Rabu, September 4, 2024
29.2 C
Palangkaraya

Merasa Dikriminalisasi oleh Polda Kalteng, Dua Warga Ajukan Praperadilan

PALANGKA RAYA-Abdul Rahman alias Anan (34) dan Harmen (60) tak menyangka, ajakan dari seorang kepala desa untuk menghadiri pertemuan mediasi terkait penyelesaian sengketa lahan akan berujung pada penangkapan oleh pihak kepolisian. Keduanya ditangkap dan ditahan oleh Ditreskrimum Polda Kalteng, dengan tuduhan melakukan pemerasan dan pengancaman.

Merasa diperlakukan secara tidak adil dan dikriminalisasi, Anan dan Harmen mengajukan permohonan gugatan praperadilan atas penangkapan dan penahanan tersebut. Keluarga dari kedua pemohon juga meminta bantuan dari semua pihak yang bisa membantu membebaskan mereka.

Gugatan praperadilan yang diajukan Anan dan Harmen telah didaftarkan oleh kuasa hukum yang ditunjuk keluarga, yakni H Akhmadsyah Giffary dan Mahfud, di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Senin (15/7/2024).

Keberatan terhadap cara penangkapan oleh pihak kepolisian juga disampaikan keluarga Abdul Rahman dan Harmen. Jamali, seorang kerabat dari kedua tersangka, mengatakan kerabatnya menjadi korban dari proses penangkapan yang direkayasa.

Menurut Jamali, tuduhan kepada Harmen dan Abdul Rahman melakukan pengancaman dan pemerasan adalah tuduhan yang sengaja dibuat untuk mengkriminalisasi keduanya atas perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dilakukan.

“Tidak pernah mereka itu melakukan pengancaman atau pemerasan seperti yang dilaporkan. Penangkapan mereka itu sebuah jebakan dan sengaja untuk mengkriminalisasi mereka,” kata Jamali saat diwawancarai Kalteng Pos di Pengadilan Negeri Palangka Raya.

Jamali menegaskan bahwa kedatangan Anan dan Harmen untuk menghadiri pertemuan soal ganti rugi lahan, karena adanya undangan dari Kades Tewang Menyangen, Hartodie yang menghubungi Anan dan memberitahukan tentang pertemuan tersebut.

“Kalau tidak ada telepon undangan dari Pak Kades, tidak mungkin mereka datang ke tempat itu,” kata Jamali. Ia juga menjelaskan bahwa Hartodie, yang disebutnya sebagai saksi penting dalam peristiwa itu, juga datang dan hadir dalam pertemuan mediasi di rumah, Jalan Betutu, Palangka Raya.

Bapak Erni, sapaan akrabnya, mengaku hadir di tempat pertemuan itu setelah diberitahu oleh Anan melalui telepon. “Tapi saya datangnya belakangan, agak terlambat sampai di rumah itu,” kata Jamali, yang mengaku melihat keluarganya diangkut oleh pihak kepolisian dan dibawa menuju Polda Kalteng.

Diterangkan Jamali, selain Kades Hartodie, Abdul Rahman, dan Harmen, hadir juga dalam pertemuan itu empat orang kerabat lainnya dan seorang staf kantor Desa Tewang Menyangen yang dibawa oleh Hartodie.

Jamali menceritakan panjang lebar konflik permasalahan itu, hingga akhirnya Anan dan Harmen ditangkap polisi. Dirinya adalah seorang petani pemilik lahan garapan yang berlokasi di Jalan Palangka Raya-Tumbang Talaken.

“Lahan itu berada di jalan negara Km 110 Palangka Raya-Tumbang Talaken,” ucapnya, lalu menyebut bahwa dirinya memiliki surat hak garap yang dikeluarkan pihak Desa Taringen sebagai dasar kepemilikan lahan tersebut.

Lebar lahan garapan sepanjang 600 meter, sejajar badan jalan Palangka Raya-Tumbang Talaken. “Kebetulan lahan itu berada di pinggir jalan,” jelasnya.

