Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

Lebih Dekat dengan Usman, Marbut Masjid Al Amin

Bantu Memandikan Jenazah sampai Pencerama Pengajian

Tidak semua orang mau menjadi seorang marbut masjid. Tanggung jawabnya yang begitu besar, banyak dijadikan alasan orang enggan melakoninya. Menjaga kebersihan, ketepatan waktu dan selalu ada di waktu salat juga menjadi keharusannya.

MUTOHAROH, Palangka Raya

NAMPAK matahari sudah turun dari posisinya, terlihat pula bayangan yang lebih panjang daripada tubuh manusia menandakan sudah masuk waktu ashar. Dengan menggunakan baju koko berwarna abu-abu, Usman bergegas menuju masjid Al-Amin yang tak jauh dari rumahnya. Dengan lantang dan merdunya, adzan pun dikumandangkan.

10 tahun sudah ayah dari 2 orang anak itu melaksanakan tugasnya menjadi marbut masjid yang terletak di Jalan Adonis Samad, Gang Maulana ini. Tidak hanya membersihkan masjid saja, peran sebagai imam rawatib hingga imam salat tarawih pun dilakukannya. Demi menjaga kekhusyukannya dalam menjadi imam salat, pria yang berusia 33 tahun itu memilih tidak mencari pekerjaan lain dan fokus pada perannya sebagai marbut sekaligus imam salat.

“Menjadi imam salat bukanlah hal yang mudah dilakukan, butuh kefokusan saat pelaksanaannya, terutama di bulan Ramadan ini saya dipercaya penuh untuk menjadi imam teraweh selama Ramadan,” ucapnya.

Tepat saat kelulusannya, ia berpikir harus mencari sebuah pekerjaan. Pimpinan pondok pesantren tempatnya menuntut ilmu, memberikan saran untuk menjadi marbut masjid. Selain menjaga rumah Allah, pria lulusan Pesantren Nurul Ma’ad ini juga bisa mengamalkan ilmu yang diterimanya. Di usia cukup muda, pria 18 tahun itu akhirnya memutuskan menjadi marbut masjid.

Baca Juga :  Ingin Generasi Muda Berkomunikasi Menggunakan Bahasa Daerah

Setahun menjadi marbut masjid di sebuah perusahaan sawit di Samarinda, pada akhirnya harus berhenti dikarenakan perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Usman dan istri pun kembali ke kampung halamannya Banjar Baru, mereka melakukan segala pekerjaan yang ada mulai dari bertani cabai dan lainnya. Sampai akhirnya memutuskan untuk pindah kembali menjalani pekerjaan di perusahaan sawit. Sempat terlintas di pikirannya tidak ingin menjadi marbut kembali.

“Semenjak berhenti jadi marbut dan bekerja apa yang ada, saya sempat kepikiran gak mau jadi marbut lagi,” jelasnya dengan nada sedih.

Bagai ditakdirkan menjadi seorang marbut, pria kelahiran Desa Basarang, kabupaten kapuas itu kembali mendapatkan tawaran menjadi marbut masjid di Palangka Raya. Dengan pekerjaan yang belum begitu jelas ketetapannya, membuat ia menerima tawaran menjadi marbut masjid. Hari-hari terlewati hanya menunggu waktu keberangkatan, di pertengahan waktu keberangkatan, laki-laki  kelahiran 13 februari 1990 itu menerima kabar, ada yang ingin menjadi marbut di tempat yang menjadi tujuannya. Satu bulan berlalu, marbut itu memutuskan berhenti. Usman yang tidak tahu apa alasan marbut itu berhenti pun akhirnya dipanggil kembali untuk menjadi marbut tetap di masjid Al-Amin ini.

Baca Juga :  Teh Bawang Dayak Olahan Heni Siap Ekspor ke Afrika

“Tapi yang namanya takdir kan gak ada yang tahu, berhenti jadi marbut malah padat panggilan jadi marbut lagi dan sampailah saya di Palangka,” katanya sambil tertawa kecil.

10 tahun lamanya Usman dan keluarga menetap di Palangka Raya. Kota yang tidak pernah terlintas sedikitpun akan ia singgahi menjadi tempat menetap hingga saat ini. Selama menjadi marbut masjid, insentif yang diterima tidak lebih dari Rp1,5 juta per bulannya.

Perbedaan menjadi marbut kota dan desa tentu dirasakan. Sambil membayangkan perjalananya ia berkata, menjadi marbut di kota bukanlah hal yang mudah. Baginya, menjadi marbut di kota hampir setara dengan ustad. Kadang kala murid dari KH Ahmad Kusasi ini sering kali diminta melakukan hal yang bukan dilakukan oleh marbut. Seperti membantu memandikan mayat dan memberikan ceramah di pengajian ibu-ibu sekitar masjid setiap minggunya.

Usman tentu bersyukur, dia mendapatkan kepercayaan masyarakat sekitar untuk membatu mengurus jenazah keluarga yang meninggal dan mengisi pengajian ibu-ibu. Berbekal ilmu yang ada, ia selalu berusaha melakukan hal yang terbaik untuk masyarakat sekitar.

