Selasa, Mei 21, 2024
24.2 C
Palangkaraya

Harmoni Keberagaman dan Nilai Akulturasi Dibalik Gerak Tari

PALANGKA RAYA-Suara gendang bertabuh kencang beriringan dengan suara petikan kecapi dalam tempo cepat. Satu dua penari memasuki panggung seraya bergerak simetris dengan intensitas gerak yang semakin cepat seiring dengan semakin cepatnya irama musik.

Pencahayaan panggung yang warna-warni menciptakan kesan gemerlap. Gerakan penari yang cepat berganti seiring dengan lambat dan lajunya tempo musik latar, menampakkan kesan fleksibel. Mulanya hanya empat orang perempuan yang menari anggun sambil menenteng balanga (guci dalam bahasa Dayak Ngaju). Selang lima menit, muncul sesosok laki-laki yang tampil mengenakan baju adat Dayak, lengkap dengan tudung kepala berhiaskan taring besar seukuran telunjuk. Bergerak mengelilingi para penari, kemudian ikut menari bersama empat penari perempuan.

Lenggak-lenggok tubuh para penari dari Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang mengekspresikan kondisi budaya masyarakat Kalteng dan peleburannya dalam aktivitas sosial masyarakat setempat.

Gong semakin keras dan semakin cepat ditabuh, tempo kecapi semakin laju, alunan musik sekunder macam gendang, kenong, dan bedug mulai berbunyi lalu memperkaya instrumen musik latar. Satu per satu penari mulai memasuki panggung.

 

Dalam waktu kurang lebih 10 menit, 14 orang penari tampil utuh, gerak tari dari masing-masing penari mulanya saling kontra, namun perlahan melebur menjadi satu kesatuan, lalu menciptakan harmoni tari yang ritmis dan simetris. Berpadu dengan alunan musik Dayak Kalteng yang kental. Para penari kemudian secara serentak menari menggunakan kipas kain beraneka warna.

Tarian merepresentasikan realitas sosial masyarakat Dayak yang menghargai perbedaan dan terbuka dengan akulturasi budaya. Koreografi yang ditampilkan mencerminkan kondisi sosial budaya masyarakat yang plural, menghargai perbedaan, dan fleksibilitasnya dengan kebudayaan lain.

Pemandangan itu yang telihat di area parkir Taman Kuliner Tunggal Sangomang, Palangka Raya, Sabtu malam (29/4). Riuh rendah dengan berbagai penampilan tari-tarian dalam rangka memperingati hari Tari Sedunia 2023.

33 komunitas budaya tersebut bukan hanya Dayak, tapi juga kebudayaan lain seperti Jawa, Bali, Tiongkok, dan lain-lain yang nampak dari penampilannya. Dari 33 komunitas budaya yang unjuk gigi itu, Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang adalah salah satunya.

Putri Venisa, salah seorang penari yang juga koreografer tari dari Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang itu menyebut, terdapat 14 penari yang tampil, terdiri dari empat pria dan 10 wanita.

Baca Juga :  Wakil Rakyat Pertanyakan Nasib Warga Kurang Mampu dan Pelajar

 

“Kami pilih kenapa ada pria dan ada wanita, karena kami menggabungkan berbagai unsur tari, yakni tari dadas yang terkenal dibawakan oleh penari wanita, lalu tari Dayak Ngaju yang dominan dibawakan oleh laki-laki,” ungkapnya usai penampilan.

Wanita berusia 24 tahun ini menyebut, koreografi tari yang pihaknya tampilkan itu merupakan hasil kolaborasi dari sejumlah gerak tari di Kalteng. Yakni unsur tari dari tarian Dayak Ngaju (gelang bawo) dan tarian dadas. “Terdiri dari tari kreasi yang dibikin dari tarian dadas dan tarian gelang bawo,” ucap wanita yang mengaku terjun ke dunia sendratari sejak tahun 2011 itu.

 

Pemilik Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang, Eka Noviana P Laman mengatakan, dirinya telah mengarahkan kepada para penari yang tergabung dalam Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang untuk membuat koreografi tarian yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Kalteng dalam simfoni keberagaman.