Diceritakan Jamali, pada tahun 2011 lalu ia membagi-bagikan lahan garapan tersebut kepada beberapa orang kerabat dan kenalan. Awalnya, lahan yang dibagi berlokasi di dekat pinggir jalan. Ada enam orang yang mendapat bagian.

Salah satu di antaranya merupakan kenalan bernama S Tohang. “Bagian lahan yang saya beri untuk S Tohang sudah ada ukurannya, yaitu 100 x 100 meter,” terang Jamali sambil menunjuk surat pembagian yang dimaksud.

Sementara untuk saudara dan keluarganya sendiri, yaitu Harmen dan beberapa lainnya, lanjut Jamali, mendapat bagian lahan di belakang lahan milik S Tohang.

Awal permasalahan lahan bermula sekitar tahun 2023. Tanpa sepengetahuan Jamali dan para pemilik lahan lainnya, lahan milik S Tohang sudah berpindah tangan ke pihak lain. Berdasarkan keterangan dari pihak keluarganya, pihak yang mengaku memiliki tanah dari S Tohang tersebut bernama Popy, Arnold, dan H Ahyar.

Baca Juga :  Sekretaris PW Gerakan Pemuda Ansor Kalteng, Tangkal Hoax dan SARA di Pemilu

“Kalau di plangnya tertulis H Ahyar, tetapi yang mereka temui di tempat itu adalah Ibu Popy dan Arnold yang mengaku sudah membeli lahan itu dari S Tohang,” terang Jamali.

Masalah muncul saat pihak pembeli melakukan pembukaan lahan (land clearing) dengan menggunakan nalat berat di lahan yang diakui sudah mereka beli. Ternyata, mereka juga melakukan pembersihan lahan milik beberapa warga lain, termasuk milik kerabat dan sepupu Harmen yang berada tepat di belakang lahan milik Tohang. “Mereka bersihkan lahan pakai ekskavator,” terangnya lagi.

Diketahui bahwa luas lahan yang diakui dibeli oleh pihak Popy dan Arnold dari S. Tohang bukanlah 100×100 meter seperti yang diketahui warga, melainkan diklaim seluas 70 hektare. Tidak terima dengan tindakan pembersihan lahan oleh pihak Popy dan Arnold yang masuk ke tanah garapan dan kebun milik mereka, para warga meminta agar kegiatan pembersihan lahan dengan alat berat dihentikan.

“Memang waktu itu kabarnya sempat ada keributan gara-gara mereka ngotot mau meneruskan pembersihan lahan, tapi karena lahan yang dibersihkan itu bukan milik mereka, warga ngotot meminta pekerjaan alat berat itu supaya di stop. Tidak ada pengancaman atau pemerasan, cuma ribut-ribut biasa,” jelas Jamali.

Adapun lahan milik warga yang diambil dan dibersihkan oleh pihak Popy dan Arnold disebut Jamali antara lain adalah lahan milik Anan lahan milik keponakannya Debi, lahan milik Bapak Awat, dan sejumlah warga lainnya.

“Demi mencari jalan keluar penyelesaian masalah ini, beberapa saat kemudian pihak Polsek Pendahera berinisiatif mengumpulkan dan mempertemukan para warga dan pihak Popy dan Arnold untuk diadakan pertemuan mediasi,” terangnya.

Pertemuan mediasi dilakukan di Kantor Polsek Tumbang Talaken, karena lokasi sengketa lebih dekat dengan Polsek Tumbang Talaken. Namun, mediasi tersebut tidak menghasilkan apa-apa. “Waktu itu S Tohang yang juga hadir mengakui bahwa tanahnya memang dari saya,” kata Jamali.

Karena pertemuan di Polsek Tumbang Talaken tidak menghasilkan apa-apa, kasus sengketa lahan ini sempat vakum tanpa kelanjutan. Selama hampir setahun, dari 2023 hingga 28 Juni 2024, tidak ada pertemuan atau komunikasi antara pihak Popy atau Arnold dengan para warga untuk membicarakan penyelesaian masalah lahan itu.

“Tidak ada kelanjutannya juga, kami bekerja seperti biasa, berladang atau membuat kebun di atas tanah kami itu,” ucapnya lagi.

