khas Nusa Tenggara Timur. Seorang transmigran asal Flores datang ke Kalteng membawa kearifan lokal itu, lalu menyatukannya dengan kearifan lokal Bumi Tambun Bungai.

ANISA B WAHDAH-DEDEH WININGSIH, Palangka Raya

KEAHLIAN menenun diturunkan dari nenek moyangnya. Demikian pengakuan Germana Guwan. Malam itu ia sangat luwes mengayunkan kedua tangannya pada alat tenun tradisional yang dipangkunya. Gulungan benang tenun di sisi kanan dan kirinya perlahan disusun per helai menjadi hamparan kain yang rapi dan indah.

Perempuan paruh baya itu sedang fokus menenun. Tenun ikat namanya. Kearifan lokal dan kerajinan khas Pulau Flores itu memikat para pengunjung yang mampir di stan Kabupaten Lamandau pada gelaran Kalteng Expo 2022. Meskipun tenun ikat yang digeluti mama Ago -sapaan akrabnya merupakan warisan yang diturunkan dari nenek moyangnya di Sikka, Nusa Tenggara Timur, tapi karya-karya yang dihasilkannya sudah berbalut kearifan lokal Kalteng.

Mama Ago membawa kearifan lokal bertenun ikat ke Kabupaten Lamandau kala mengikuti program transmigrasi pada 1992 lalu. Perempuan kelahiran Kabupaten Sikka ini sedari muda, bahkan sebelum datang ke Kalteng, sudah terbilang ahli bertenun. Kala itu, di wilayah transmigran ia hanya memproduksi tenun ikat untuk sesama transmigran asal Flores.

Seiring bergantinya waktu, karya tenun ikatnya mulai berbalut dengan kearifan lokal Bumi Tambun Bungai. Kini tersebar luas di wilayah Kalteng. Bahkan hasil kerajinannya itu membawa nama Kalteng ke Pulau Jawa.

Perempuan yang lahir pada 21 Mei 1965 ini sudah memiliki kelompok sekaligus menjadi rumah industri satu-satunya di Kalteng, dengan hasil produksi yang cukup besar. Selain memiliki rumah industri, ia juga membina para perajin lain agar bisa bertentun ikat dan mengembangkan lebih luas lagi produksi tenun dari Kabupaten Lamandau. Hal itu memantik perhatian pemerintah daerah setempat untuk memberikan pembinaan sekaligus bantuan.

Baca Juga :  Lestarikan Budaya Tanah Kelahiran, Berbaur dengan Budaya Lokal

Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Disperindagkop dan UMKM) Lamandau sudah memberikan hibah alat menenun pada 2009 lalu. Kini, rumah produksi dengan bran Talino Sega sudah banyak memproduksi kain tenun ikat, baik menggunakan alat modern maupun alat tradisional yang ia bawa dari NTT 30 tahun silam.

“Memang ilmu menenun ini turun-temurun dari nenek moyang saya, sebelum ke Kalteng saya sudah bisa menenun. Dulu membuat kain tenun cuma untuk sesama warga transmigran asal Flores, tapi semenjak dibina oleh dinas terkait pada 2013 lalu, saya sudah mulai memproduksi lebih banyak, bahkan menyatukan kerajinan tenun ikat dengan kearifan Kalteng,” katanya di sela-sela proses menenun di stan Kabupaten Lamandau pada arena Kalteng Expo, Kamis malam (14/7).

Diakuinya bahwa sebagain besar produksi sudah menggunakan alat hibah dari pemerintah. Namun ia juga masih memproduksi menggunakan alat tenun tradisonal untuk melestarikan kearifan lokal. Memang tidak mudah untuk menghasilkan kain tenun ini. Selain keahlian, juga diperlukan waktu yang cukup lama. Belum lagi kendala bahan baku yang cukup sulit didapatkan di Kalteng.

“Bahan tenun masih didatangkan dari Flores, Jepara, dan Jakarta karena memang di Kalteng ini masih belum ada,” ucapnya saat dibincangi Kalteng Pos.

Dalam sekali tenun, akan menghasilkan kain yang berbeda, motif berbeda, waktu berbeda, serta harga jual yang juga berbeda. Contohnya, kain yang malam itu ia tenun memiliki panjang 4 meter dan lebar 80 sentimeter dan bermotif nama. Dikatakannya, untuk bisa menyelesaiakan pengerjaan kain itu, memerlukan waktu satu bulan. Meski cukup memakan waktu proses pengerjaannya, tapi harga jual cukup fantastis. Selembar kain dijual seharga Rp1,5 juta.

