Lompatan jauh dari administrasi atau perdata ke pidana sangat sering terjadi bahkan sejak dimulai proses penuntutan sampai pemutusan perkara. Akibatnya, seorang terdakwa diberatkan hukumannya dengan dakwaan adanya mens rea dan actus reus, padahal masih ada sanksi-sanksi administrasi atau perdata yang semestinya bisa diterapkan untuk membuktikan ada-tidaknya pelanggaran yang dapat dikoreksi dan dicegah pengulangannya tanpa harus ditarik ke pidana.
Misalnya saja, apabila terjadi pelanggaran hukum administrasi dan perdata dalam perkara barjas yang menangkut kerugian negara, sebetulnya hakim bisa menggunakan sanksi administrasi dan perdata dan tidak harus secara otomatis menariknya ke pidana. Karena sudah ada Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara yang memiliki sanksi hukumnya sendiri dan tidak harus menggunakan sanksi pidana.
Realitasnya hari ini, semua perbuatan yang melanggar hukum administrasi dan hukum perdata dalam perkara barjas selalu saja di-Tipikor-kan. Karena memang semangat pemberantasan korupsi lebih kuat daripada kepatuhan terhadap konsistensi yurisdiksi peradilan. Perkara yang semestinya diselesaikan secara administrasi dan perdata pun seolah-olah diwajibkan untuk ditarik ke ranah pidana. Di sini terjadi ketidakpastian dalam yurisdiksi peradilan, sekaligus penegasian terhadap hak terdakwa untuk memperoleh keadilan dari peradilan yang semestinya.
Dalam perkara barjas, ketika seorang pejabat pembuat komitmen (PPK) didakwa di pengadilan, maka semestinya pertanggungjawaban terhadap sangkaan kesalahannya dimintakan dari lingkup tanggungjawabnya yang tertulis di dalam Tupoksi dan perjanjian agar pembuktian kesalahannya tidak ditarik ke lingkup pertanggungjawaban orang lain dalam perjanjian atau kontrak pengadaan barjas.
Sebab asas hukum mengatakan, siapa (setiap orang) yang berbuat, dialah yang harus bertanggungjawab. Dan seharusnya tanggungjawab hukum tidak bisa dilimpahkan ke luar kewenangan jabatan dari orang yang dimintai pertanggungjawaban itu.