Minggu, Mei 4, 2025
23.1 C
Palangkaraya

Guru Besar IPB Buka Suara soal Penyegelan Lahan Sawit, Pemerintah Wajib Baca!

 

JAKARTA-Persoalan penguasaan dan kepemilikan lahan di Indonesia kembali menjadi sorotan.

Langkah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang menyita jutaan hektare lahan yang dinilai illegal dan masuk kawasan hutan memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, terutama di sektor perkebunan sawit.

Kepala Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Budi Mulyanto menyoroti pentingnya penyelesaian hukum lahan secara tuntas sebagai fondasi utama untuk kepastian hukum, penarikan investasi, serta stabilitas nasional.

Menurut Budi, penyitaan besar-besaran lahan sawit yang dilakukan Satgas PKH tanpa proses dialog akan menimbulkan keresahan sosial dan ketidakpastian hukum, serta mengganggu iklim investasi.

“Kalau lahan disita, lalu dampaknya apa? Itu saya ngomong ini sejak tahun 2001. Kalau status legalitas dibuat abu-abu, bisa timbul konflik dan penjarahan. Dan kalau masif, ini akan berdampak ke stabilitas nasional, bukan hanya keamanan tapi juga politik ekonomi dan sosial,” jelas Budi dalam keterangannya.

Hal itu juga dikhawatirkan berdampak langsung pada peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia.

Dia menyatakan bahwa penertiban kawasan hutan harus dilakukan secara hati-hati dan melalui proses verifikasi lapangan yang melibatkan masyarakat.

Menurutnya, dasar hukum penetapan kawasan hutan harus merujuk pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 13, 14, dan 15 yang mewajibkan adanya proses verifikasi, penunjukan, penataan, pemetaan, dan baru kemudian penetapan.

“Nggak bisa hanya pakai citra satelit. Itu hanya sketsa awal. Harus ada verifikasi di lapangan. Banyak masyarakat dirugikan karena lahannya yang sebenarnya bukan hutan, masuk dalam peta kawasan hutan,” tegas Guru Besar IPB ini.

Baca Juga :  Lahan Sawit Disegel oleh Satgas PKH, Wakil Rakyat Singgung soal RTRWP & RTRWK

Menurutnya, penguasaan dan kepemilikan lahan itu sangat penting, bukan hanya untuk kepentingan masyarakat tapi juga untuk negara.

Budi menjelaskan tanah bersertifikat memudahkan pemerintah menarik pajak, mengatur pemanfaatan lahan, dan memberi ruang bagi investasi. Penguasaan lahan yang legal adalah kunci kestabilan sosial dan keamanan nasional.

Dia mengungkapkan bahwa kepastian hukum atas tanah adalah syarat mutlak menarik investor, baik dalam maupun luar negeri.

“Saya pernah di BKPM. Yang pertama ditanya investor itu status lahan. Kalau tidak jelas, mereka mundur. Maka jangan heran jika investor lebih tertarik ke negara lain seperti Vietnam yang menyiapkan lahan ribuan hektare dengan status hukum yang bersih untuk para investor,’’ jelasnya.

Menurut Budi, hal ini perlu segera dipetakan ulang secara detail melalui proses adjudikasi, musyawarah hukum bersama yang melibatkan semua pihak mulai masyarakat, pemerintah daerah, kementerian teknis, hingga BPN.

“Kalau sudah tidak berhutan, masak masih disebut kawasan hutan? Harusnya dinormalisasi. Bukan dilepas, tapi didetilkan,” tegasnya.

Budi juga mempertanyakan mengapa Satgas PKH hanya fokus pada sawit, padahal kebun sawit yang diklaim masuk kawasan hutan hanya 3,4 juta hektare.

Menurutnya, masih banyak pengguna tanah lain yang masuk kawasan hutan dan perlu ditertibkan.

Budi sepakat dengan penertiban kawasan hutan maupun tata kelola industri sawit. Namun, langkah Satgas PKH harus dilandasi pendekatan menyeluruh.