Namun, pada 28 Juni 2024, Jumali mengaku mendapat kabar dari Anan melalui telepon. Anan, anak dari sepupunya Harmen, tinggal di Kota Palangka Raya, sementara Harmen tinggal di Kasongan. Anan menceritakan bahwa dirinya baru saja dihubungi oleh Kades Tewang Menyangen, Hartodie, melalui telepon.

Dalam pembicaraan dengan Kades Tewang Menyangen, Anan mengatakan bahwa pihak Arnold mengajaknya dan sang ayah untuk bertemu di Kota Palangka Raya, membicarakan masalah ganti rugi lahan milik mereka yang sempat digarap pihak Arnold. Pertemuan itu dijadwalkan pada Sabtu, 29 Juni 2024.

“Yang mengatur tempat dan waktu pertemuan itu semuanya mereka, kades dan pihak Arnold,” terang Jumali, yang juga membenarkan bahwa pertemuan mediasi itu memang diadakan di sebuah rumah di Jalan Betutu.

“Saya tidak tahu itu rumah siapa, tapi yang jelas Pak Kades Hartodie yang membawa mereka ke tempat itu,” kata Jumali yang mengaku datang belakangan ke tempat pertemuan tersebut.

Baca Juga :  Booster Kedua Boleh Berbeda Merek

Adapun warga yang datang bersama Kades Hartodie ke tempat mediasi, tutur Jumali, selain Anan dan Harmen, juga ada tiga orang lain yang juga pemilik lahan, yaitu Carlos, Debbi, dan Bapak Kleber. “Ada juga satu orang staf dari kantor desa yang dibawa oleh kades,” ungkapnya.

“Ternyata pertemuan itu berubah menjadi ajang penangkapan,” kata Jamali yang menyebut bahwa pertemuan itu diatur hanya sebagai akal-akalan agar mereka bisa menangkap Anan dan Harmen.

“Kalau mereka benar melakukan pemerasan, kenapa tidak dari dulu ditangkap? Kenapa harus menunggu ada pertemuan di tempat itu baru mereka ditangkap? Jelas itu merupakan jebakan,” katanya, sembari menegaskan pihaknya akan mencari keadilan untuk mengungkap kebenaran yang sebenarnya.

Kalteng pos berhasil berbincang dengan Kepala Desa Tewang Menyangen, Hartodie lewat sambungan telepon. Dia sempat mengakui memang benar ada pertemuan mediasi tersebut.

“Saya cuma diminta sebagai fasilitator saja Pak dan anggap saja itu sebagai pelayanan kepada masyarakat kan Pak,“kata Hartodie terkait pertemuan medisi tersebut.

Dirinya bersedia menjadi fasilitator mediasi karena juga ditunjuk oleh pihak kepolisian saat pertemuan di Polsek Tumbang Telaken.

“Saya tidak mau panjang lebar, saya juga sudah diminta keterangan oleh pihak polda,” katanya.

Sementara itu, Mahfud, salah seorang kuasa hukum pemohon, menyatakan bahwa gugatan praperadilan diajukan karena pihaknya menilai seluruh proses penangkapan hingga penahanan dan penetapan status tersangka oleh Ditreskrimum Polda Kalteng terhadap Anan dan Harmen tidak dilakukan sesuai aturan prosedur hukum yang sah.

Mahfud juga menjelaskan secara singkat kronologi peristiwa penangkapan terhadap kedua kliennya, Anan dan Harmen, yang terjadi pada tanggal 29 Juni 2024 di sebuah rumah di Jalan Tjilik Riwut km 6,5, Palangka Raya.

“Tindakan penangkapan yang dilakukan terhadap klien kami pada tanggal 29 Juni 2024 di rumah pelapor, Jalan Betutu, Palangka Raya, mereka ditangkap karena diduga melakukan pemerasan dan atau pengancaman,” kata Mahfud menerangkan peristiwa penangkapan tersebut.

