Oleh sebab itu apabila, misalnya, seorang PPK didakwa di luar kewenangannya maka dakwaan itu telah melanggar asas dan hanya merupakan pembenaran untuk penyalahan terdakwa tetapi bukan kebenaran untuk menghadirkan keadilan.
Tidak mudah, memang, untuk mencari keadilan di dalam dakwan jaksa, sebab alam pikirannya tidak disetel untuk mencari kebenaran melainkan disetel untuk mencari kesalahan terdakwa, sebab ia menggunakan presumption of guilt. Karena adanya kecenderungan itu, penasihat hukum harus bisa menganulir pembenaran dengan kebenaran sesuai alat-alat bukti yang tak terbantahkan.
Repotnya, alat-alat bukti dari pihak terdakwa dan penasihat hukumnya tak jarang pula diabaikan dalam persidangan, sehingga tak masuk dalam pertimbangan hakim yang lazimnya hanya bersifat umum. Ketika alat-alat bukti hilang atau dicoret, maka posisi terdakwa menjadi lemah, sementara posisi pendakwa menjadi semakin kuat.
Lalu terdakwa dipidana dalam kondisi tak dapat membuktikan argumentasinya. Ia dibuat tak berdaya untuk membela diri, lalu hakim memutus Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bahwa terdakwa telah secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melanggar aturan hukum.
“Secara sah” di situ betul karena tekstual-yuridis pembuktian telah rampung. Tapi secara “meyakinkan” itu belum tentu meyakinkan. Bisa jadi itu hanya meyakinkan hakim dan jaksa tetapi tidak meyakinkan terdakwa dan penasihat hukumnya. Padahal peradilan tidak bertujuan untuk membenarkan dakwaan melainkan harus bisa menciptakan keadilan dan keseimbangan antara dakwaan dan pembelaan.