 

“Jadi ada beberapa gerak tari dan sejumlah properti yang disimbolkan sebagai perlambangan keberagaman. Yang pertama tari balanga, yang mana para penari kami menari sembari memegang balanga, pada prinsipnya balanga itu tempat menyimpan sesuatu yang berharga,” jelasnya Kalteng Pos di sela-sela kegiatan.

 

Balanga, lanjut wanita yang akrab disapa Novi itu, dalam konteks kehidupan bermasyarakat Kalteng, terkhusus di Kota Palangka Raya, difilosofikan sebagai wadah menyimpan untuk melestarikan berbagai macam entitas berharga, seperti harta kekayaan dan sesuatu yang berharga lainnya. Jika diibaratkan dalam realitas sosial masyarakat, balanga itu adalah Kalteng, yang mana Kalteng menyimpan berbagai macam suku dan kebudayaan yang tersimpul menjadi satu dalam keberagaman sebagai hartanya yang paling berharga.

 

“Lalu ketika para penari memperagakan tarian menggunakan properti kipas pelangi, dengan motif berwarna-warni, itu yang akhirnya menggambarkan keberagaman itu, bahwa ada warna-warni di dalam tarian tersebut yang telah dirangkul oleh para penari-penari Dayak,” tutur wanita kelahiran 1981 itu.

 

Wanita yang mengaku telah mengenal seni tari sejak kelas lima sekolah dasar ini menyebut, tarian tersebut menggabungkan sejumlah elemen tari lokal, dari Dayak Ngaju dan Dayak Barito. Seperti tari wadian dadas dan tarian gelang bawo.

Baca Juga :  Ginjal Sehat untuk Semua: Antisipasi Bencana, Lindungi Kelompok Berisiko

 

“Nama tari ini adalah iruang gundrung, yakni tarian hasil perpaduan antara tarian dadas dengan tarian gelang bawo. Kalau tarian dadas dibawakan oleh perempuan, tarian gelang bawo dibawakan oleh laki-laki. Tetapi di sini kita sajikan dengan kami padukan keduanya, sehingga terciptalah tarian iruang gundrung,” ungkapnya.

 

Wanita yang mengaku belajar ilmu tari secara otodidak ini menyebut pihaknya dari Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang merasa perlu membuat suatu tarian yang mengusung nilai-nilai keberagaman. Dikatakannya, Kalteng secara luas kaya akan akulturasi budaya. Penyatuan kebudayaan dengan kebudayaan lain. Bertepatan dengan momentum hari Tari Sedunia 2023, Novi menyebut menyuarakan kesatuan dalam keberagaman dirasa perlu mengingat demografi masyarakat Kalteng yang majemuk.

 

“Kalau hanya berbicara Kalteng saja, tidak bisa kita hanya berbicara suku dayak, tetapi ada orang dari daerah lain yang menetap di sini lalu mengikuti perkembangan budaya dayak di dalamnya, kita harus menghargai bahwa para pendatang mau berbaur dengan orang Dayak, dan orang Dayak juga bersedia menerima mereka dengan perbedaan kebudayaan yang mereka miliki, sehingga saling menghargai bentuk pluralitas,” jelas wanita yang pernah mengenyam pendidikan di program studi Pendidikan Luar Sekolah Universitas Palangka Raya itu.

 

Menurut wanita yang mengaku mendirikan Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang pada tahun 2004 ini, setiap tarian memiliki bahasa berupa pesan yang ingin disampaikan. Dalam konteks tarian yang pihaknya tampilkan, Eka menyebut bahwa bahasa tari adalah bahasa yang dapat mempersatukan.

 

“Mengutip dari perkataan Hans Bos, bahwa ketika saya menari saya tidak bisa menghakimi, saya tidak bisa membenci, sebab saya tidak bisa memisahkan diri saya dengan kehidupan. Saya hanya bisa bergembira dan utuh,” tandasnya.

 

Kota Palangka Raya adalah ibu kota Provinsi Kalteng yang terkenal dengan potensi seni dan budaya yang unik sebagai bentuk akulturasi dan keberagaman masyarakat terutama suku dayak yang menetap di dalamnya. Perkembangan dan pelestarian seni dan budaya di Kalteng semakin hari semakin maju sejak berdirinya komunitas-komunitas budaya yang saling bersinergi dalam upaya memperkuat identitas, melestarikan, memperkenalkan, dan mengembangkan seni dan budaya dari Bumi Tambun Bungai ini.(dan/ram)

PALANGKA RAYA-Suara gendang bertabuh kencang beriringan dengan suara petikan kecapi dalam tempo cepat. Satu dua penari memasuki panggung seraya bergerak simetris dengan intensitas gerak yang semakin cepat seiring dengan semakin cepatnya irama musik.

