Kamis, Juli 4, 2024
32.3 C
Palangkaraya

Walhi Sarankan Program Food Estate Dihentikan

PALANGKA RAYA-Setelah melaksanakan survei lapangan terkait perkembangan food estate, dengan terjun langsung ke Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan sejumlah penemuan atau fakta terbaru nan menarik. Dari penemuan itu, para pegiat lingkungan menyarankan agar proyek pangan tersebut dihentikan.

Walhi memusatkan penelitian lapangan di area ekstensifikasi atau lahan sawah baru yang dibuka tahun 2021-2022, dengan mempertimbangkan mitigasi data dan perencanaan single investor identification (SID), overlay data kawasan irigasi, data lahan prima. Untuk itu Walhi menetapkan lokasi penelitian pada 18 desa di Kapuas dan 1 desa di Pulang Pisau.

Walhi mengumpulkan data dengan wawancara responden, yakni wawancara bersama pemerintah desa (pemdes), kelompok tani, dan warga setempat. Selain itu, Walhi juga mengecek langsung kondisi lahan. Hal-hal yang menjadi fokus perhatian mencakup aspek kelembapan dan keasaman tanah, kedalaman gambut, tutupan lahan terkini, akses jalan, dan mengecek apakah ada jaringan kanal yang dibangun.

Baca Juga :  Empunya Lahan Senang Tanahnya Ada yang Merawat

Ani selaku salah satu yang tergabung dalam tim survei itu memaparkan hasil temuan. Dari 30 titik lokasi tepatnya di 19 desa, sebanyak 60% wilayahnya telah dilakukan pembukaan lahan.

“Setelah dilakukan pembukaan lahan, untuk saat ini 50% kondisi lahannya terbengkalai, seperti tidak ada agenda lanjutan setelah pembukaan lahan,” ungkapnya saat memaparkan materi Desiminasi Hasil Desk Study dan Investigasi Food Estate Kalteng di salah satu hotel, Jalan G Obos, Palangka Raya, Jumat (31/5).

Bahkan pihaknya menemukan di beberapa desa benih padi yang diberikan sudah kedaluwarsa. Karena sudah tidak bisa lagi ditanam, alhasil para warga menggiling benih padi tersebut.

Diketahui pembukaan lahan terjadi di atas kesatuan hidrologis gambut (KHG), yakni pada wilayah aliran Sungai Kahayan-Kapuas dan Sungai Kapuas-Barito. Karena pembukaan tersebut di atas KHG, menyebabkan zat asam gambut naik. Bahkan mengakibatkan lahan tersebut tidak dapat ditanam lagi. “Bisa dibilang lahan tersebut sudah tidak sehat lagi,” tuturnya.

Baca Juga :  Sanksi Teguran hingga Bayar Denda

Selama penelitian itu, ada sejumlah temuan menarik yang didapatkan Walhi Kalteng. Pertama, proyek food estate menghasilkan konflik dengan masyarakat sekitar. Kedua, merusak lahan tani dan menaikkan keasaman gambut pada lahan ladang warga yang dahulunya sebagai sumber pangan. Ketiga, tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Keempat, perusahaan sawit menawarkan lahan warga yang telah dibuka untuk proyek food estate sebesar Rp10 juta di Desa Tajepan. Kelima, lokasi food estate berdekatan dengan perusahaan. Keenam, pengerahan aparat keamanan dalam pembukaan lahan. Ketujuh, kebakaran berulang.

Berdasarkan penemuan menarik selama penelitian lapangan itu, Walhi merekomendasikan kepada pihak terkait untuk segera memberhentikan program food estate (ekstensifikasi) dan tidak melanjutkan pembangunan kanal. ATR/BPN diharapkan segera menyelesaikan konflik lahan di area food estate. Selain itu, KLHK, BRGM, dan pemerintah daerah didesak untuk segera melakukan pemulihan ekosistem gambut yang telah rusak karena aktivitas pembukaan lahan program food estate. (ham/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Setelah melaksanakan survei lapangan terkait perkembangan food estate, dengan terjun langsung ke Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan sejumlah penemuan atau fakta terbaru nan menarik. Dari penemuan itu, para pegiat lingkungan menyarankan agar proyek pangan tersebut dihentikan.