“Yang ditertibkan seharusnya adalah status dan batas kawasan hutan. Jangan menjadikan peta kawasan hutan (dari Kementerian Kehutanan) sebagai rujukan tunggal yang mengesampingkan fakta di lapangan,” tegasnya.

Baca Juga :  Peringati Hari Pengayoman, Kemenkumham Kalteng Siap Mengabdi untuk Negeri

Apalagi, sambung dia, banyak kawasan hutan secara faktual ternyata sudah tidak berhutan yang luasnya sekitar 31,8 juta hektare.

Lahan ini telah digunakan sebagai kebun, permukiman, daerah transmigrasi, hingga fasilitas umum seperti sekolah, bandara, dan pelabuhan.

Akibatnya, banyak masyarakat yang tinggal di lahan tersebut tidak bisa mengakses layanan dasar seperti sertifikat tanah atau program bantuan pertanian karena tergolong dalam kawasan hutan. Padahal lahan tersebut milik mereka.

“Ada cerita sekolah SD di Riau yang tidak bisa disertifikasi karena dianggap berada di kawasan hutan. Akibatnya tidak bisa dijadikan sekolah negeri,” ucap Budi.

Kondisi ini diperparah oleh tumpang tindih data antarkementerian/lembaga, serta tidak adanya kejelasan batas-batas Kawasan hutan. Budi mendorong pemerintah untuk melakukan pendetilan kawasan secara partisipatif dan kasus per kasus, bukan menyamaratakan seluruh lahan sebagai pelanggaran hukum.

Dia mengusulkan agar kawasan hutan yang sudah tidak berhutan dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan produktif baik untuk industri pertanian maupun program redistribusi tanah rakyat berbasis koperasi, dengan legalitas yang sah.

Daripada mempertahankan paradigma lama bahwa peta kawasan hutan selalu benar, Prof. Budi mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog terbuka, melakukan pendataan ulang secara ilmiah dan adil, serta melibatkan prinsip-prinsip musyawarah dan mufakat sesuai nilai Pancasila.

“Kita jangan takut sama internasional. Kita ini negara berdaulat. Selama kita punya data yang jelas dan proses yang transparan, tidak ada masalah,” tandasnya. (*)

 

JAKARTA-Persoalan penguasaan dan kepemilikan lahan di Indonesia kembali menjadi sorotan.

Langkah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang menyita jutaan hektare lahan yang dinilai illegal dan masuk kawasan hutan memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, terutama di sektor perkebunan sawit.

Kepala Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Budi Mulyanto menyoroti pentingnya penyelesaian hukum lahan secara tuntas sebagai fondasi utama untuk kepastian hukum, penarikan investasi, serta stabilitas nasional.

Menurut Budi, penyitaan besar-besaran lahan sawit yang dilakukan Satgas PKH tanpa proses dialog akan menimbulkan keresahan sosial dan ketidakpastian hukum, serta mengganggu iklim investasi.

“Kalau lahan disita, lalu dampaknya apa? Itu saya ngomong ini sejak tahun 2001. Kalau status legalitas dibuat abu-abu, bisa timbul konflik dan penjarahan. Dan kalau masif, ini akan berdampak ke stabilitas nasional, bukan hanya keamanan tapi juga politik ekonomi dan sosial,” jelas Budi dalam keterangannya.

Hal itu juga dikhawatirkan berdampak langsung pada peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia.

Dia menyatakan bahwa penertiban kawasan hutan harus dilakukan secara hati-hati dan melalui proses verifikasi lapangan yang melibatkan masyarakat.

Menurutnya, dasar hukum penetapan kawasan hutan harus merujuk pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 13, 14, dan 15 yang mewajibkan adanya proses verifikasi, penunjukan, penataan, pemetaan, dan baru kemudian penetapan.

“Nggak bisa hanya pakai citra satelit. Itu hanya sketsa awal. Harus ada verifikasi di lapangan. Banyak masyarakat dirugikan karena lahannya yang sebenarnya bukan hutan, masuk dalam peta kawasan hutan,” tegas Guru Besar IPB ini.