Pencahayaan panggung yang warna-warni menciptakan kesan gemerlap. Gerakan penari yang cepat berganti seiring dengan lambat dan lajunya tempo musik latar, menampakkan kesan fleksibel. Mulanya hanya empat orang perempuan yang menari anggun sambil menenteng balanga (guci dalam bahasa Dayak Ngaju). Selang lima menit, muncul sesosok laki-laki yang tampil mengenakan baju adat Dayak, lengkap dengan tudung kepala berhiaskan taring besar seukuran telunjuk. Bergerak mengelilingi para penari, kemudian ikut menari bersama empat penari perempuan.

Lenggak-lenggok tubuh para penari dari Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang mengekspresikan kondisi budaya masyarakat Kalteng dan peleburannya dalam aktivitas sosial masyarakat setempat.

Gong semakin keras dan semakin cepat ditabuh, tempo kecapi semakin laju, alunan musik sekunder macam gendang, kenong, dan bedug mulai berbunyi lalu memperkaya instrumen musik latar. Satu per satu penari mulai memasuki panggung.

 

Dalam waktu kurang lebih 10 menit, 14 orang penari tampil utuh, gerak tari dari masing-masing penari mulanya saling kontra, namun perlahan melebur menjadi satu kesatuan, lalu menciptakan harmoni tari yang ritmis dan simetris. Berpadu dengan alunan musik Dayak Kalteng yang kental. Para penari kemudian secara serentak menari menggunakan kipas kain beraneka warna.

Tarian merepresentasikan realitas sosial masyarakat Dayak yang menghargai perbedaan dan terbuka dengan akulturasi budaya. Koreografi yang ditampilkan mencerminkan kondisi sosial budaya masyarakat yang plural, menghargai perbedaan, dan fleksibilitasnya dengan kebudayaan lain.

Pemandangan itu yang telihat di area parkir Taman Kuliner Tunggal Sangomang, Palangka Raya, Sabtu malam (29/4). Riuh rendah dengan berbagai penampilan tari-tarian dalam rangka memperingati hari Tari Sedunia 2023.

33 komunitas budaya tersebut bukan hanya Dayak, tapi juga kebudayaan lain seperti Jawa, Bali, Tiongkok, dan lain-lain yang nampak dari penampilannya. Dari 33 komunitas budaya yang unjuk gigi itu, Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang adalah salah satunya.

Putri Venisa, salah seorang penari yang juga koreografer tari dari Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang itu menyebut, terdapat 14 penari yang tampil, terdiri dari empat pria dan 10 wanita.

Baca Juga :  Wakil Rakyat Pertanyakan Nasib Warga Kurang Mampu dan Pelajar

 

“Kami pilih kenapa ada pria dan ada wanita, karena kami menggabungkan berbagai unsur tari, yakni tari dadas yang terkenal dibawakan oleh penari wanita, lalu tari Dayak Ngaju yang dominan dibawakan oleh laki-laki,” ungkapnya usai penampilan.

Wanita berusia 24 tahun ini menyebut, koreografi tari yang pihaknya tampilkan itu merupakan hasil kolaborasi dari sejumlah gerak tari di Kalteng. Yakni unsur tari dari tarian Dayak Ngaju (gelang bawo) dan tarian dadas. “Terdiri dari tari kreasi yang dibikin dari tarian dadas dan tarian gelang bawo,” ucap wanita yang mengaku terjun ke dunia sendratari sejak tahun 2011 itu.

 

Pemilik Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang, Eka Noviana P Laman mengatakan, dirinya telah mengarahkan kepada para penari yang tergabung dalam Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang untuk membuat koreografi tarian yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Kalteng dalam simfoni keberagaman.

 

“Jadi ada beberapa gerak tari dan sejumlah properti yang disimbolkan sebagai perlambangan keberagaman. Yang pertama tari balanga, yang mana para penari kami menari sembari memegang balanga, pada prinsipnya balanga itu tempat menyimpan sesuatu yang berharga,” jelasnya Kalteng Pos di sela-sela kegiatan.

