Jumat, November 22, 2024
31.2 C
Palangkaraya

Demokrasi dan Agenda Kesejahteraan

ROBERT A. Dahl (1998) dalam On Democracy mengungkapkan salah satu alasan utama mengapa kita harus menjadikan demokrasi sebagai sistem politik negara adalah karena demokrasi dapat mendorong kesejahteraan rakyat. Menurut Dahl, negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung lebih makmur ketimbang yang tidak demokratis.

Pernyataan Dahl tersebut harus diuji dengan pertanyaan dalam konteks Indonesia: setelah sekian lama menganut sistem demokrasi, apakah demokrasi telah membawa Indonesia pada kesejahteraan? Di bawah rezim demokrasi, apakah jurang kesenjangan sosial-ekonomi antarwarga negara semakin mengecil atau justru melebar? Untuk menjawabnya, kita harus melihat potret ekonomi masyarakat dan ekosistem politik Indonesia.

Euforia Politik, Abai Ekonomi

Indonesia pascareformasi adalah Indonesia yang hanyut dalam euforia demokrasi politik. Kebebasan dan hak-hak sipil menjadi diskursus dominan dalam kebijakan publik dan perjuangan masyarakat sipil. Euforia ini merupakan konsekuensi yang wajar karena Indonesia selama rezim Orde Baru berada dalam atmosfer otoritarianisme. Kebebasan direpresi dan hak-hak sipil dilanggar atas nama pembangunan.

Peristiwa reformasi 1998 mengubah haluan politik negeri ini dari otoritarianisme ke demokrasi. Sehingga euforia terhadap kebebasan dan hak-hak sipil dalam iklim demokratis menjadi tidak terhindarkan.

Namun, sebagaimana euforia selalu menyisakan ruang yang terabaikan, euforia terhadap demokrasi politik tersebut juga menyisakan sektor penting yang terabaikan, yakni demokrasi ekonomi. Sampai saat ini kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi masih menjadi pekerjaan besar bagi Indonesia.

Per September 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin di Indonesia berjumlah 26,36 juta orang atau 9,57 persen (%) dari total penduduk. Bahkan, persentase penduduk miskin pernah menyentuh dua digit ketika pandemi Covid-19, yaitu 10,19% pada September 2020 dan 10,14% pada Maret 2021. Meningkatnya angka kemiskinan dalam waktu yang singkat tersebut menandakan bahwa kondisi ekonomi masyarakat Indonesia sangatlah rentan, terutama ketika berhadapan dengan gejolak ekonomi.

Baca Juga :  Peran Positif Generasi Muda dalam Politik Perlu Didorong

Selain itu, Indonesia masih menghadapi persoalan ketimpangan sosial-ekonomi. Menurut World Inequality Report 2022, segelintir orang ultrakaya dan orang kaya di Indonesia menguasai sebagian besar kekayaan nasional. Orang ultrakaya yang berjumlah sekitar 1% dari populasi penduduk Indonesia menguasai 29,4% dan orang kaya atau masyarakat kelas atas yang berjumlah sekitar 10% menguasai 60,2% dari total kekayaan nasional. Sedangkan 40% masyarakat kelas menengah menguasai 34,3%. Dan 50% masyarakat kelas terbawah menguasai 5,5% dari total kekayaan nasional.

Angka-angka tersebut menunjukkan akumulasi kapital yang terpusat pada sebagian kecil masyarakat. Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia selama tiga tahun terakhir telah menyingkap secara gamblang sentralisasi akumulasi kapital tersebut. Di tengah ekonomi rakyat yang terpuruk selama pandemi, ditandai dengan bertambahnya jumlah orang miskin, justru jumlah orang kaya dan ultrakaya di Indonesia mengalami kenaikan secara eksponensial.

Lembaga keuangan Credit Suisse menyebutkan bahwa jumlah orang kaya pada tahun 2020 dengan nilai kekayaan 1 juta dolar AS atau lebih meningkat 61,69% dibandingkan dengan tahun 2019, menjadi sebanyak 171.740 orang. Sedangkan jumlah orang ultrakaya pada 2020 dengan nilai kekayaan 100 juta dolar AS naik 22,29% menjadi 417 orang ketimbang 2019.

Kondisi ekonomi masyarakat yang rentan dan kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar tersebut menjadi pengingat agar kita tidak hanyut dalam euforia demokrasi politik. Dan mulai menempatkan demokrasi politik serta demokrasi ekonomi dalam titik ekuilibrium yang sama pentingnya. Keseimbangan keduanya diperlukan karena proses untuk mewujudkan kesejahteraan bukan sekadar upaya ekonomi, tetapi juga ditentukan oleh konteks politik (Caroline Paskarina, 2017).

Baca Juga :  Keistiqamahan Ulama NU dan Tasawuf Moderat Era 4.0

Agenda Kesejahteraan

Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita telah menegaskan, ”Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi,” karena, ”demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan.” Apalagi di tengah rezim demokrasi elektoral berbiaya tinggi (high cost politics) saat ini, ditambah menjamurnya politik uang, membuat demokrasi menjadi sistem politik mahal. Dalam ekosistem politik yang demikian, kompetisi menjadi tidak sehat karena orang-orang dengan surplus kompetensi politik tapi defisit modal kapital akan tersingkirkan dengan sendirinya.

Selain menyebabkan ketidaksetaraan dalam politik, kesenjangan ekonomi berimplikasi pada kesenjangan akses terhadap kesehatan dan pendidikan yang berkualitas serta pekerjaan yang mapan. Pada akhirnya, terjadi ”lingkaran setan” yang tak berkesudahan. Temuan riset SMERU Research Institute pada 2019 memperkuat adanya “lingkaran setan” tersebut. Di mana anak-anak dari keluarga miskin memiliki pendapatan sekitar 87% lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga sejahtera saat mereka dewasa.

Dengan demikian, agenda demokrasi kita yang sangat mendesak adalah agenda kesejahteraan. Tugas pemimpin republik ke depannya adalah memastikan agenda kesejahteraan ada dalam setiap kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mewujudkan demokrasi ekonomi melalui distribusi kesejahteraan secara adil dan merata.

Karena itu, Pemilu 2024 menjadi ujian demokrasi bagi para pemimpin republik untuk mengetengahkan agenda kesejahteraan tersebut. Dengan kontestasi gagasan kebijakan afirmatif seperti program pengaman sosial dan pemberdayaan masyarakat, (re)distribusi kekayaan untuk proyek kesejahteraan, pembangunan sumber daya manusia, penyediaan lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Jika agenda kesejahteraan tidak masuk dalam agenda demokrasi, Indonesia Emas 2045 akan sulit dicapai dan para pemimpin republik tidak lulus ujian demokrasi. (*)

ROBERT A. Dahl (1998) dalam On Democracy mengungkapkan salah satu alasan utama mengapa kita harus menjadikan demokrasi sebagai sistem politik negara adalah karena demokrasi dapat mendorong kesejahteraan rakyat. Menurut Dahl, negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung lebih makmur ketimbang yang tidak demokratis.

Pernyataan Dahl tersebut harus diuji dengan pertanyaan dalam konteks Indonesia: setelah sekian lama menganut sistem demokrasi, apakah demokrasi telah membawa Indonesia pada kesejahteraan? Di bawah rezim demokrasi, apakah jurang kesenjangan sosial-ekonomi antarwarga negara semakin mengecil atau justru melebar? Untuk menjawabnya, kita harus melihat potret ekonomi masyarakat dan ekosistem politik Indonesia.

Euforia Politik, Abai Ekonomi

Indonesia pascareformasi adalah Indonesia yang hanyut dalam euforia demokrasi politik. Kebebasan dan hak-hak sipil menjadi diskursus dominan dalam kebijakan publik dan perjuangan masyarakat sipil. Euforia ini merupakan konsekuensi yang wajar karena Indonesia selama rezim Orde Baru berada dalam atmosfer otoritarianisme. Kebebasan direpresi dan hak-hak sipil dilanggar atas nama pembangunan.

Peristiwa reformasi 1998 mengubah haluan politik negeri ini dari otoritarianisme ke demokrasi. Sehingga euforia terhadap kebebasan dan hak-hak sipil dalam iklim demokratis menjadi tidak terhindarkan.

Namun, sebagaimana euforia selalu menyisakan ruang yang terabaikan, euforia terhadap demokrasi politik tersebut juga menyisakan sektor penting yang terabaikan, yakni demokrasi ekonomi. Sampai saat ini kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi masih menjadi pekerjaan besar bagi Indonesia.

Per September 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin di Indonesia berjumlah 26,36 juta orang atau 9,57 persen (%) dari total penduduk. Bahkan, persentase penduduk miskin pernah menyentuh dua digit ketika pandemi Covid-19, yaitu 10,19% pada September 2020 dan 10,14% pada Maret 2021. Meningkatnya angka kemiskinan dalam waktu yang singkat tersebut menandakan bahwa kondisi ekonomi masyarakat Indonesia sangatlah rentan, terutama ketika berhadapan dengan gejolak ekonomi.

Baca Juga :  Peran Positif Generasi Muda dalam Politik Perlu Didorong

Selain itu, Indonesia masih menghadapi persoalan ketimpangan sosial-ekonomi. Menurut World Inequality Report 2022, segelintir orang ultrakaya dan orang kaya di Indonesia menguasai sebagian besar kekayaan nasional. Orang ultrakaya yang berjumlah sekitar 1% dari populasi penduduk Indonesia menguasai 29,4% dan orang kaya atau masyarakat kelas atas yang berjumlah sekitar 10% menguasai 60,2% dari total kekayaan nasional. Sedangkan 40% masyarakat kelas menengah menguasai 34,3%. Dan 50% masyarakat kelas terbawah menguasai 5,5% dari total kekayaan nasional.

Angka-angka tersebut menunjukkan akumulasi kapital yang terpusat pada sebagian kecil masyarakat. Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia selama tiga tahun terakhir telah menyingkap secara gamblang sentralisasi akumulasi kapital tersebut. Di tengah ekonomi rakyat yang terpuruk selama pandemi, ditandai dengan bertambahnya jumlah orang miskin, justru jumlah orang kaya dan ultrakaya di Indonesia mengalami kenaikan secara eksponensial.

Lembaga keuangan Credit Suisse menyebutkan bahwa jumlah orang kaya pada tahun 2020 dengan nilai kekayaan 1 juta dolar AS atau lebih meningkat 61,69% dibandingkan dengan tahun 2019, menjadi sebanyak 171.740 orang. Sedangkan jumlah orang ultrakaya pada 2020 dengan nilai kekayaan 100 juta dolar AS naik 22,29% menjadi 417 orang ketimbang 2019.

Kondisi ekonomi masyarakat yang rentan dan kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar tersebut menjadi pengingat agar kita tidak hanyut dalam euforia demokrasi politik. Dan mulai menempatkan demokrasi politik serta demokrasi ekonomi dalam titik ekuilibrium yang sama pentingnya. Keseimbangan keduanya diperlukan karena proses untuk mewujudkan kesejahteraan bukan sekadar upaya ekonomi, tetapi juga ditentukan oleh konteks politik (Caroline Paskarina, 2017).

Baca Juga :  Keistiqamahan Ulama NU dan Tasawuf Moderat Era 4.0

Agenda Kesejahteraan

Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita telah menegaskan, ”Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi,” karena, ”demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan.” Apalagi di tengah rezim demokrasi elektoral berbiaya tinggi (high cost politics) saat ini, ditambah menjamurnya politik uang, membuat demokrasi menjadi sistem politik mahal. Dalam ekosistem politik yang demikian, kompetisi menjadi tidak sehat karena orang-orang dengan surplus kompetensi politik tapi defisit modal kapital akan tersingkirkan dengan sendirinya.

Selain menyebabkan ketidaksetaraan dalam politik, kesenjangan ekonomi berimplikasi pada kesenjangan akses terhadap kesehatan dan pendidikan yang berkualitas serta pekerjaan yang mapan. Pada akhirnya, terjadi ”lingkaran setan” yang tak berkesudahan. Temuan riset SMERU Research Institute pada 2019 memperkuat adanya “lingkaran setan” tersebut. Di mana anak-anak dari keluarga miskin memiliki pendapatan sekitar 87% lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga sejahtera saat mereka dewasa.

Dengan demikian, agenda demokrasi kita yang sangat mendesak adalah agenda kesejahteraan. Tugas pemimpin republik ke depannya adalah memastikan agenda kesejahteraan ada dalam setiap kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mewujudkan demokrasi ekonomi melalui distribusi kesejahteraan secara adil dan merata.

Karena itu, Pemilu 2024 menjadi ujian demokrasi bagi para pemimpin republik untuk mengetengahkan agenda kesejahteraan tersebut. Dengan kontestasi gagasan kebijakan afirmatif seperti program pengaman sosial dan pemberdayaan masyarakat, (re)distribusi kekayaan untuk proyek kesejahteraan, pembangunan sumber daya manusia, penyediaan lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Jika agenda kesejahteraan tidak masuk dalam agenda demokrasi, Indonesia Emas 2045 akan sulit dicapai dan para pemimpin republik tidak lulus ujian demokrasi. (*)

Artikel Terkait

Bukan Bakso Mas Bejo

Adab Anak Punk

Kota Cantik Tak Baik-Baik Saja

Parade Umbar Janji

Terpopuler

Artikel Terbaru

/