Baca Juga :  Makam Keramat Mangkomot Menjadi Tujuan Wisata Religi

“Prosesnya memang ribet untuk motif nama, harus mengikat bagian-bagian benang yang kemudian disusun membentuk nama, jika tenun motif polos saja bisa diselesaikan dalam waktu dua minggu, harganya jual bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga di atas dua juta rupiah” bebernya.

Saat ini rumah produksi Talino Sega memiliki lima karyawan. Namun sejauh ini belum bisa memenuhi permintaan yang cukup tinggi. Lantaran tidak mudah merekrut karyawan. Harus diajari dan dilatih terlebih dahulu cara bertenun ikat.

“Pendapatan bersih setiap bulan minimal Rp5 hingga Rp6 juta, bahkan bisa mencapai Rp10 juta,” tuturnya.

Sementara itu, pembina dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Disperindagkop dan UMKM) Lamandau sekaligus pembina di Dewan Kerajinan Nasional Daerah  (Dekranasda) Lamandau Ernawati mengatakan, pihaknya telah membina dan melatih perajin tenun ikat yang diawali oleh Mama Ago ini. Termasuk belajar untuk membuat motif dan menggunakan alat-alat tenun modern.

“Kami membawa mereka ikut pelatihan di Jepara untuk belajar motifnya, termasuk belajar menggunakan alat-alat menenun modern,” katanya.

Selama dibina oleh Disperindagkop dan UMKM, para perajin terus berkembang dan mulai memproduksi motif-motif baru. Selain itu, Dekranasda Kabupaten Lamandau juga turut membantu pemasaran, baik secara langsung maupun melalui media sosial.

“Dekranasda juga membantu promosi hingga perajin mendapatkan pesanan yang cukup banyak, bahkan Mama Ago juga mengajarkan warga lokal di Lamandau untuk bisa menenun, sekarang sudah ada tiga kelompok kerajinan tenun di Lamandau,” ucapnya. (*/ce/ala/ko)

Melihat Keahlian Menenun Germana Guwan

Kain tenun ikat merupakan salah satu karya kerajinan dari helaian benang khas Nusa Tenggara Timur. Seorang transmigran asal Flores datang ke Kalteng membawa kearifan lokal itu, lalu menyatukannya dengan kearifan lokal Bumi Tambun Bungai.

ANISA B WAHDAH-DEDEH WININGSIH, Palangka Raya

KEAHLIAN menenun diturunkan dari nenek moyangnya. Demikian pengakuan Germana Guwan. Malam itu ia sangat luwes mengayunkan kedua tangannya pada alat tenun tradisional yang dipangkunya. Gulungan benang tenun di sisi kanan dan kirinya perlahan disusun per helai menjadi hamparan kain yang rapi dan indah.

Perempuan paruh baya itu sedang fokus menenun. Tenun ikat namanya. Kearifan lokal dan kerajinan khas Pulau Flores itu memikat para pengunjung yang mampir di stan Kabupaten Lamandau pada gelaran Kalteng Expo 2022. Meskipun tenun ikat yang digeluti mama Ago -sapaan akrabnya merupakan warisan yang diturunkan dari nenek moyangnya di Sikka, Nusa Tenggara Timur, tapi karya-karya yang dihasilkannya sudah berbalut kearifan lokal Kalteng.

Mama Ago membawa kearifan lokal bertenun ikat ke Kabupaten Lamandau kala mengikuti program transmigrasi pada 1992 lalu. Perempuan kelahiran Kabupaten Sikka ini sedari muda, bahkan sebelum datang ke Kalteng, sudah terbilang ahli bertenun. Kala itu, di wilayah transmigran ia hanya memproduksi tenun ikat untuk sesama transmigran asal Flores.

Seiring bergantinya waktu, karya tenun ikatnya mulai berbalut dengan kearifan lokal Bumi Tambun Bungai. Kini tersebar luas di wilayah Kalteng. Bahkan hasil kerajinannya itu membawa nama Kalteng ke Pulau Jawa.

Perempuan yang lahir pada 21 Mei 1965 ini sudah memiliki kelompok sekaligus menjadi rumah industri satu-satunya di Kalteng, dengan hasil produksi yang cukup besar. Selain memiliki rumah industri, ia juga membina para perajin lain agar bisa bertentun ikat dan mengembangkan lebih luas lagi produksi tenun dari Kabupaten Lamandau. Hal itu memantik perhatian pemerintah daerah setempat untuk memberikan pembinaan sekaligus bantuan.

Baca Juga :  Lestarikan Budaya Tanah Kelahiran, Berbaur dengan Budaya Lokal

Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Disperindagkop dan UMKM) Lamandau sudah memberikan hibah alat menenun pada 2009 lalu. Kini, rumah produksi dengan bran Talino Sega sudah banyak memproduksi kain tenun ikat, baik menggunakan alat modern maupun alat tradisional yang ia bawa dari NTT 30 tahun silam.

“Memang ilmu menenun ini turun-temurun dari nenek moyang saya, sebelum ke Kalteng saya sudah bisa menenun. Dulu membuat kain tenun cuma untuk sesama warga transmigran asal Flores, tapi semenjak dibina oleh dinas terkait pada 2013 lalu, saya sudah mulai memproduksi lebih banyak, bahkan menyatukan kerajinan tenun ikat dengan kearifan Kalteng,” katanya di sela-sela proses menenun di stan Kabupaten Lamandau pada arena Kalteng Expo, Kamis malam (14/7).

Diakuinya bahwa sebagain besar produksi sudah menggunakan alat hibah dari pemerintah. Namun ia juga masih memproduksi menggunakan alat tenun tradisonal untuk melestarikan kearifan lokal. Memang tidak mudah untuk menghasilkan kain tenun ini. Selain keahlian, juga diperlukan waktu yang cukup lama. Belum lagi kendala bahan baku yang cukup sulit didapatkan di Kalteng.

“Bahan tenun masih didatangkan dari Flores, Jepara, dan Jakarta karena memang di Kalteng ini masih belum ada,” ucapnya saat dibincangi Kalteng Pos.

Dalam sekali tenun, akan menghasilkan kain yang berbeda, motif berbeda, waktu berbeda, serta harga jual yang juga berbeda. Contohnya, kain yang malam itu ia tenun memiliki panjang 4 meter dan lebar 80 sentimeter dan bermotif nama. Dikatakannya, untuk bisa menyelesaiakan pengerjaan kain itu, memerlukan waktu satu bulan. Meski cukup memakan waktu proses pengerjaannya, tapi harga jual cukup fantastis. Selembar kain dijual seharga Rp1,5 juta.

Baca Juga :  Makam Keramat Mangkomot Menjadi Tujuan Wisata Religi

“Prosesnya memang ribet untuk motif nama, harus mengikat bagian-bagian benang yang kemudian disusun membentuk nama, jika tenun motif polos saja bisa diselesaikan dalam waktu dua minggu, harganya jual bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga di atas dua juta rupiah” bebernya.

Saat ini rumah produksi Talino Sega memiliki lima karyawan. Namun sejauh ini belum bisa memenuhi permintaan yang cukup tinggi. Lantaran tidak mudah merekrut karyawan. Harus diajari dan dilatih terlebih dahulu cara bertenun ikat.

“Pendapatan bersih setiap bulan minimal Rp5 hingga Rp6 juta, bahkan bisa mencapai Rp10 juta,” tuturnya.

Sementara itu, pembina dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Disperindagkop dan UMKM) Lamandau sekaligus pembina di Dewan Kerajinan Nasional Daerah  (Dekranasda) Lamandau Ernawati mengatakan, pihaknya telah membina dan melatih perajin tenun ikat yang diawali oleh Mama Ago ini. Termasuk belajar untuk membuat motif dan menggunakan alat-alat tenun modern.

“Kami membawa mereka ikut pelatihan di Jepara untuk belajar motifnya, termasuk belajar menggunakan alat-alat menenun modern,” katanya.

Selama dibina oleh Disperindagkop dan UMKM, para perajin terus berkembang dan mulai memproduksi motif-motif baru. Selain itu, Dekranasda Kabupaten Lamandau juga turut membantu pemasaran, baik secara langsung maupun melalui media sosial.

“Dekranasda juga membantu promosi hingga perajin mendapatkan pesanan yang cukup banyak, bahkan Mama Ago juga mengajarkan warga lokal di Lamandau untuk bisa menenun, sekarang sudah ada tiga kelompok kerajinan tenun di Lamandau,” ucapnya. (*/ce/ala/ko)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/