Baca Juga :  Lahan Sawit Disegel oleh Satgas PKH, Wakil Rakyat Singgung soal RTRWP & RTRWK

Menurutnya, penguasaan dan kepemilikan lahan itu sangat penting, bukan hanya untuk kepentingan masyarakat tapi juga untuk negara.

Budi menjelaskan tanah bersertifikat memudahkan pemerintah menarik pajak, mengatur pemanfaatan lahan, dan memberi ruang bagi investasi. Penguasaan lahan yang legal adalah kunci kestabilan sosial dan keamanan nasional.

Dia mengungkapkan bahwa kepastian hukum atas tanah adalah syarat mutlak menarik investor, baik dalam maupun luar negeri.

“Saya pernah di BKPM. Yang pertama ditanya investor itu status lahan. Kalau tidak jelas, mereka mundur. Maka jangan heran jika investor lebih tertarik ke negara lain seperti Vietnam yang menyiapkan lahan ribuan hektare dengan status hukum yang bersih untuk para investor,’’ jelasnya.

Menurut Budi, hal ini perlu segera dipetakan ulang secara detail melalui proses adjudikasi, musyawarah hukum bersama yang melibatkan semua pihak mulai masyarakat, pemerintah daerah, kementerian teknis, hingga BPN.

“Kalau sudah tidak berhutan, masak masih disebut kawasan hutan? Harusnya dinormalisasi. Bukan dilepas, tapi didetilkan,” tegasnya.

Budi juga mempertanyakan mengapa Satgas PKH hanya fokus pada sawit, padahal kebun sawit yang diklaim masuk kawasan hutan hanya 3,4 juta hektare.

Menurutnya, masih banyak pengguna tanah lain yang masuk kawasan hutan dan perlu ditertibkan.

Budi sepakat dengan penertiban kawasan hutan maupun tata kelola industri sawit. Namun, langkah Satgas PKH harus dilandasi pendekatan menyeluruh.

“Yang ditertibkan seharusnya adalah status dan batas kawasan hutan. Jangan menjadikan peta kawasan hutan (dari Kementerian Kehutanan) sebagai rujukan tunggal yang mengesampingkan fakta di lapangan,” tegasnya.

Baca Juga :  Peringati Hari Pengayoman, Kemenkumham Kalteng Siap Mengabdi untuk Negeri

Apalagi, sambung dia, banyak kawasan hutan secara faktual ternyata sudah tidak berhutan yang luasnya sekitar 31,8 juta hektare.

Lahan ini telah digunakan sebagai kebun, permukiman, daerah transmigrasi, hingga fasilitas umum seperti sekolah, bandara, dan pelabuhan.

Akibatnya, banyak masyarakat yang tinggal di lahan tersebut tidak bisa mengakses layanan dasar seperti sertifikat tanah atau program bantuan pertanian karena tergolong dalam kawasan hutan. Padahal lahan tersebut milik mereka.

“Ada cerita sekolah SD di Riau yang tidak bisa disertifikasi karena dianggap berada di kawasan hutan. Akibatnya tidak bisa dijadikan sekolah negeri,” ucap Budi.

Kondisi ini diperparah oleh tumpang tindih data antarkementerian/lembaga, serta tidak adanya kejelasan batas-batas Kawasan hutan. Budi mendorong pemerintah untuk melakukan pendetilan kawasan secara partisipatif dan kasus per kasus, bukan menyamaratakan seluruh lahan sebagai pelanggaran hukum.

Dia mengusulkan agar kawasan hutan yang sudah tidak berhutan dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan produktif baik untuk industri pertanian maupun program redistribusi tanah rakyat berbasis koperasi, dengan legalitas yang sah.

Daripada mempertahankan paradigma lama bahwa peta kawasan hutan selalu benar, Prof. Budi mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog terbuka, melakukan pendataan ulang secara ilmiah dan adil, serta melibatkan prinsip-prinsip musyawarah dan mufakat sesuai nilai Pancasila.

“Kita jangan takut sama internasional. Kita ini negara berdaulat. Selama kita punya data yang jelas dan proses yang transparan, tidak ada masalah,” tandasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/