Selasa, Februari 25, 2025
25.1 C
Palangkaraya

Luar Biasa! Seniman Kalteng Menjuarai Art Festival Morning Star di Bulgaria

Kesenian Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi perhatian setelah meraih hasil gemilang pada Art Festival Morning Star yang digelar di Bansko, Bulgaria, November 2024. Mereka tidak hanya mewakili daerah, tetapi juga membawa dan mengenalkan warisan budaya Indonesia ke panggung dunia.

 

DHEA UMILATI, Palangka Raya

SALJU yang turun di musim dingin menyelimuti Kota Bansko bak selimut putih yang menawan. Udara dingin menusuk tulang, membuat banyak orang memilih untuk tetap berada di dalam rumah. Namun, tidak bagi sekumpulan seniman asal Kalteng. Dengan penuh antusias, mereka keluar dari rumah, merasakan bulir-bulir salju menyentuh kulit mereka untuk pertama kalinya.

“Kami seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat salju,” kata Yuli, salah satu seniman yang berangkat mewakili Indonesia pada ajang Art Festival Morning Star di Bulgaria.

“Kami tahu perjalanan ini bukan sekadar tentang kompetisi, tetapi pengalaman yang tidak akan kami lupakan,” ujarnya.

Berangkat dengan segala keterbatasan, mereka membawa nama Kalteng dengan penuh bangga. Yuli Pamungkas Borneo, Siti Habibah, Yetmi, Apriyadi, dan Caroline Anbiya Putri berhasil membuat budaya Dayak bersinar dan dikenal di Eropa, setelah menorehkan prestasi gemilang pada Art Festival Morning Star yang digelar pada November 2024 di Bansko, Bulgaria. Mereka tidak hanya mewakili daerah, tetapi juga membawa warisan budaya Indonesia ke panggung dunia.

Siti Habibah, salah satu seniman yang turut berpartisipasi dalam ajang itu menyampaikan, mempersiapkan diri untuk kompetisi ini bukanlah hal yang mudah. Tiap malam berlatih tanpa mengenal lelah.

“Waktu itu saya bahkan baru pulang dari Bulgaria karena mengajar tari di sana, lalu harus bersiap untuk berangkat lagi ke Bansko mengikuti Art Festival ini,” ungkapnya.

Dikatakannya, meski tubuh masih kelelahan akibat perjalanan panjang dari Indonesia ke Bulgaria, sesampai di sana ia langsung beraktivitas mengikuti rangkaian kegiatan yang ada. Jika memungkinkan untuk berlatih, mereka memanfaatkan waktu yang ada.

“Latihannya luar biasa melelahkan, tetapi semangat kami lebih besar dari rasa lelah itu,” katanya sambil mengingat bagaimana mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan cuaca.

Baca Juga :  Persaingan Juara Premier League

Mereka tampil dengan kostum khas Kalimantan yang penuh warna dan memukau. Tiap detail dari pakaian yang dikenakan mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Properti tari seperti mandau, senjata tradisional khas suku Dayak, menjadi elemen penting dalam penampilan mereka.

“Bagasi terbatas ya, tetapi beruntung sebelumnya saya pernah mengajar di sini, jadi beberapa alat dan kebutuhan untuk menari masih bisa gunakan yang ada di sini,” tuturnya.

Ketika tiba saatnya tampil di panggung, rasa tegang sempat menyelimuti mereka. Namun, begitu musik khas Kalimantan mulai dimainkan, tubuh mereka seakan bergerak dengan sendirinya. Riuh tepuk tangan penonton terdengar tiap kali mereka menyelesaikan satu bagian dari tarian.

Ibu dua anak itu mengaku tidak menyangka usaha mereka membuahkan hasil yang memuaskan. Caroline Anbiya Putri, sang anak yang juga turut berpartisipasi dalam kompetisi ini, berhasil meraih juara 1 Solo Ethno untuk kategori anak usia 2-7 tahun.

“Itu luar biasa sekali, kami tidak menyangka kalau akan dapat juara 1, karena jujur saja kami tidak paham bahasa mereka, untungnya saat di sana kami meminta tolong salah satu anak didik saya sewaktu mengajar tari untuk turut andil menari bersama kami. Dia yang membantu komunikasi kami selama di sana, namanya Velizara,” tuturnya.

Velizara, Siti Habibah, dan Apriyadi menyabet juara 1 Trio Ethno tingkat dewasa. Sedangkan dalam kategori Group Ethno dewasa, Yuli Pamungkas Borneo, Yetmi, Siti Habibah, dan Apriyadi juga meraih juara 1.

“Aku hampir tidak percaya ketika nama kami diumumkan sebagai juara. Kami datang ke sini dengan segala keterbatasan, tapi kami pulang dengan membawa kebanggaan,” timpal Yuli.

Perjalanan mereka tidaklah mudah. Keterbatasan dana menjadi tantangan utama.

“Seharusnya, kalau ingin bersaing di Grand Prix, kami harus mengikuti semua kategori lomba seperti balet, vokal, dance, dan kategori lomba lainnya. Namun karena dana kami terbatas, kami hanya bisa mengirim enam orang,” terangnya.

Beruntung, mereka mendapatkan dukungan dari banyak pihak, termasuk bantuan visa dari KBRI.

Baca Juga :  Tari Dadas Bawo Resmi Tercatat di Muri

“Kalau tidak ada bantuan ini, mungkin kami tidak bisa berangkat,” katanya.

Mereka juga harus mengurus berbagai dokumen, termasuk rekening bank dengan saldo tertentu untuk mendapatkan visa.

“Rekening saya bahkan di bawah satu juta rupiah, tetapi berkat surat dari KBRI, kami tetap bisa mendapatkan visa,” sahut Habibah sambil tertawa.

Setelah seminggu penuh di Bansko untuk kompetisi, mereka melanjutkan perjalanan ke Sofia, ibu kota Bulgaria. Di tempat itu, mereka tidak hanya menampilkan tari tradisional, tetapi juga berbagi ilmu dengan komunitas seni di Sanggar Nusantara KBRI. Mereka mengajar tarian dan memperkenalkan batik kepada masyarakat Bulgaria.

“Awalnya kami pikir mereka hanya akan menonton, ternyata mereka sangat antusias dan ingin belajar lebih dalam tentang budaya kita,” ungkap Habibah.

Bulgaria menyambut mereka dengan tangan terbuka. Meski jauh dari rumah, keramahan penduduk setempat membuat mereka merasa nyaman. Suasana Kota Sofia yang penuh arsitektur klasik dan jalanan berbatu memberikan pengalaman baru yang begitu berharga. Mereka juga mencoba makanan khas Eropa Timur, meskipun harus beradaptasi dengan rasa yang berbeda dari masakan Indonesia.

Keberhasilan ini bukan hanya milik mereka, tetapi juga milik Provinsi Kalteng dan seluruh Indonesia. “Kami mungkin hanya enam orang yang berangkat, tetapi kami membawa semangat dan kebanggaan seluruh masyarakat Kalimantan Tengah,” ungkapnya.

Dengan segala keterbatasan yang ada, mereka membuktikan bahwa seni Indonesia bisa berdiri sejajar dengan seni dari negara-negara lain di berbagai belahan dunia.

“Terima kasih untuk semua yang telah mendukung kami, ini juga tidak lepas dari bantuan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah yang telah membantu pendanaan sejak berangkat hingga pulang kembali ke Bumi Tambun Bungai,” ungkapnya.

Menurutnya, perjalanan ke Bulgaria bukan hanya mengisahkan tentang kemenangan. Lebih dari itu, merupakan kisah bagaimana seni bisa menjadi alat pemersatu budaya dan jembatan persahabatan antarbangsa.

