Oleh: Destano Anugrahnu
PADA Selasa tanggal 17 Januari 2023 lalu, barisan massa yang tergabung dalam forum ‘Kades Indonesia Bersatu’ melakukan demonstrasi di depan kantor DPR RI Jakarta. Salah satu tuntutan yang menuai pro dan kontra dari massa ini adalah masalah perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Beberapa pihak baik dari legislatif dan eksekutif pusat dalam beberapa pemberitaan mengatakan setuju dengan tuntutan dan atau aspirasi tersebut dengan dalil bahwa gagasan tersebut dapat meminimalisasi terjadinya polarisasi dan pembelahan sekaligus meminimalisasi konflik sosial baru pasca pemilihan kepala desa ditengah masyarakat desa itu sendiri. Sementara bagi beberapa organisasi masyarakat sipil dan akademisi melihat tuntutan tersebut hanyalah ‘kerakusan’ kepala desa untuk mengamankan kekuasaannya belaka. Sebenarnya pada tanggal 15 Januari 2023 yang lalu juga adalah moment tepat dari 9 tahun pasca Undang-Undang Desa ditetapkan pemerintah dan DPR, sebuah reaksi reflektif yang kurang substansial sebenarnya dari 9 tahun keberadaan Undang-Undang Desa itu sendiri oleh para kepala desa itu sendiri.
Lebih lanjut atas dinamika tersebut ditengah masyarakat ada kritik tajam atas tuntutan perpanjangan masa jabatan tersebut. Di mana dikatakan masyarakat desa semestinya hanya adalah sebuah entitas persekutuan sosial dengan menepatkan musyawarah atau kekeluargaan sebagai forum tertinggi, bukan entitas elit politik yang sarat kepentingan. Pendapat yang demikian tentu tidak sepenuhnya keliru apabila kita berbicara pada tataran idealnya, akan tetapi terlalu naif pula rasanya dengan begitu masifnya berbagai produk perundang-undangan dan kebijakan yang ‘malapraktek’ atas desa selama ini dan bagaimana realita fakta keadaan desa per hari-hari ini sesungguhnya. Salah satu bukti pengrusakan atas desa bisa kita lihat melewati ‘prasasti’ keberadaan Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 tentang Desa pada masa lalu membawa dampak yang sangat kelam bagi desa sebagai organisasi maupun sebagai persekutuan sosial sampai hari ini. Sebab melewati aturan tersebut memberikan kedudukan kepada desa hanya menjadi bagian paling bawah dari birokrasi pemerintahan langsung di bawah camat. Selama ini desa di jadikan sebagai obyek atas proyek-proyek pembangunan. Apakah proyek pembangunan itu sesuai dengan kebutuhan orang desa? Itu urusan lain. Kebutuhan itu yang menentukan sang subyek, yaitu orang-orang kota yang dianggap berperadaban lebih tinggi. Orang-orang desa yang berperadaban rendah cukup menjadi obyek. Enak tidaknya kue pembangunan, lidah orang kota yang jadi ukuran. Lidah orang desa harus disesuaikan dengan selera lidah orang kota. Dalam waktu sekian lama, cara pandang demikian menghujam kuat di benak para teknokrat yang merancang pembangunan di negeri ini. Desa tidak lebih sebagai pelayanan administratif yang perannya untuk mengotrol warga negara, tujuan utama maksud tersebut tidaklah lain dari mereka yang mengingini adanya ketidak berdayaan dari masyarakat desa, karena keberdayaan masyarakat desa hanya akan menyulitkan untuk dikontrol.