Padahal, menurut Mahfud, kedatangan Anan dan bapaknya ke rumah tersebut bukanlah atas kemauan mereka sendiri melainkan atas undangan dan ajakan dari seorang kepala desa bernama Hartodie. Pertemuan tersebut diadakan dalam rangka penyelesaian masalah ganti rugi sengketa lahan milik kedua kliennya yang berada di Desa Tewang Menyangen, Kabupaten Katingan.

Tiba-tiba datang anggota pihak kepolisian yang kemudian melakukan penangkapan terhadap kedua kliennya itu, dengan tuduhan telah melakukan pengancaman dan pemerasan kepada pihak pelapor.

Mahfud juga menambahkan bahwa ternyata pihak yang mengundang ini telah melaporkan kedua kliennya ke kepolisian pada 6 Mei 2024, dengan tuduhan kliennya melakukan pemerasan dan pengancaman kepada pihak pelapor.

Seluruh proses penangkapan dan penahanan oleh pihak kepolisian inilah yang menurut Mahfud tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku. Jika benar pihak pelapor memang membuat laporan polisi dengan tuduhan terhadap kliennya, seharusnya sesuai aturan hukum, polisi melakukan pemanggilan atau meminta klarifikasi dari kedua kliennya sebagai pihak yang dilaporkan.

“Tidak pernah ada pemanggilan terhadap klien kami dari pihak kepolisian, padahal tindakan polisi itu berdasarkan adanya laporan per tanggal 6 Mei 2024,” ucap Mahfud.

Sementara itu, Kabidhumas Kombes Pol Erlan Munaji saat ditanya terkait praperadilan tersebut mengatakan, pihaknya akan mengonfirmasi dahulu ke Bidang Pelayanan Hukum (Bidkum) Polda Kalteng.

“Saya tanyakan dahulu ya, nanti kalau sudah ada informasi, saya kabari,” ucap Erlan. (sja/ce/ram)

PALANGKA RAYA-Abdul Rahman alias Anan (34) dan Harmen (60) tak menyangka, ajakan dari seorang kepala desa untuk menghadiri pertemuan mediasi terkait penyelesaian sengketa lahan akan berujung pada penangkapan oleh pihak kepolisian. Keduanya ditangkap dan ditahan oleh Ditreskrimum Polda Kalteng, dengan tuduhan melakukan pemerasan dan pengancaman.

Merasa diperlakukan secara tidak adil dan dikriminalisasi, Anan dan Harmen mengajukan permohonan gugatan praperadilan atas penangkapan dan penahanan tersebut. Keluarga dari kedua pemohon juga meminta bantuan dari semua pihak yang bisa membantu membebaskan mereka.

Gugatan praperadilan yang diajukan Anan dan Harmen telah didaftarkan oleh kuasa hukum yang ditunjuk keluarga, yakni H Akhmadsyah Giffary dan Mahfud, di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Senin (15/7/2024).

Keberatan terhadap cara penangkapan oleh pihak kepolisian juga disampaikan keluarga Abdul Rahman dan Harmen. Jamali, seorang kerabat dari kedua tersangka, mengatakan kerabatnya menjadi korban dari proses penangkapan yang direkayasa.

Menurut Jamali, tuduhan kepada Harmen dan Abdul Rahman melakukan pengancaman dan pemerasan adalah tuduhan yang sengaja dibuat untuk mengkriminalisasi keduanya atas perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dilakukan.

“Tidak pernah mereka itu melakukan pengancaman atau pemerasan seperti yang dilaporkan. Penangkapan mereka itu sebuah jebakan dan sengaja untuk mengkriminalisasi mereka,” kata Jamali saat diwawancarai Kalteng Pos di Pengadilan Negeri Palangka Raya.

Jamali menegaskan bahwa kedatangan Anan dan Harmen untuk menghadiri pertemuan soal ganti rugi lahan, karena adanya undangan dari Kades Tewang Menyangen, Hartodie yang menghubungi Anan dan memberitahukan tentang pertemuan tersebut.

