Oleh; Agus Pramono
DI tepi sungai di samping rumah, air mengalir tenang. Bukan air saja yang mengalir, keluhan pun ikut hanyut bersama percakapan ringan. Bukan tangan saya yang mencabut tumbuhan liar, tapi tangan Pak Tile, sapaan sehari-hari.
Lelaki paruh baya itu begitu lihai mengangkat akar di dasar sungai. Sambil menyabet tanaman liar, Pak Tile sesekali mengelap keringat. Obrolan kami nyasar ke topik abadi warga kompleks, yakni jalan rusak dan drainase buntu.
Di kompleks kami, drainase penuh semak belukar. Mampet saat hujan. Semua pada ngeluh halamannya kebanjiran. Ketua Rukun Tetangga tak bekerja selayaknya. Warganya juga malas-malasan. Begitu kompak bukan?
Begitu juga dengan jalan beraspal. Hanya sepanjang 500 meter dari muara Jalan Tjilik Riwut. Sisanya penuh lubang yang acap kali dijadikan objek kampanye.
Jika dilihat, infrastruktur kompleks kami lumayan bagus dibanding kompleks permukiman lain di Palangka Raya. Meski begitu, masih saja warga pengin lebih. Lebih panjang lagi jalan yang diaspal. Hehehe.
Jika kami hanya bisa ngedumel, aksi ekstrem justru dilakukan warga Jalan Temanggung Tilung III. Mereka menanam pohon pisang.
Pohon-pohon itu muncul di tengah jalan, tertancap di kubangan. Seolah menandai luka yang dibiarkan menganga terlalu lama. Bertahun-tahun. Mereka sedih. Aspal jalan hanya di wajah, hanya terlihat mulus jika dilihat dari jalan utama.
Salut untuk Ketua Rukun Tetangga di sana, yang menampung keputusasaan warga terhadap kondisi jalan yang rusak parah dan tak kunjung diperbaiki. Sebuah bentuk satire yang lebih keras dari orasi, kreatif sekaligus menyedihkan bagi pemerintah.
Pemandangan jalan berlubang, aspal tambal-sulam, dan parit yang malu-malu mengalir bukan hanya dialami kompleks A, B, atau C. Kompleks D sampai Z pun ikut antre dalam daftar tunggu pembangunan.
Secara kasat mata, pertumbuhan jumlah penduduk, geliat pembangunan perumahan, dan denyut ekonomi yang makin cepat seolah berlari sendirian, meninggalkan infrastruktur jalan yang masih berjalan pelan.
Pemerintah pun, dengan bahasa diplomatisnya, menjawab keluhan: masih butuh waktu, ada sektor lain yang lebih prioritas. Tapi di mata warga, waktu itu rasanya sudah sepanjang jalan yang tak kunjung rata.
Di jagat maya, sindiran tak kalah pedas. Kali ini bukan karena infrastruktur, melainkan kartu sakti yang dulu dielu-elukan. Dulu, kartu sakti acap kali disebut di setiap kesempatan. Kini, tak pernah terucap.
Lalu bagaimana kabar para wakil rakyat? Sibuk. Tapi bukan sibuk dengan rakyat. Ada yang lebih memilih mendampingi “raja” blusukan dan menghadiri seremoni megah, dibanding sekadar menyapa warga. Padahal, dulu rela antre demi mencoblos namanya.
Dulu senyum lebar keliling kampung, sekarang pintu rumah tertutup rapat. Kalau ada yang datang, mereka lebih dulu mengintip dari balik kaca. Memastikan bukan warga yang membawa keluh kesah.
Dan yang paling lucu, ada anggota dewan yang ngambek. Tidak dapat jabatan di gedung wakil rakyat, langsung absen dari paripurna. Tak hanya sekali. Apakah harus sebut nama? Tak usah saja, nanti dia pasti marah.
Jika boleh mengingat masa-masa pesta demokrasi, semua mendengar janji-janji yang dikemas begitu rapi saat kampanye. Alat peraga terancam di setiap jengkal tanah. Pose wajah senyum membuat mata terbuai.
Tapi kini, senyum tinggallah senyum. Warga hanya melihat punggung para pemimpin yang sibuk menghitung, bukan jumlah lubang di jalan, tapi hitungan modal yang harus segera balik kantong. Masyarakat tak lagi jadi pusat perhatian. Kecuali nanti, mendekati panggung lima tahunan kembali didirikan.(*)
*) Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos