Di tengah pesatnya perkembangan zaman, tidak banyak generasi muda yang masih tertarik pada warisan budaya lokal, terutama budaya yang menuntut dedikasi dan latihan khusus. Mereka adalah pelajar dari SMP Katolik Santo Paulus yang baru saja keluar sebagai pemenang lomba karungut pada Selebrasi Krida Duta Bahasa.
DHEA UMILATI, Palangka Raya
MESKI tantangan yang mereka hadapi tidak sedikit, semangat SMP Katolik Santo Paulus untuk menjaga warisan budaya kesenian tradisional Dayak patut diapresiasi. Hal itu terbukti melalui partisipasi mereka dalam acara Selebrasi Krida Duta Bahasa, Senin (24/9/2024). Mereka berhasil meraih juara pertama lomba karungut.
Revaline, salah satu peserta lomba, mengaku mulai mengenal karungut sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) melalui tugas sekolah. ”Waktu itu kami diminta membuat video nyanyi karungut dalam pelajaran Bahasa Dayak. Sejak itu saya terus berlatih, hingga akhirnya bisa menyanyi sendiri tanpa tutorial,” ungkapnya.
Meskipun belum bisa memainkan alat musik Dayak, Revaline mampu menemukan nada yang tepat untuk karungut dengan mencoba dan berlatih. Menurutnya, penting bagi anak-anak seusianya untuk melestarikan budaya Dayak, agar warisan budaya ini tidak hilang ditelan perubahan zaman.
Menurut Revaline, tantangan utama dalam mempelajari karungut adalah menjaga nada dan aksen yang benar, terutama karena bahasa Dayak memiliki penekanan pada vokal sehingga nadanya terdengar khas.
“Kadang saat bernyanyi nadanya bisa salah, kepeleset gitu,” tambahnya sambil tertawa. Untuk mengatasinya, ia sering meminta bantuan dari orang tua atau temannya yang lebih fasih berbahasa Dayak.
Pengalaman serupa dialami Martha Vita, rekan satu timnya, yang awalnya tidak menyangka akan terjun ke dunia karungut. Martha menceritakan bagaimana ia pertama kali mengenal karungut saat diajak mengikuti sosialisasi.
“Sebelum tampil kemarin, kami diseleksi. Ini pertama kalinya saya ikut lomba, dan ternyata langsung dapat juara satu. Tidak menyangka banget,” ucapnya penuh semangat.
Meski tidak terlalu fasih berbahasa Dayak, pelajar kelas IX itu tetap mampu menjiwai tiap lagu karungut yang dinyanyikannya.
Martha menyadari bahwa bagian tersulit dari karungut adalah pelafalan kata-kata bahasa Dayak yang memerlukan penekanan vokal yang tepat. “Aksen bahasa Dayak itu unik, vokalnya ditekan, jadi saya harus benar-benar berlatih agar terbiasa,” tuturnya.
Berkat latihan yang terus-menerus, kini ia makin mahir dan jadi terbiasa dengan tantangan seperti itu.
Queenata Lensie, guru pendamping yang mendampingi Revaline, Martha, Magdalena, dan Rachel, mengungkapkan rasa bangga terhadap prestasi anak didiknya.
“Anak-anak di sini luar biasa. Mereka berhasil meraih juara pertama dalam lomba karungut kemarin. Ini membuktikan bahwa mereka mampu berkompetisi di tingkat yang lebih tinggi,” ungkapnya.
Menurut Lensie, menampilkan kesenian karungut tidak hanya soal kemampuan bernyanyi, tetapi juga membutuhkan mental yang kuat. Dia menekankan pentingnya rasa percaya diri bagi tiap peserta lomba. “Kalau malu-malu, mereka akan kesulitan. Jadi, mental juara itu penting saat tampil dalam perlombaan,” tambahnya.
Ia berharap generasi muda Kalimantan Tengah terus melestarikan karungut, tradisi yang kini mulai tergerus perkembangan zaman. Lensie yakin bahwa jika generasi muda tekun berlatih, mereka bisa menjadi bagian dari pelestari budaya lokal.
“Karungut adalah warisan budaya yang luar biasa. Sayangnya, tidak banyak anak muda yang tahu tentang itu. Saya berharap generasi sekarang mau belajar dan menjaga tradisi ini,” tuturnya.
Lensie menambahkan, dalam menciptakan teks karungut, anak-anak didiknya selalu terinspirasi dari kehidupan sehari-hari. “Lagu-lagu karungut mereka diangkat dari cerita keseharian. Mereka menceritakan kisah hidup di asrama, karena sebagian dari mereka berasal dari daerah lain yang datang menuntut ilmu di sekolah ini,” tutupnya. (*/ce/ala)