Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

Pius, Aldera, dan Runtuhnya Rezim Orba

Tegakkan Demokrasi Indonesia dari Bawah Tanah  

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

RUNTUHNYA rezim otoriter pemerintahan di era orde baru (orba) merupakan kisah klasik perjuangan kaum muda menegakkan marwah demokrasi di Indonesia. Di bawah pemerintahan otoriter orba, demokrasi Indonesia nyaris mati selama hampir tiga dekade. Kala itu demokrasi tak lebih dari sekadar nama yang tak mewujud dalam tingkah laku pemerintahan. Aspirasi, kritik, saran, cita-cita, dan keinginan masyarakat terkungkung oleh sistem pemerintahan antikritik dan mendewakan senjata.

Pada saat-saat genting seperti itulah, satu per satu anak muda pemberani mulai bersuara dan menampakkan diri. Semenjak tahun 1980, muncul para pemuda yang lantang menyuarakan aspirasi masyarakat dan mengkritik sistem pemerintahan. Mulanya para pemuda ini bergerak secara sporadis dengan tujuan yang beraneka ragam sesuai masalah yang muncul imbas sistem pemerintahan saat itu.

Cover buku

Lama kelamaan, akibat perilaku pemerintah yang makin represif dan semena-mena, para pemuda mulai membentuk perhimpunan demi menyatukan visi dan persepsi. Gerakan yang sebelumnya sporadis, perlahan mulai terpusat. Kemudian muncul organisasi-organisasi kepemudaan yang bertujuan menegakkan demokrasi Indonesia.

Demi menegakkan cita-cita demokrasi yang mati di bawah pemerintahan otoriter nan represif, tak tanggung-tanggung, tujuan yang diusung kaum muda pun sangat radikal, yakni menjatuhkan kekuasaan pemerintah saat itu. Bagi mereka, Indonesia yang dipimpin oleh Soeharto selama 30 tahun sudah mencapai batasnya. Harus segera digulingkan mengingat telah menggunungnya masalah akibat jalannya rezim tersebut. Cita-cita inilah yang terus menjadi tujuan dari banyak gerakan organisasi kepemudaan dalam rentang waktu sebelum runtuhnya orde baru tahun 1998.

Salah satu organisasi kepemudaan yang berdiri saat itu adalah Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera). Organisasi ini merupakan salah satu organisasi yang turut serta dalam memuluskan masuknya Indonesia ke era reformasi tahun 1998. Organisasi yang sebagain besar beranggota mahasiswa itu ikut berkontribusi membangkitkan demokrasi Indonesia yang kala itu telah mati suri. Sejarah, latar belakang, dan maju mundurnya gerakan organisasi ini tertulis apik dalam buku berjudul Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 yang ditulis Teddy Wibisana, Nanang Pujalaksana, dan Rahadi T Wiratama.

Tokoh yang menjadi sentral pembahasan dalam buku ini adalah Pius Lustrilanang. Pria kelahiran Manado itu menjadi penggagas berdirinya Aldera. Saya (penulis, red) berkesempatan mendengarkan langsung kuliah umumnya saat ia bertandang ke Universitas Palangka Raya dalam kegiatan bedah buku, Senin (21/2).

Menjadi pembicara kunci (keynote speaker), pria berusia 54 tahun ini menjelaskan isi buku yang menceritakan perjuangannya dan kawan-kawan ketika masih muda dalam organisasi Aldera yang didirikab pada zaman orde baru dalam upaya menggulingkan kekuasaan pemerintah kala itu hingga berhasil menegakkan kembali demokrasi Indonesia. Membawa negara berideologi Pancasila ini memasuki era baru, reformasi. Angin segar kebebasan berpendapat dan berekspresi mampu hadir dan menjadi napas kehidupan bermasyarakat dan bernegara sampai hari ini.

Baca Juga :  Mayoritas Sekolah Sudah PTM 100 Persen, Sebagian Mulai Bulan Depan

Saat ini Pius menjabat Anggota IV Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI. Sepak terjangnya sebagai aktivis maupun dalam organisasi kepemudaan tidak diragukan lagi. Anak ketiga dari enam bersaudara ini telah menghabiskan masa mudanya untuk membangun jaringan perlawanan terhadap rezim otoriter pemerintah orba, yang kemudian berujung pada penculikannya oleh satuan khusus militer kala itu.