Ditetapkan dan diundangkannya Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa sebenarnya merupakan sebuah keniscahyaan dari kebangkitan bagi desa itu sendiri dengan 2 asas pamungkasnya yakni asas rekognisi dan subsidaritas, akan tetapi rekonstruksi dan reorganisasi desa, baik dalam posisi sebagai organisasi maupun persekutuan sosial tidak dilakukan, semua focus hanya tertuju pada adanya dana segar sebesar 1 milyar rupiah per desanya. Kemudian focus yang lain berkaitan dengan kritik tajam mengatakan bahwa Undang-Undang Desa yang baru ini penuh dengan kecacatan, pertentangan dengan aturan pelaksananya dan Undang-Undang lainnya yang mengatur tentang Desa–tentu ada pertanyaan bagaimana jika pertentangan itu dalam sebuah produk hukum setingkat (baca; sama-sama Undang-Undang), maka fostulat ‘lex specialis derogat lex generalis’ akan mengalami kekaburan dalam pengimplementasiannya (misal pengaturan terkait desa dalam Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang tentang Desa)—ada fostulat hukum yang dapat memecahkannya dan merupakan penjabaran atau tindak lanjut dari fostulat sebelumnya yakni ‘Lex specialis sistematis’, artinya Undang-Undang yang lebih lengkap mengatur terkait suatu objek itulah yang mesti digunakan dan rujukan yakni Undang-Undang Desa sampai ada revisi terbarunya. Selanjutnya juga ada usulan Undang-Undang Desa mesti dirubah dan direvisi karena fatalnya kekeliruan di dalamnya, mungkin pula kritik tersebut tidak sepenuhnya keliru, akan tetapi yang mesti kita ingat dalam negara yang produk hukumnya dibuat antara legislatif dan eksekutif akan selalu melahirkan resultante yang kompromis. Sehingga jika meminjam pendapat Paul scholten dia mengatakan ‘hanya mereka yang mengkhayallah, jika berpikir Undang-Undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas dan sempurna’, oleh karena itu penemuan hukum menggunakan metode tafsir dan interpretasi yang progresif dan memiliki keberpihakan untuk perbaikan desalah yang memungkinkan untuk perubahan arah baru dari keberadaan desa itu sendiri.
Kesesatan arah politik hukum pada desa itu sudah sekian lama terjadi, politik anggaran yang tidak proporsional, pengalokasian yang sudah dikunci dari pusat dan penuh intervensi. Bahkan tidak jarang penyusunan APBDes itu disusun langsung oleh pendamping desa di atas meja minim partisipasi warga. Kebijakan kepala desa yang sering di intervensi camat dan kepala daerah lewat organisasi perangkat daerah kabupaten dan provinsi, dengan bahasa, program dan kebijakan kepala desa mesti seiring sejalan dengan visi dan misi kepala daerah, pengangkatan perangkat desa yang tidak sepenuhnya pada kebutuhan kepala desa namun juga bergantung pada rekomendasi camat. bahkan forum tertinggi musyawarah desa sering kali hanya formalitas procedural. Dan yang terbaru penulis menemukan seringkali penggunaan jabatan dan kewenangan kepala desa sebagai alat politik untuk mendulang suara oleh politisi lokal dan kepala daerah disaat pemilu, dengan memberikan modal finansial pendanaan politik kala pencalonan kepala desa itu sendiri. ‘Malapraktek’ dan memposisikan desa sebagai wadah uji coba berbagai kebijakan sesat untuk waktu yang cukup lama atas desa selama ini membuat kerusakan mentalitas yang amat parah. Sehingga desakan perubahan masa jabatan menjadi 9 tahun dari 6 tahun, bahkan yang terbaru dari 3 periode dengan masa jabatan 9 tahun adalah buah yang terjadi atas politisasi pragmatis atas desa selama ini.
Terakhir, jika sampai bersepakatnya eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR & DPD RI) untuk merevisi khusus terkait masa jabatan kepala desa ini, maka hanya ada 2 dugaan yang penulis ajukan. Pertama, kepala desa memang digerakkan dan dipolitisasi sedari sekarang dengan sedemikian rupa sistematis agar terhutang budi guna menjadi alat dan mesin politik pada akar rumput yang bisa digerakkan pada saat pemilu di februari dan November 2024 nanti oleh gerombolan elit partai dan politisi, karena kasus politisasi serupa hal ini sudah pernah terjadi saat revisi atas Undang-Undang KPK dan Mahkamah Konstitusi. Kedua, memang adanya niatan dari para elit kekuasaan negeri ini untuk mempreteli preseden buruk bandul demokrasi sekaligus melanjutkan pengrusakan dan penghancuran atas desa itu sendiri, dan mencegah jika sampai desa menemukan jalan kebangkitannya untuk lebih baik. Atas hal demikian kita sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja tentunya.(*)
*Penulis adalah pegiat sosial Masyarakat Adat & Desa di Kalimantan Tengah