Walhi memusatkan penelitian lapangan di area ekstensifikasi atau lahan sawah baru yang dibuka tahun 2021-2022, dengan mempertimbangkan mitigasi data dan perencanaan single investor identification (SID), overlay data kawasan irigasi, data lahan prima. Untuk itu Walhi menetapkan lokasi penelitian pada 18 desa di Kapuas dan 1 desa di Pulang Pisau.

Walhi mengumpulkan data dengan wawancara responden, yakni wawancara bersama pemerintah desa (pemdes), kelompok tani, dan warga setempat. Selain itu, Walhi juga mengecek langsung kondisi lahan. Hal-hal yang menjadi fokus perhatian mencakup aspek kelembapan dan keasaman tanah, kedalaman gambut, tutupan lahan terkini, akses jalan, dan mengecek apakah ada jaringan kanal yang dibangun.

Baca Juga :  Empunya Lahan Senang Tanahnya Ada yang Merawat

Ani selaku salah satu yang tergabung dalam tim survei itu memaparkan hasil temuan. Dari 30 titik lokasi tepatnya di 19 desa, sebanyak 60% wilayahnya telah dilakukan pembukaan lahan.

“Setelah dilakukan pembukaan lahan, untuk saat ini 50% kondisi lahannya terbengkalai, seperti tidak ada agenda lanjutan setelah pembukaan lahan,” ungkapnya saat memaparkan materi Desiminasi Hasil Desk Study dan Investigasi Food Estate Kalteng di salah satu hotel, Jalan G Obos, Palangka Raya, Jumat (31/5).

Bahkan pihaknya menemukan di beberapa desa benih padi yang diberikan sudah kedaluwarsa. Karena sudah tidak bisa lagi ditanam, alhasil para warga menggiling benih padi tersebut.

Diketahui pembukaan lahan terjadi di atas kesatuan hidrologis gambut (KHG), yakni pada wilayah aliran Sungai Kahayan-Kapuas dan Sungai Kapuas-Barito. Karena pembukaan tersebut di atas KHG, menyebabkan zat asam gambut naik. Bahkan mengakibatkan lahan tersebut tidak dapat ditanam lagi. “Bisa dibilang lahan tersebut sudah tidak sehat lagi,” tuturnya.

Baca Juga :  Sanksi Teguran hingga Bayar Denda

Selama penelitian itu, ada sejumlah temuan menarik yang didapatkan Walhi Kalteng. Pertama, proyek food estate menghasilkan konflik dengan masyarakat sekitar. Kedua, merusak lahan tani dan menaikkan keasaman gambut pada lahan ladang warga yang dahulunya sebagai sumber pangan. Ketiga, tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Keempat, perusahaan sawit menawarkan lahan warga yang telah dibuka untuk proyek food estate sebesar Rp10 juta di Desa Tajepan. Kelima, lokasi food estate berdekatan dengan perusahaan. Keenam, pengerahan aparat keamanan dalam pembukaan lahan. Ketujuh, kebakaran berulang.

Berdasarkan penemuan menarik selama penelitian lapangan itu, Walhi merekomendasikan kepada pihak terkait untuk segera memberhentikan program food estate (ekstensifikasi) dan tidak melanjutkan pembangunan kanal. ATR/BPN diharapkan segera menyelesaikan konflik lahan di area food estate. Selain itu, KLHK, BRGM, dan pemerintah daerah didesak untuk segera melakukan pemulihan ekosistem gambut yang telah rusak karena aktivitas pembukaan lahan program food estate. (ham/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/