“Saya bersyukur, setidaknya saya lulusan pondok, adalah bekal ilmu untuk mengabdi di masyarakat,” tuturnya. (ans)

Tidak semua orang mau menjadi seorang marbut masjid. Tanggung jawabnya yang begitu besar, banyak dijadikan alasan orang enggan melakoninya. Menjaga kebersihan, ketepatan waktu dan selalu ada di waktu salat juga menjadi keharusannya.

MUTOHAROH, Palangka Raya

NAMPAK matahari sudah turun dari posisinya, terlihat pula bayangan yang lebih panjang daripada tubuh manusia menandakan sudah masuk waktu ashar. Dengan menggunakan baju koko berwarna abu-abu, Usman bergegas menuju masjid Al-Amin yang tak jauh dari rumahnya. Dengan lantang dan merdunya, adzan pun dikumandangkan.

10 tahun sudah ayah dari 2 orang anak itu melaksanakan tugasnya menjadi marbut masjid yang terletak di Jalan Adonis Samad, Gang Maulana ini. Tidak hanya membersihkan masjid saja, peran sebagai imam rawatib hingga imam salat tarawih pun dilakukannya. Demi menjaga kekhusyukannya dalam menjadi imam salat, pria yang berusia 33 tahun itu memilih tidak mencari pekerjaan lain dan fokus pada perannya sebagai marbut sekaligus imam salat.

“Menjadi imam salat bukanlah hal yang mudah dilakukan, butuh kefokusan saat pelaksanaannya, terutama di bulan Ramadan ini saya dipercaya penuh untuk menjadi imam teraweh selama Ramadan,” ucapnya.

Tepat saat kelulusannya, ia berpikir harus mencari sebuah pekerjaan. Pimpinan pondok pesantren tempatnya menuntut ilmu, memberikan saran untuk menjadi marbut masjid. Selain menjaga rumah Allah, pria lulusan Pesantren Nurul Ma’ad ini juga bisa mengamalkan ilmu yang diterimanya. Di usia cukup muda, pria 18 tahun itu akhirnya memutuskan menjadi marbut masjid.

Baca Juga :  Ingin Generasi Muda Berkomunikasi Menggunakan Bahasa Daerah

Setahun menjadi marbut masjid di sebuah perusahaan sawit di Samarinda, pada akhirnya harus berhenti dikarenakan perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Usman dan istri pun kembali ke kampung halamannya Banjar Baru, mereka melakukan segala pekerjaan yang ada mulai dari bertani cabai dan lainnya. Sampai akhirnya memutuskan untuk pindah kembali menjalani pekerjaan di perusahaan sawit. Sempat terlintas di pikirannya tidak ingin menjadi marbut kembali.

“Semenjak berhenti jadi marbut dan bekerja apa yang ada, saya sempat kepikiran gak mau jadi marbut lagi,” jelasnya dengan nada sedih.

Bagai ditakdirkan menjadi seorang marbut, pria kelahiran Desa Basarang, kabupaten kapuas itu kembali mendapatkan tawaran menjadi marbut masjid di Palangka Raya. Dengan pekerjaan yang belum begitu jelas ketetapannya, membuat ia menerima tawaran menjadi marbut masjid. Hari-hari terlewati hanya menunggu waktu keberangkatan, di pertengahan waktu keberangkatan, laki-laki  kelahiran 13 februari 1990 itu menerima kabar, ada yang ingin menjadi marbut di tempat yang menjadi tujuannya. Satu bulan berlalu, marbut itu memutuskan berhenti. Usman yang tidak tahu apa alasan marbut itu berhenti pun akhirnya dipanggil kembali untuk menjadi marbut tetap di masjid Al-Amin ini.

Baca Juga :  Teh Bawang Dayak Olahan Heni Siap Ekspor ke Afrika

“Tapi yang namanya takdir kan gak ada yang tahu, berhenti jadi marbut malah padat panggilan jadi marbut lagi dan sampailah saya di Palangka,” katanya sambil tertawa kecil.

10 tahun lamanya Usman dan keluarga menetap di Palangka Raya. Kota yang tidak pernah terlintas sedikitpun akan ia singgahi menjadi tempat menetap hingga saat ini. Selama menjadi marbut masjid, insentif yang diterima tidak lebih dari Rp1,5 juta per bulannya.

Perbedaan menjadi marbut kota dan desa tentu dirasakan. Sambil membayangkan perjalananya ia berkata, menjadi marbut di kota bukanlah hal yang mudah. Baginya, menjadi marbut di kota hampir setara dengan ustad. Kadang kala murid dari KH Ahmad Kusasi ini sering kali diminta melakukan hal yang bukan dilakukan oleh marbut. Seperti membantu memandikan mayat dan memberikan ceramah di pengajian ibu-ibu sekitar masjid setiap minggunya.

Usman tentu bersyukur, dia mendapatkan kepercayaan masyarakat sekitar untuk membatu mengurus jenazah keluarga yang meninggal dan mengisi pengajian ibu-ibu. Berbekal ilmu yang ada, ia selalu berusaha melakukan hal yang terbaik untuk masyarakat sekitar.

“Saya bersyukur, setidaknya saya lulusan pondok, adalah bekal ilmu untuk mengabdi di masyarakat,” tuturnya. (ans)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/