“Kalau tidak ada telepon undangan dari Pak Kades, tidak mungkin mereka datang ke tempat itu,” kata Jamali. Ia juga menjelaskan bahwa Hartodie, yang disebutnya sebagai saksi penting dalam peristiwa itu, juga datang dan hadir dalam pertemuan mediasi di rumah, Jalan Betutu, Palangka Raya.

Bapak Erni, sapaan akrabnya, mengaku hadir di tempat pertemuan itu setelah diberitahu oleh Anan melalui telepon. “Tapi saya datangnya belakangan, agak terlambat sampai di rumah itu,” kata Jamali, yang mengaku melihat keluarganya diangkut oleh pihak kepolisian dan dibawa menuju Polda Kalteng.

Diterangkan Jamali, selain Kades Hartodie, Abdul Rahman, dan Harmen, hadir juga dalam pertemuan itu empat orang kerabat lainnya dan seorang staf kantor Desa Tewang Menyangen yang dibawa oleh Hartodie.

Jamali menceritakan panjang lebar konflik permasalahan itu, hingga akhirnya Anan dan Harmen ditangkap polisi. Dirinya adalah seorang petani pemilik lahan garapan yang berlokasi di Jalan Palangka Raya-Tumbang Talaken.

“Lahan itu berada di jalan negara Km 110 Palangka Raya-Tumbang Talaken,” ucapnya, lalu menyebut bahwa dirinya memiliki surat hak garap yang dikeluarkan pihak Desa Taringen sebagai dasar kepemilikan lahan tersebut.

Lebar lahan garapan sepanjang 600 meter, sejajar badan jalan Palangka Raya-Tumbang Talaken. “Kebetulan lahan itu berada di pinggir jalan,” jelasnya.

Diceritakan Jamali, pada tahun 2011 lalu ia membagi-bagikan lahan garapan tersebut kepada beberapa orang kerabat dan kenalan. Awalnya, lahan yang dibagi berlokasi di dekat pinggir jalan. Ada enam orang yang mendapat bagian.

Salah satu di antaranya merupakan kenalan bernama S Tohang. “Bagian lahan yang saya beri untuk S Tohang sudah ada ukurannya, yaitu 100 x 100 meter,” terang Jamali sambil menunjuk surat pembagian yang dimaksud.

Sementara untuk saudara dan keluarganya sendiri, yaitu Harmen dan beberapa lainnya, lanjut Jamali, mendapat bagian lahan di belakang lahan milik S Tohang.

Awal permasalahan lahan bermula sekitar tahun 2023. Tanpa sepengetahuan Jamali dan para pemilik lahan lainnya, lahan milik S Tohang sudah berpindah tangan ke pihak lain. Berdasarkan keterangan dari pihak keluarganya, pihak yang mengaku memiliki tanah dari S Tohang tersebut bernama Popy, Arnold, dan H Ahyar.

Baca Juga :  Sekretaris PW Gerakan Pemuda Ansor Kalteng, Tangkal Hoax dan SARA di Pemilu

“Kalau di plangnya tertulis H Ahyar, tetapi yang mereka temui di tempat itu adalah Ibu Popy dan Arnold yang mengaku sudah membeli lahan itu dari S Tohang,” terang Jamali.

Masalah muncul saat pihak pembeli melakukan pembukaan lahan (land clearing) dengan menggunakan nalat berat di lahan yang diakui sudah mereka beli. Ternyata, mereka juga melakukan pembersihan lahan milik beberapa warga lain, termasuk milik kerabat dan sepupu Harmen yang berada tepat di belakang lahan milik Tohang. “Mereka bersihkan lahan pakai ekskavator,” terangnya lagi.

Diketahui bahwa luas lahan yang diakui dibeli oleh pihak Popy dan Arnold dari S. Tohang bukanlah 100×100 meter seperti yang diketahui warga, melainkan diklaim seluas 70 hektare. Tidak terima dengan tindakan pembersihan lahan oleh pihak Popy dan Arnold yang masuk ke tanah garapan dan kebun milik mereka, para warga meminta agar kegiatan pembersihan lahan dengan alat berat dihentikan.

