Penanganan Perkara Pengadaan Barjas Dilihat dari Optik Keadilan Restoratif
Kawasan paling “otoriter” dalam pembuktian dugaan tindak pidana adalah surat dakwaan jaksa. Dikatakan “otoriter” karena jaksa memiliki kewenangan penuh tanpa bisa dibatasi oleh (si)apapun kecuali undang-undang, untuk menentukan nasib seorang terdakwa. Ia dapat memilih dalil yang meringankan atau pun dalil yang memberatkan, tergantung keyakinan subyektifnya yang diobyektifkan secara tesktual-yuridis oleh aturan hukum.
Ketika jaksa menggunakan dakwaan alternatif, itu bisa diartikan bahwa ada semacam keraguan dalam hatinya tentang pasal mana yang patut dipakainya untuk menguatkan dalil dakwaan. Celakanya, dalam praktik di pengadilan, hakim bisa terjebak bahkan tersesat dalam alam pikiran jaksa lalu cenderung menguatkan asumsi kesalahan, kelalaian, kealpaan dan perbuatan melawan hukum yang didalilkan jaksa. Maka pembuktian yang jujur merupakan kunci utama penggalian kebenaran dalam suatu perkara.
Lebih celaka lagi apabila penasihat hukum terdakwa dianggap sebagai bagian dari kesalahan terdakwa, sehingga perlakuan hakim terhadapnya tidak seimbang dengan perlakuan hakim terhadap jaksa. Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Artinya, menggali dan menguji semua fakta, data, dan informasi terhadap posita gugat serta terhadap alat-alat bukti yang diajukan terdakwa dan penasihat hukumnya.
Kendala terbesar yang masih mengganjal pengujian dimaksud adalah apabila hakim enggan menggali keabsahan argumentasi jaksa ketika perumusan fundamentum petendi digeser atau melompat dari ranah hukum adminsistrasi atau hukum perdata ke ranah pidana dengan menjuntokannya terhadap pasal-pasal pidana yang memberatkan.
Padahal, dalam perkara pengadaan barang dan jasa (barjas), misalnya, sering dasar hukum yang ditarik ke pasal pidana adalah peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan lain di bawahnya dalam hierarki perundang-undangan yang berada di dalam ranah hukum administrasi.
Kawasan paling “otoriter” dalam pembuktian dugaan tindak pidana adalah surat dakwaan jaksa. Dikatakan “otoriter” karena jaksa memiliki kewenangan penuh tanpa bisa dibatasi oleh (si)apapun kecuali undang-undang, untuk menentukan nasib seorang terdakwa. Ia dapat memilih dalil yang meringankan atau pun dalil yang memberatkan, tergantung keyakinan subyektifnya yang diobyektifkan secara tesktual-yuridis oleh aturan hukum.
Ketika jaksa menggunakan dakwaan alternatif, itu bisa diartikan bahwa ada semacam keraguan dalam hatinya tentang pasal mana yang patut dipakainya untuk menguatkan dalil dakwaan. Celakanya, dalam praktik di pengadilan, hakim bisa terjebak bahkan tersesat dalam alam pikiran jaksa lalu cenderung menguatkan asumsi kesalahan, kelalaian, kealpaan dan perbuatan melawan hukum yang didalilkan jaksa. Maka pembuktian yang jujur merupakan kunci utama penggalian kebenaran dalam suatu perkara.
Lebih celaka lagi apabila penasihat hukum terdakwa dianggap sebagai bagian dari kesalahan terdakwa, sehingga perlakuan hakim terhadapnya tidak seimbang dengan perlakuan hakim terhadap jaksa. Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Artinya, menggali dan menguji semua fakta, data, dan informasi terhadap posita gugat serta terhadap alat-alat bukti yang diajukan terdakwa dan penasihat hukumnya.
Kendala terbesar yang masih mengganjal pengujian dimaksud adalah apabila hakim enggan menggali keabsahan argumentasi jaksa ketika perumusan fundamentum petendi digeser atau melompat dari ranah hukum adminsistrasi atau hukum perdata ke ranah pidana dengan menjuntokannya terhadap pasal-pasal pidana yang memberatkan.
Padahal, dalam perkara pengadaan barang dan jasa (barjas), misalnya, sering dasar hukum yang ditarik ke pasal pidana adalah peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan lain di bawahnya dalam hierarki perundang-undangan yang berada di dalam ranah hukum administrasi.