“Jika diizinkan kami ingin terus membawa budaya Indonesia lebih jauh lagi ke kancah internasional,” tutupnya. (*/ce/ala)

Kesenian Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi perhatian setelah meraih hasil gemilang pada Art Festival Morning Star yang digelar di Bansko, Bulgaria, November 2024. Mereka tidak hanya mewakili daerah, tetapi juga membawa dan mengenalkan warisan budaya Indonesia ke panggung dunia.

 

DHEA UMILATI, Palangka Raya

SALJU yang turun di musim dingin menyelimuti Kota Bansko bak selimut putih yang menawan. Udara dingin menusuk tulang, membuat banyak orang memilih untuk tetap berada di dalam rumah. Namun, tidak bagi sekumpulan seniman asal Kalteng. Dengan penuh antusias, mereka keluar dari rumah, merasakan bulir-bulir salju menyentuh kulit mereka untuk pertama kalinya.

“Kami seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat salju,” kata Yuli, salah satu seniman yang berangkat mewakili Indonesia pada ajang Art Festival Morning Star di Bulgaria.

“Kami tahu perjalanan ini bukan sekadar tentang kompetisi, tetapi pengalaman yang tidak akan kami lupakan,” ujarnya.

Berangkat dengan segala keterbatasan, mereka membawa nama Kalteng dengan penuh bangga. Yuli Pamungkas Borneo, Siti Habibah, Yetmi, Apriyadi, dan Caroline Anbiya Putri berhasil membuat budaya Dayak bersinar dan dikenal di Eropa, setelah menorehkan prestasi gemilang pada Art Festival Morning Star yang digelar pada November 2024 di Bansko, Bulgaria. Mereka tidak hanya mewakili daerah, tetapi juga membawa warisan budaya Indonesia ke panggung dunia.

Siti Habibah, salah satu seniman yang turut berpartisipasi dalam ajang itu menyampaikan, mempersiapkan diri untuk kompetisi ini bukanlah hal yang mudah. Tiap malam berlatih tanpa mengenal lelah.

“Waktu itu saya bahkan baru pulang dari Bulgaria karena mengajar tari di sana, lalu harus bersiap untuk berangkat lagi ke Bansko mengikuti Art Festival ini,” ungkapnya.

Dikatakannya, meski tubuh masih kelelahan akibat perjalanan panjang dari Indonesia ke Bulgaria, sesampai di sana ia langsung beraktivitas mengikuti rangkaian kegiatan yang ada. Jika memungkinkan untuk berlatih, mereka memanfaatkan waktu yang ada.

“Latihannya luar biasa melelahkan, tetapi semangat kami lebih besar dari rasa lelah itu,” katanya sambil mengingat bagaimana mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan cuaca.

Baca Juga :  Persaingan Juara Premier League

Mereka tampil dengan kostum khas Kalimantan yang penuh warna dan memukau. Tiap detail dari pakaian yang dikenakan mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Properti tari seperti mandau, senjata tradisional khas suku Dayak, menjadi elemen penting dalam penampilan mereka.

“Bagasi terbatas ya, tetapi beruntung sebelumnya saya pernah mengajar di sini, jadi beberapa alat dan kebutuhan untuk menari masih bisa gunakan yang ada di sini,” tuturnya.

Ketika tiba saatnya tampil di panggung, rasa tegang sempat menyelimuti mereka. Namun, begitu musik khas Kalimantan mulai dimainkan, tubuh mereka seakan bergerak dengan sendirinya. Riuh tepuk tangan penonton terdengar tiap kali mereka menyelesaikan satu bagian dari tarian.

Ibu dua anak itu mengaku tidak menyangka usaha mereka membuahkan hasil yang memuaskan. Caroline Anbiya Putri, sang anak yang juga turut berpartisipasi dalam kompetisi ini, berhasil meraih juara 1 Solo Ethno untuk kategori anak usia 2-7 tahun.