“Aldera adalah gerakan yang dibangun khusus untuk menggalang kekuatan rakyat dan mahasiswa dalam upaya mengejar demokratisasi di Indonesia. Organisasi ini dibentuk dari kantong-kantong gerakan mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia yang sebelumnya bergerak secara sporadis,” terang Pius.

Pria kelahiran 10 Oktober 1968 itu menyebut, keanggotan Aldera diisi oleh para mahasiswa dan kaum muda yang sebelumnya memang sudah aktif dalam gerakan demokratisasi yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. “Mereka sudah lama bergerak sebelum kemudian melebur ke dalam Aldera,” bebernya.

Organisasi yang digagasnya itu bersifat semipartai, yang kadernya fokus melakukan gerakan demokratisasi, mencapai tujuan reformasi, dan melawan kediktatoran rezim Soeharto. Aldera mengambil peran penting dalam mewujudkan demokratisasi Indonesia kala itu. Dalam organisasi itu, mereka mengkaji dan melatih diri untuk mempelajari teori-teori perubahan. “Dari proses belajar itulah kami sadar bahwa mau tidak mau harus diturunkan dan diganti dengan rezim yang lebih demokratis,” tuturnya.

Bedah buku

Dikatakan Pius, kelahiran Aldera dipicu oleh berbagai persoalan yang menyeruak di tengah masyarakat sejak tahun 1980-an. Sembari berkilas balik, alumnus sarjana jurusan ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Katolik Parahyangan ini menyebut, gerakan mahasiswa sudah muncul sejak tahun 1980-an. Mereka mengorganisasi penanganan kasus-kasus di masyarakat, seperti kasus tanah, perburuhan, dan sebagainya hingga tahun 1993. Pius dan kawan-kawan menyadari bahwa untuk suatu gerakan perubahan, pihaknya harus bersatu.

“Waktu itu kami sadar, kami tidak bisa bergerak secara sporadis, tapi harus terpimpin dengan disiplin, seperti sistem partai kader yang tujuannya jelas, yakni mewujudkan demokratisasi di Indonesia meski taruhan nyawa sekalipun,” ungkapnya.

Menyandingkan perjuangan dengan taruhan nyawa bukanlah keputusan yang main-main. Keputusan ini lahir dari keresahan yang begitu besar akan rezim kala itu. Pius lantas menggambarkan kondisi sosial politik Indonesia masa itu yang kacau. Dengan kekuasaan yang dimiliki, rezim orba mengontrol seluruh partai politik dan menyederhanakannya dengan hanya menjadi tiga partai saja.

“Mereka mengkonsolidasikan partai politik menjadi tiga, kemudian membuat politik massa mengambang, dari situ mereka bisa mengontrol semua lini kehidupan masyarakat, dari situ tv dikontrol, kebebasan pers tidak ada, hakim di pengadilan pun tunduk di bawah kekuasaan negara,” bebernya.

Baca Juga :  Bupati Ajak Masyarakat Berkunjung ke Perpustakaan

Pius juga melihat kebijakan dwifungsi ABRI dan sistem pemerintahan yang terpusat yang melahirkan kebijakan cacat, sehingga tidak terwujud visi pemerataan pembangunan di Indonesia. “Tak hanya itu, kekuatan dan kekuasaan negara hanya dinikmati oleh Soeharto dan kroni-kroninya,” ungkapnya.

Karena itulah Pius dan kawan-kawan tak mau tinggal diam. Bendera organisasi Aldera pun berkibar sejak tahun 1993 hingga 1999. Misi utama yakni mewujudkan demokratisasi Indonesia dan meruntuhkan rezim orba sehingga tercapai cita-cita reformasi. Namun gerakan Aldera tidak banyak terpublikasi di permukaan. Gerakannya eksis di jalur bawah, melebur dengan masyarakat dan menyadarkan rakyat bahwa rezim yang saat itu berkuasa begitu semena-mena.

 

Pius menyebut kehadiran buku Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 merupakan upaya pihaknya mengenang kisah perjuangan organisasi Aldera dalam upaya mewujudkan demokratisasi kala itu. Aldera memang tak sepopuler Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kala itu sering muncul dalam pemberitaan.

Organisasi yang dipimpin Budiman Sudjatmiko itu, pada zaman orde baru dianggap satu-satunya organisasi yang menginisiasi gerakan demokratisasi di Indonesia. Padahal saat itu ada Pius dan kawan-kawan di bawah bendera organisasi Aldera yang bergerak di bawah tanah. Berbeda dengan organisasi kepemudaan lain yang banyak terlihat di permukaan layaknya PRD, Aldera justru bergerak dalam senyap dan menggaet dukungan dari “bawah tanah”.

“Kami, Aldera relatif sepi dari pemberitaan, karena lebih banyak berorganisasi di bawah tanah, tidak seperti PRD yang ada catatan sejarahnya. Oleh karena itu, saya pikir, teman-teman Aldera harus menulis sendiri sejarahnya. Maka dari itu, melalui buku inilah kisah kami, sejarah gerakan, dan organisasi kami dapat diketahui lebih dalam. Generasi akan datang akan tahu bahwa Aldera pernah eksis di masyarakat dan memperjuangkan demokratisasi di Indonesia,” tuturnya.

Perjalanan putra dari pasangan Djamilus Zainudin dan Fransisca Sri Haryatni ini dalam dunia aktivisme sangat panjang dan terjal. Berbagai ancaman dan bahaya sudah sering dihadapi. Mulai dari ancaman lisan, ancaman fisik, hingga ancaman pembunuhan akibat sikap kritisnya. Setelah kekuasaan Soeharto dijatuhkan, Pius terjun ke dunia politik, lalu bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN).

Tak lama kemudian ia pindah ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Karena sikap kritisnya, Pius dipecat dari PDIP pada 2005 lalu. Sempat beberapa saat bergabung dengan PDP, sebelum berupaya membangun partai sendiri, Pius akhirnya bergabung dengan Gerindra. Dalam perjalanan itu, Pius terus berkomitmen membangun jaringan kaum muda khususnya mahasiswa, mengajak generasi muda untuk bersikap kritis dan tak gentar membela rakyat. (ce/ram)

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

RUNTUHNYA rezim otoriter pemerintahan di era orde baru (orba) merupakan kisah klasik perjuangan kaum muda menegakkan marwah demokrasi di Indonesia. Di bawah pemerintahan otoriter orba, demokrasi Indonesia nyaris mati selama hampir tiga dekade. Kala itu demokrasi tak lebih dari sekadar nama yang tak mewujud dalam tingkah laku pemerintahan. Aspirasi, kritik, saran, cita-cita, dan keinginan masyarakat terkungkung oleh sistem pemerintahan antikritik dan mendewakan senjata.

Pada saat-saat genting seperti itulah, satu per satu anak muda pemberani mulai bersuara dan menampakkan diri. Semenjak tahun 1980, muncul para pemuda yang lantang menyuarakan aspirasi masyarakat dan mengkritik sistem pemerintahan. Mulanya para pemuda ini bergerak secara sporadis dengan tujuan yang beraneka ragam sesuai masalah yang muncul imbas sistem pemerintahan saat itu.

Cover buku

Lama kelamaan, akibat perilaku pemerintah yang makin represif dan semena-mena, para pemuda mulai membentuk perhimpunan demi menyatukan visi dan persepsi. Gerakan yang sebelumnya sporadis, perlahan mulai terpusat. Kemudian muncul organisasi-organisasi kepemudaan yang bertujuan menegakkan demokrasi Indonesia.

Demi menegakkan cita-cita demokrasi yang mati di bawah pemerintahan otoriter nan represif, tak tanggung-tanggung, tujuan yang diusung kaum muda pun sangat radikal, yakni menjatuhkan kekuasaan pemerintah saat itu. Bagi mereka, Indonesia yang dipimpin oleh Soeharto selama 30 tahun sudah mencapai batasnya. Harus segera digulingkan mengingat telah menggunungnya masalah akibat jalannya rezim tersebut. Cita-cita inilah yang terus menjadi tujuan dari banyak gerakan organisasi kepemudaan dalam rentang waktu sebelum runtuhnya orde baru tahun 1998.

Salah satu organisasi kepemudaan yang berdiri saat itu adalah Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera). Organisasi ini merupakan salah satu organisasi yang turut serta dalam memuluskan masuknya Indonesia ke era reformasi tahun 1998. Organisasi yang sebagain besar beranggota mahasiswa itu ikut berkontribusi membangkitkan demokrasi Indonesia yang kala itu telah mati suri. Sejarah, latar belakang, dan maju mundurnya gerakan organisasi ini tertulis apik dalam buku berjudul Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 yang ditulis Teddy Wibisana, Nanang Pujalaksana, dan Rahadi T Wiratama.

Tokoh yang menjadi sentral pembahasan dalam buku ini adalah Pius Lustrilanang. Pria kelahiran Manado itu menjadi penggagas berdirinya Aldera. Saya (penulis, red) berkesempatan mendengarkan langsung kuliah umumnya saat ia bertandang ke Universitas Palangka Raya dalam kegiatan bedah buku, Senin (21/2).

Menjadi pembicara kunci (keynote speaker), pria berusia 54 tahun ini menjelaskan isi buku yang menceritakan perjuangannya dan kawan-kawan ketika masih muda dalam organisasi Aldera yang didirikab pada zaman orde baru dalam upaya menggulingkan kekuasaan pemerintah kala itu hingga berhasil menegakkan kembali demokrasi Indonesia. Membawa negara berideologi Pancasila ini memasuki era baru, reformasi. Angin segar kebebasan berpendapat dan berekspresi mampu hadir dan menjadi napas kehidupan bermasyarakat dan bernegara sampai hari ini.

Baca Juga :  Mayoritas Sekolah Sudah PTM 100 Persen, Sebagian Mulai Bulan Depan

Saat ini Pius menjabat Anggota IV Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI. Sepak terjangnya sebagai aktivis maupun dalam organisasi kepemudaan tidak diragukan lagi. Anak ketiga dari enam bersaudara ini telah menghabiskan masa mudanya untuk membangun jaringan perlawanan terhadap rezim otoriter pemerintah orba, yang kemudian berujung pada penculikannya oleh satuan khusus militer kala itu.

“Aldera adalah gerakan yang dibangun khusus untuk menggalang kekuatan rakyat dan mahasiswa dalam upaya mengejar demokratisasi di Indonesia. Organisasi ini dibentuk dari kantong-kantong gerakan mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia yang sebelumnya bergerak secara sporadis,” terang Pius.

Pria kelahiran 10 Oktober 1968 itu menyebut, keanggotan Aldera diisi oleh para mahasiswa dan kaum muda yang sebelumnya memang sudah aktif dalam gerakan demokratisasi yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. “Mereka sudah lama bergerak sebelum kemudian melebur ke dalam Aldera,” bebernya.

Organisasi yang digagasnya itu bersifat semipartai, yang kadernya fokus melakukan gerakan demokratisasi, mencapai tujuan reformasi, dan melawan kediktatoran rezim Soeharto. Aldera mengambil peran penting dalam mewujudkan demokratisasi Indonesia kala itu. Dalam organisasi itu, mereka mengkaji dan melatih diri untuk mempelajari teori-teori perubahan. “Dari proses belajar itulah kami sadar bahwa mau tidak mau harus diturunkan dan diganti dengan rezim yang lebih demokratis,” tuturnya.

Bedah buku

Dikatakan Pius, kelahiran Aldera dipicu oleh berbagai persoalan yang menyeruak di tengah masyarakat sejak tahun 1980-an. Sembari berkilas balik, alumnus sarjana jurusan ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Katolik Parahyangan ini menyebut, gerakan mahasiswa sudah muncul sejak tahun 1980-an. Mereka mengorganisasi penanganan kasus-kasus di masyarakat, seperti kasus tanah, perburuhan, dan sebagainya hingga tahun 1993. Pius dan kawan-kawan menyadari bahwa untuk suatu gerakan perubahan, pihaknya harus bersatu.

“Waktu itu kami sadar, kami tidak bisa bergerak secara sporadis, tapi harus terpimpin dengan disiplin, seperti sistem partai kader yang tujuannya jelas, yakni mewujudkan demokratisasi di Indonesia meski taruhan nyawa sekalipun,” ungkapnya.

Menyandingkan perjuangan dengan taruhan nyawa bukanlah keputusan yang main-main. Keputusan ini lahir dari keresahan yang begitu besar akan rezim kala itu. Pius lantas menggambarkan kondisi sosial politik Indonesia masa itu yang kacau. Dengan kekuasaan yang dimiliki, rezim orba mengontrol seluruh partai politik dan menyederhanakannya dengan hanya menjadi tiga partai saja.

“Mereka mengkonsolidasikan partai politik menjadi tiga, kemudian membuat politik massa mengambang, dari situ mereka bisa mengontrol semua lini kehidupan masyarakat, dari situ tv dikontrol, kebebasan pers tidak ada, hakim di pengadilan pun tunduk di bawah kekuasaan negara,” bebernya.

Baca Juga :  Bupati Ajak Masyarakat Berkunjung ke Perpustakaan

Pius juga melihat kebijakan dwifungsi ABRI dan sistem pemerintahan yang terpusat yang melahirkan kebijakan cacat, sehingga tidak terwujud visi pemerataan pembangunan di Indonesia. “Tak hanya itu, kekuatan dan kekuasaan negara hanya dinikmati oleh Soeharto dan kroni-kroninya,” ungkapnya.

Karena itulah Pius dan kawan-kawan tak mau tinggal diam. Bendera organisasi Aldera pun berkibar sejak tahun 1993 hingga 1999. Misi utama yakni mewujudkan demokratisasi Indonesia dan meruntuhkan rezim orba sehingga tercapai cita-cita reformasi. Namun gerakan Aldera tidak banyak terpublikasi di permukaan. Gerakannya eksis di jalur bawah, melebur dengan masyarakat dan menyadarkan rakyat bahwa rezim yang saat itu berkuasa begitu semena-mena.

 

Pius menyebut kehadiran buku Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 merupakan upaya pihaknya mengenang kisah perjuangan organisasi Aldera dalam upaya mewujudkan demokratisasi kala itu. Aldera memang tak sepopuler Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kala itu sering muncul dalam pemberitaan.

Organisasi yang dipimpin Budiman Sudjatmiko itu, pada zaman orde baru dianggap satu-satunya organisasi yang menginisiasi gerakan demokratisasi di Indonesia. Padahal saat itu ada Pius dan kawan-kawan di bawah bendera organisasi Aldera yang bergerak di bawah tanah. Berbeda dengan organisasi kepemudaan lain yang banyak terlihat di permukaan layaknya PRD, Aldera justru bergerak dalam senyap dan menggaet dukungan dari “bawah tanah”.

“Kami, Aldera relatif sepi dari pemberitaan, karena lebih banyak berorganisasi di bawah tanah, tidak seperti PRD yang ada catatan sejarahnya. Oleh karena itu, saya pikir, teman-teman Aldera harus menulis sendiri sejarahnya. Maka dari itu, melalui buku inilah kisah kami, sejarah gerakan, dan organisasi kami dapat diketahui lebih dalam. Generasi akan datang akan tahu bahwa Aldera pernah eksis di masyarakat dan memperjuangkan demokratisasi di Indonesia,” tuturnya.

Perjalanan putra dari pasangan Djamilus Zainudin dan Fransisca Sri Haryatni ini dalam dunia aktivisme sangat panjang dan terjal. Berbagai ancaman dan bahaya sudah sering dihadapi. Mulai dari ancaman lisan, ancaman fisik, hingga ancaman pembunuhan akibat sikap kritisnya. Setelah kekuasaan Soeharto dijatuhkan, Pius terjun ke dunia politik, lalu bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN).

Tak lama kemudian ia pindah ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Karena sikap kritisnya, Pius dipecat dari PDIP pada 2005 lalu. Sempat beberapa saat bergabung dengan PDP, sebelum berupaya membangun partai sendiri, Pius akhirnya bergabung dengan Gerindra. Dalam perjalanan itu, Pius terus berkomitmen membangun jaringan kaum muda khususnya mahasiswa, mengajak generasi muda untuk bersikap kritis dan tak gentar membela rakyat. (ce/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/