Jumat, September 20, 2024
25.1 C
Palangkaraya

90 Persen Bangunan Masjid Kiai Gede Masih Asli

Tak banyak yang tahu, cikal bakal berdirinya Masjid Jami Kutaringin atau kini dikenal sebagai Masjid Kiai Gede, dahulunya hanya surau atau musala kecil. Seiring waktu, Kesultanan Kutaringin memutuskan untuk membangun tempat ibadah yang lebih besar agar mampu menampung lebih banyak jemaah.

RUSLAN, Pangkalan Bun

AWALNYA bangunan ini merupakan surau atau musala yang dipergunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari sekaligus menyebarkan ajaran Islam. Surau tersebut dibangun pada tahun 1615 Masehi, pada masa kepemimpinan Pangeran Adipati Antakusuma (sultan pertama, pendiri Kesultanan Kutaringin). Karena jumlah pemeluk agama Islam kian banyak, keberadaan surau tak lagi memadai untuk menampung jemaah yang beribadah. Pihak Kesultanan Kutarangin pun memutuskan untuk membangun sebuah masjid.

Baca Juga :  Mencegah Gesekan, Beri Perlindungan dan Hak Masyarakat

Pada masa pemerintahan Pangeran Penghulu (Sultan VI Kutarangin), masjid mulai dibangun di sebelah hulu surau, tepatnya pada tahun 1632 Masehi. Namun ketika pembangunan masjid tersebut belum rampung, Pangeran Penghulu terlebih dahulu mengundurkan diri. Takhta kerajaan diteruskan oleh putranya, Sultan Balladudin, dengan gelar Ratu Begawan.

Proses pengerjaan masjid dilanjutkan oleh Ratu Begawan hingga selesai dan diberi nama Masjid Jami Kutarangin (sekarang bernama Masjid Kiai Gede). Muhammad Padli selaku ketua pengurus Masjid Kiai Gede mengatakan, keaslian bangunan masjid tetap dijaga hingga kini. Hampir 90 persen dari bangunan masih asli sesuai peninggalan sejarah. Hanya ada beberapa bahan saja yang diganti karena lapuk termakan usia.

Baca Juga :  Tiap Haul Akbar, Jemaah Selalu Membeludak

“Ada beberapa bahan yang diganti, mengganti dalam artian menambah saja, jadi tidak mengurangi nilai bangunan dan sejarah dari Masjid Kiai Gede, misalnya kulit beduk yang rapuh diganti dengan yang baru, kemudian sebagian ornamen mimbar juga ditambah ukiran kaligrafi,” kata Muhammad Padli kepada Kalteng Pos.
Keaslian benda cagar budaya Masjid Kiai Gede hingga kini masih terus dijaga dan dirawat. Peninggalan bersejarah ini telah masuk dalam cagar budaya di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dirjen Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur. “Dengan masuknya Masjid Kiai Gede dalam salah satu cagar budaya, maka penanganan atau pemiliharaan diharapkan lebih baik ke depannya,” ujarnya. (bersambung/ce/ala)

Tak banyak yang tahu, cikal bakal berdirinya Masjid Jami Kutaringin atau kini dikenal sebagai Masjid Kiai Gede, dahulunya hanya surau atau musala kecil. Seiring waktu, Kesultanan Kutaringin memutuskan untuk membangun tempat ibadah yang lebih besar agar mampu menampung lebih banyak jemaah.

RUSLAN, Pangkalan Bun

AWALNYA bangunan ini merupakan surau atau musala yang dipergunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari sekaligus menyebarkan ajaran Islam. Surau tersebut dibangun pada tahun 1615 Masehi, pada masa kepemimpinan Pangeran Adipati Antakusuma (sultan pertama, pendiri Kesultanan Kutaringin). Karena jumlah pemeluk agama Islam kian banyak, keberadaan surau tak lagi memadai untuk menampung jemaah yang beribadah. Pihak Kesultanan Kutarangin pun memutuskan untuk membangun sebuah masjid.

Baca Juga :  Mencegah Gesekan, Beri Perlindungan dan Hak Masyarakat

Pada masa pemerintahan Pangeran Penghulu (Sultan VI Kutarangin), masjid mulai dibangun di sebelah hulu surau, tepatnya pada tahun 1632 Masehi. Namun ketika pembangunan masjid tersebut belum rampung, Pangeran Penghulu terlebih dahulu mengundurkan diri. Takhta kerajaan diteruskan oleh putranya, Sultan Balladudin, dengan gelar Ratu Begawan.

Proses pengerjaan masjid dilanjutkan oleh Ratu Begawan hingga selesai dan diberi nama Masjid Jami Kutarangin (sekarang bernama Masjid Kiai Gede). Muhammad Padli selaku ketua pengurus Masjid Kiai Gede mengatakan, keaslian bangunan masjid tetap dijaga hingga kini. Hampir 90 persen dari bangunan masih asli sesuai peninggalan sejarah. Hanya ada beberapa bahan saja yang diganti karena lapuk termakan usia.

Baca Juga :  Tiap Haul Akbar, Jemaah Selalu Membeludak

“Ada beberapa bahan yang diganti, mengganti dalam artian menambah saja, jadi tidak mengurangi nilai bangunan dan sejarah dari Masjid Kiai Gede, misalnya kulit beduk yang rapuh diganti dengan yang baru, kemudian sebagian ornamen mimbar juga ditambah ukiran kaligrafi,” kata Muhammad Padli kepada Kalteng Pos.
Keaslian benda cagar budaya Masjid Kiai Gede hingga kini masih terus dijaga dan dirawat. Peninggalan bersejarah ini telah masuk dalam cagar budaya di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dirjen Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur. “Dengan masuknya Masjid Kiai Gede dalam salah satu cagar budaya, maka penanganan atau pemiliharaan diharapkan lebih baik ke depannya,” ujarnya. (bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/