“Itu luar biasa sekali, kami tidak menyangka kalau akan dapat juara 1, karena jujur saja kami tidak paham bahasa mereka, untungnya saat di sana kami meminta tolong salah satu anak didik saya sewaktu mengajar tari untuk turut andil menari bersama kami. Dia yang membantu komunikasi kami selama di sana, namanya Velizara,” tuturnya.

Velizara, Siti Habibah, dan Apriyadi menyabet juara 1 Trio Ethno tingkat dewasa. Sedangkan dalam kategori Group Ethno dewasa, Yuli Pamungkas Borneo, Yetmi, Siti Habibah, dan Apriyadi juga meraih juara 1.

“Aku hampir tidak percaya ketika nama kami diumumkan sebagai juara. Kami datang ke sini dengan segala keterbatasan, tapi kami pulang dengan membawa kebanggaan,” timpal Yuli.

Perjalanan mereka tidaklah mudah. Keterbatasan dana menjadi tantangan utama.

“Seharusnya, kalau ingin bersaing di Grand Prix, kami harus mengikuti semua kategori lomba seperti balet, vokal, dance, dan kategori lomba lainnya. Namun karena dana kami terbatas, kami hanya bisa mengirim enam orang,” terangnya.

Beruntung, mereka mendapatkan dukungan dari banyak pihak, termasuk bantuan visa dari KBRI.

Baca Juga :  Tari Dadas Bawo Resmi Tercatat di Muri

“Kalau tidak ada bantuan ini, mungkin kami tidak bisa berangkat,” katanya.

Mereka juga harus mengurus berbagai dokumen, termasuk rekening bank dengan saldo tertentu untuk mendapatkan visa.

“Rekening saya bahkan di bawah satu juta rupiah, tetapi berkat surat dari KBRI, kami tetap bisa mendapatkan visa,” sahut Habibah sambil tertawa.

Setelah seminggu penuh di Bansko untuk kompetisi, mereka melanjutkan perjalanan ke Sofia, ibu kota Bulgaria. Di tempat itu, mereka tidak hanya menampilkan tari tradisional, tetapi juga berbagi ilmu dengan komunitas seni di Sanggar Nusantara KBRI. Mereka mengajar tarian dan memperkenalkan batik kepada masyarakat Bulgaria.

“Awalnya kami pikir mereka hanya akan menonton, ternyata mereka sangat antusias dan ingin belajar lebih dalam tentang budaya kita,” ungkap Habibah.

Bulgaria menyambut mereka dengan tangan terbuka. Meski jauh dari rumah, keramahan penduduk setempat membuat mereka merasa nyaman. Suasana Kota Sofia yang penuh arsitektur klasik dan jalanan berbatu memberikan pengalaman baru yang begitu berharga. Mereka juga mencoba makanan khas Eropa Timur, meskipun harus beradaptasi dengan rasa yang berbeda dari masakan Indonesia.

Keberhasilan ini bukan hanya milik mereka, tetapi juga milik Provinsi Kalteng dan seluruh Indonesia. “Kami mungkin hanya enam orang yang berangkat, tetapi kami membawa semangat dan kebanggaan seluruh masyarakat Kalimantan Tengah,” ungkapnya.

Dengan segala keterbatasan yang ada, mereka membuktikan bahwa seni Indonesia bisa berdiri sejajar dengan seni dari negara-negara lain di berbagai belahan dunia.

“Terima kasih untuk semua yang telah mendukung kami, ini juga tidak lepas dari bantuan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah yang telah membantu pendanaan sejak berangkat hingga pulang kembali ke Bumi Tambun Bungai,” ungkapnya.

Menurutnya, perjalanan ke Bulgaria bukan hanya mengisahkan tentang kemenangan. Lebih dari itu, merupakan kisah bagaimana seni bisa menjadi alat pemersatu budaya dan jembatan persahabatan antarbangsa.

“Jika diizinkan kami ingin terus membawa budaya Indonesia lebih jauh lagi ke kancah internasional,” tutupnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/