Meski sudah didatangi presiden Soekarno namun tidak mengubah putusan R Soeprapto untuk tetap menjatuhkan hukuman. Ketegasan Soeprapto juga tercatat dalam sejarah menyuruh anggota keluarganya mengembalikan cincin bermata Giok dari china serta memberitahukan anaknya tindakan menerima cincin itu salah secara hukum.
Jaksa Agung sekarang ST Burhanuddin pernah berucap dalam sebuah sambutan seminar pengusulan R Soeprapto sebagai pahlawan terkait akan ketegasan R Soeprapto sebagai inspirasi untuk siapapun yang menekuni profesi Jaksa dengan mengutip ucapan R Soperapto “Demi keadilan, perkara apa pun wajib diputus secara bijak. Pihak yang bersalah harus dihukum setimpal”. Keprofesionalan R Soeprapto merujuk wikipedia.org ternyata tidak berjalan mulus dan harus menghadapi risiko yang akhirnya diberhentikan dengan hormat oleh Soekarno pada tanggal 1 April 1959 sebagai buntut atas penanganan perkara perwira angkatan laut belanda Leon Nocholaas Hubert Jungschlager dan Schmidt yang ditangkap tahun 1954. Penuntutan terhadap Leon Nocholaas Hubert Jungschlager gugur karena sudah meninggal dunia sehingga tinggal yang disidangkan Schmidt yang diputus bersalah dengan hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Tahun 1958 namun di tingkat banding diturunkan menjadi 5 Tahun dan R Soeprapto tidak mengajukan kasasi dan langsung memerintahkan untuk mengeksekusi putusan dengan memulangkan Schmidt ke Belanda karena sudah menjalani hukuman 5 tahun sekaligus menghindari kecamuk masyarakat karena Schmidt dianggap sebagai pemberontak.
Keputusan R Soperapto dikecam para politisi yang tidak suka dan menjadikan alasan tidak berkonsultasi dengan menteri kehakiman G.A Maengkom untuk menjatuhkan sebagai Jaksa Agung padahal sesuai keterangan istri R Soperapto eksekusi sudah dengan persetujuan G.A Maengkom. R Soperapto tetap teguh dengan pendiriannya bahkan tidak mau minta maaf dan sekembalinya dari belanda memulangkan Schmidt menolak hadir dalam acara serah terima jabatan di istana setelah diberhentikan karena sudah meyakini tindakannya benar baik secara hukum maupun hierarki tanpa mempedulikan ajakan dari para politisi.
Sementara Baharuddin Lopa selaku Jaksa Agung di era Presiden Abdurrahman Wahid juga terkenal sebagai Jaksa profesional dengan keberanian dalam menangani kasus korupsi tanpa rasa takut dengan siapa pun kecuali kepada Sang Pencipta. Sepanjang karier Baharuddin lopa terkenal dalam menentang ketidakadilan di antaranya saat menjabat Bupati Majene menantang Andi Selle seorang komandan batalyon yang terkenal kaya dengan melakukan kejahatan penyelundupan, menyeret pengusaha besar yang kebal hukum Tony Gosal ke pengadilan karena menipu dana reboisasi senilai Rp 2 miliar saat menjadi Kepala kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, menangani kasus Presiden ke 2 RI, memburu Sjamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu ke Singapura, mencekal Marimutu Sinivasan, menyidik pendiri Meta Epsi Driling Company (Medco) Arifin Panogoro, Menyeret Pembina Golkar Akbar Tanjung dan Nurdin Halid. Bahkan ketika menjemput Soeharto ke Bandara Hasanuddin Baharuddin Lopa menolak untuk diajak hanya sekadar makan malam dan mengantarkan ke hotel.
Bahruddin Lopa juga terkenal dengan kesederhanaannya yang meski dari keturunan terpandang dan bangsawan di daerah Mandar Sulawesi Barat. Seperti cerita Jusuf Kalla selaku pemilik show room mobil di Makassar menawarkan mobil toyota crown seharga Rp 100 juta kepada Baharuddin Lopa karena pejabat terpandang namun meski Jusuf Kalla ikhlas memberi gratis justru Baharuddin Lopa menolak dan meminta diberi harga sama dengan orang lain dan akhirnya hanya membeli mobil seharga Rp 25 Juta dengan cicilan 3 tahun empat bulan.