Solar Langka, Sopir Terpaksa Beli Dexlite
PALANGKA RAYA-Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi beberapa bulan terakhir memberikan efek domino pada banyak sektor. Dampak kenaikan tersebut begitu terasa oleh pelaku usaha angkutan pasir dan tanah uruk. Harga material bangunan tersebut langsung “mencekik” alias makin mahal.
Kenaikan harga bahan bangunan seperti pasir merupakan dampak dari kenaikan BBM dan sulitnya pemilik angkutan mendapatkan solar bersubsidi. Mereka terpaksa membeli bahan bakar jenis Dexlite yang harganya lebih mahal dari BBM jenis Pertamax. Otomatis biaya operasional yang dikeluarkan sopir truk untuk mengangkut pasir dan tanah uruk membengkak.
Besarnya biaya angkut yang dikeluarkan, memaksa para sopir truk menaikkan harga jual pasir dan tanah uruk ke konsumen. Diperkirakan jika harga BBM solar khusus untuk harga BBM jenis Dexlite dinaikkan pemerintah dan BBM solar bersubsidi tetap susah didapatkan seperti sekarang ini, besar kemungkinan harga jual pasir pasang di Kota Palangka Raya bisa mencapai Rp1 juta rupiah per truk.
“Kalau harga BBM naik, pengaruhnya besar, bukan saja harga material yang naik, bahkan harga onderdil truk juga bisa ikut naik. Tega enggak tega kami terpaksa harus menaikkan harga jual ke konsumen,” kata salah seorang sopir truk, Edy kepada Kalteng Pos, Selasa (19/7).
Edy yang merupakan sopir truk pengangkut pasir menerangkan, saat ini harga angkut pasir pasang dari Km 45 ke konsumen dalam wilayah kota berkisar Rp800 ribu per rit atau per satu truk. Sedangkan untuk harga tanah uruk sekitar Rp400 ribu.
“Itu harga standar, sebenarnya bisa 700 ribu kalau lokasi antarannya dekat, tapi kalau jauh seperti ke wilayah Kalampangan, biayanya bisa sejuta,” ujar Edy.
Edy menyebut, naiknya harga pasir pasang dan tanah uruk dikarenakan melonjaknnya harga solar yang merupakan bahan bakar truk.
“Kami ngambil pasirnya di pal 45, paling tidak butuh BBM sekitar 15 liter, tinggal dikalikan saja dengan harga Dexlite di SPBU sekarang,” ujar Edy sembari menyebut bahwa harga BBM Dexlite di SPBU saat ini Rp15.350/liter.
Dia menambahkan, biaya operasional makin bengkak jika sopir terpaksa membeli Dexlite secara eceran. Pria yang mengaku sudah 20 tahun bekerja sebagai sopir truk itu menyebut bahwa BBM solar bersubsidi sangat sulit didapatkan saat ini.
“Sekarang ini sulit cari solar bersubsidi, di mana-mana tidak ada yang jual, kalaupun ada, harganya hampir sama dengan harga Dexlite, jadi saya memilih pakai Dexlite saja,” ujarnya.
Edy menyadari bahwa kenaikan harga jual pasir pasang dan tanah uruk akan memberatkan konsumen. Tak sedikit konsumen yang terkejut saat mendengar harga material pasir pasang ataupun pasir uruk saat ini. Bahkan tak jarang terjadi perdebatan dengan konsumen perihal harga jual material yang dianggap terlalu mahal.
“Kami juga tidak bisa berbuat banyak, pokoknya minyak naik, harga material kami naikkan, kalau konsumen bisa paham, kami anterin, kalau tidak, ya tidak apa-apa,” ujarnya.
Jika kondisi ini terus bertahan, Edy memperkirakan harga material di wilayah Kota Palangka Raya bisa mencapai jutaan rupiah.
Edy mengakui bahwa meningkatnya harga jual material berdampak pada berkurangnya permintaan dari konsumen.
“Kalau menurut saya, yang paling terpukul adalah perusahaan konstruksi atau developer, karena harga material seperti pasir sudah ditetapkan harganya sekian, tapi malah sekarang harganya naik tinggi, pasti bikin pusing,” ujarnya.
Edy menambahkan, saat ini para sopir truk pengangkut material cukup dilema.
“Sekarang ini keuntungan mengangkut bahan material sangat sedikit, enggak seperti dulu, itu juga masih belum dipotong dengan biaya untuk perbaikan truk dan pembelian onderdil,” ujarnya.
“Pengennya enggak mau kerja, tapi ini memang sudah pekerjaan kami, kalau kerja, untungnya juga enggak seberapa, tapi kalau tidak kerja, mau makan apa,” tambahnya.
Kenaikan BBM yang berdampak pada melonjaknya harga penjualan pasir, juga berpengaruh terhadap usaha pembuatan batako. Seperti yang disampaikan Syaleh, pelaku usaha pembuatan batako di Jalan Rajawali. Dikatakannya, saat ini pasir dibeli seharga Rp700 ribu-Rp750 ribu per truk. Sebelumnya hanya berkisar Rp600 ribu-Rp650 ribu.
Walaupun harga beli pasir meningkat, tapi harga jual batako masih tetap, yakni seharga Rp2.600. Syaleh mengaku tidak berani menaikkan harga jual karena takut kehilangan konsumen. Apalagi produksinya tidak menentu, karena para pekerja digaji harian.
“Iya, harga angkut pasir sekarang sudah naik, tapi saya tidak berani menaikkan harga jual batako, karena saya berpikir kalau ada yang beli syukur, masalah untung atau tidak belakang saja, yang penting ada pembeli. Apalagi produksi kami tidak menentu, karena saya tidak berani mengikat karyawan dengan gaji bulanan, tergantung mereka saja. Kalau mau, kerja. Kalau enggak, tidak masalah,” katanya kepada Kalteng Pos, Rabu (20/7).
Ia menyebut bahwa harga jual batako tergantung dari pelaku usaha sendiri. Ada yang menjual dengan harga lebih murah, berkisar Rp2.400-Rp2.500. Tergantung seberapa banyak produksi batako dari setiap satu sak semen. Misalkan, satu sak semen bisa menghasilkan 100 batako, maka harga jual bisa lebih murah. Sebaliknya jika makin sedikit batako yang dihasilkan, harga jualnya makin mahal.
Syaleh berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap para pelaku usaha seperti dirinya. Berharap harga BBM untuk kendaraan Diesel diturunkan. Karena kenaikan harga BBM berdampak ke semua sector, termasuk para pelaku usaha pembuatan batako.
Keluhan yang sama diutarakan Muhlisin, pelaku usaha pembuatan tiang profil yang bahan utamanya adalah pasir. Ia mengaku selalu membeli pasir dari daerah Tangkiling dengan harga Rp700 ribu per truk. Sebelumnya harga beli Rp600 ribu per truk.
“Dulu biasa bayar 600 ribu, itu sudah dengan biaya angkutnya, tapi sekarang naik 100 ribu, itu berdampak pada keuntungan kami, karena kami sama sekali tidak menaikan harga jual (tiang profil),” sebut Muhlisin yang membuka usaha di Jalan Bukit Keminting itu. (sja/*irj/ce/ala/ko)