 

Balanga, lanjut wanita yang akrab disapa Novi itu, dalam konteks kehidupan bermasyarakat Kalteng, terkhusus di Kota Palangka Raya, difilosofikan sebagai wadah menyimpan untuk melestarikan berbagai macam entitas berharga, seperti harta kekayaan dan sesuatu yang berharga lainnya. Jika diibaratkan dalam realitas sosial masyarakat, balanga itu adalah Kalteng, yang mana Kalteng menyimpan berbagai macam suku dan kebudayaan yang tersimpul menjadi satu dalam keberagaman sebagai hartanya yang paling berharga.

 

“Lalu ketika para penari memperagakan tarian menggunakan properti kipas pelangi, dengan motif berwarna-warni, itu yang akhirnya menggambarkan keberagaman itu, bahwa ada warna-warni di dalam tarian tersebut yang telah dirangkul oleh para penari-penari Dayak,” tutur wanita kelahiran 1981 itu.

 

Wanita yang mengaku telah mengenal seni tari sejak kelas lima sekolah dasar ini menyebut, tarian tersebut menggabungkan sejumlah elemen tari lokal, dari Dayak Ngaju dan Dayak Barito. Seperti tari wadian dadas dan tarian gelang bawo.

Baca Juga :  Ginjal Sehat untuk Semua: Antisipasi Bencana, Lindungi Kelompok Berisiko

 

“Nama tari ini adalah iruang gundrung, yakni tarian hasil perpaduan antara tarian dadas dengan tarian gelang bawo. Kalau tarian dadas dibawakan oleh perempuan, tarian gelang bawo dibawakan oleh laki-laki. Tetapi di sini kita sajikan dengan kami padukan keduanya, sehingga terciptalah tarian iruang gundrung,” ungkapnya.

 

Wanita yang mengaku belajar ilmu tari secara otodidak ini menyebut pihaknya dari Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang merasa perlu membuat suatu tarian yang mengusung nilai-nilai keberagaman. Dikatakannya, Kalteng secara luas kaya akan akulturasi budaya. Penyatuan kebudayaan dengan kebudayaan lain. Bertepatan dengan momentum hari Tari Sedunia 2023, Novi menyebut menyuarakan kesatuan dalam keberagaman dirasa perlu mengingat demografi masyarakat Kalteng yang majemuk.

 

“Kalau hanya berbicara Kalteng saja, tidak bisa kita hanya berbicara suku dayak, tetapi ada orang dari daerah lain yang menetap di sini lalu mengikuti perkembangan budaya dayak di dalamnya, kita harus menghargai bahwa para pendatang mau berbaur dengan orang Dayak, dan orang Dayak juga bersedia menerima mereka dengan perbedaan kebudayaan yang mereka miliki, sehingga saling menghargai bentuk pluralitas,” jelas wanita yang pernah mengenyam pendidikan di program studi Pendidikan Luar Sekolah Universitas Palangka Raya itu.

 

Menurut wanita yang mengaku mendirikan Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang pada tahun 2004 ini, setiap tarian memiliki bahasa berupa pesan yang ingin disampaikan. Dalam konteks tarian yang pihaknya tampilkan, Eka menyebut bahwa bahasa tari adalah bahasa yang dapat mempersatukan.

 

“Mengutip dari perkataan Hans Bos, bahwa ketika saya menari saya tidak bisa menghakimi, saya tidak bisa membenci, sebab saya tidak bisa memisahkan diri saya dengan kehidupan. Saya hanya bisa bergembira dan utuh,” tandasnya.

 

Kota Palangka Raya adalah ibu kota Provinsi Kalteng yang terkenal dengan potensi seni dan budaya yang unik sebagai bentuk akulturasi dan keberagaman masyarakat terutama suku dayak yang menetap di dalamnya. Perkembangan dan pelestarian seni dan budaya di Kalteng semakin hari semakin maju sejak berdirinya komunitas-komunitas budaya yang saling bersinergi dalam upaya memperkuat identitas, melestarikan, memperkenalkan, dan mengembangkan seni dan budaya dari Bumi Tambun Bungai ini.(dan/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/