“Memang waktu itu kabarnya sempat ada keributan gara-gara mereka ngotot mau meneruskan pembersihan lahan, tapi karena lahan yang dibersihkan itu bukan milik mereka, warga ngotot meminta pekerjaan alat berat itu supaya di stop. Tidak ada pengancaman atau pemerasan, cuma ribut-ribut biasa,” jelas Jamali.

Adapun lahan milik warga yang diambil dan dibersihkan oleh pihak Popy dan Arnold disebut Jamali antara lain adalah lahan milik Anan lahan milik keponakannya Debi, lahan milik Bapak Awat, dan sejumlah warga lainnya.

“Demi mencari jalan keluar penyelesaian masalah ini, beberapa saat kemudian pihak Polsek Pendahera berinisiatif mengumpulkan dan mempertemukan para warga dan pihak Popy dan Arnold untuk diadakan pertemuan mediasi,” terangnya.

Pertemuan mediasi dilakukan di Kantor Polsek Tumbang Talaken, karena lokasi sengketa lebih dekat dengan Polsek Tumbang Talaken. Namun, mediasi tersebut tidak menghasilkan apa-apa. “Waktu itu S Tohang yang juga hadir mengakui bahwa tanahnya memang dari saya,” kata Jamali.

Karena pertemuan di Polsek Tumbang Talaken tidak menghasilkan apa-apa, kasus sengketa lahan ini sempat vakum tanpa kelanjutan. Selama hampir setahun, dari 2023 hingga 28 Juni 2024, tidak ada pertemuan atau komunikasi antara pihak Popy atau Arnold dengan para warga untuk membicarakan penyelesaian masalah lahan itu.

“Tidak ada kelanjutannya juga, kami bekerja seperti biasa, berladang atau membuat kebun di atas tanah kami itu,” ucapnya lagi.

Namun, pada 28 Juni 2024, Jumali mengaku mendapat kabar dari Anan melalui telepon. Anan, anak dari sepupunya Harmen, tinggal di Kota Palangka Raya, sementara Harmen tinggal di Kasongan. Anan menceritakan bahwa dirinya baru saja dihubungi oleh Kades Tewang Menyangen, Hartodie, melalui telepon.

Dalam pembicaraan dengan Kades Tewang Menyangen, Anan mengatakan bahwa pihak Arnold mengajaknya dan sang ayah untuk bertemu di Kota Palangka Raya, membicarakan masalah ganti rugi lahan milik mereka yang sempat digarap pihak Arnold. Pertemuan itu dijadwalkan pada Sabtu, 29 Juni 2024.

“Yang mengatur tempat dan waktu pertemuan itu semuanya mereka, kades dan pihak Arnold,” terang Jumali, yang juga membenarkan bahwa pertemuan mediasi itu memang diadakan di sebuah rumah di Jalan Betutu.

“Saya tidak tahu itu rumah siapa, tapi yang jelas Pak Kades Hartodie yang membawa mereka ke tempat itu,” kata Jumali yang mengaku datang belakangan ke tempat pertemuan tersebut.

Baca Juga :  Booster Kedua Boleh Berbeda Merek

Adapun warga yang datang bersama Kades Hartodie ke tempat mediasi, tutur Jumali, selain Anan dan Harmen, juga ada tiga orang lain yang juga pemilik lahan, yaitu Carlos, Debbi, dan Bapak Kleber. “Ada juga satu orang staf dari kantor desa yang dibawa oleh kades,” ungkapnya.

“Ternyata pertemuan itu berubah menjadi ajang penangkapan,” kata Jamali yang menyebut bahwa pertemuan itu diatur hanya sebagai akal-akalan agar mereka bisa menangkap Anan dan Harmen.

“Kalau mereka benar melakukan pemerasan, kenapa tidak dari dulu ditangkap? Kenapa harus menunggu ada pertemuan di tempat itu baru mereka ditangkap? Jelas itu merupakan jebakan,” katanya, sembari menegaskan pihaknya akan mencari keadilan untuk mengungkap kebenaran yang sebenarnya.

Kalteng pos berhasil berbincang dengan Kepala Desa Tewang Menyangen, Hartodie lewat sambungan telepon. Dia sempat mengakui memang benar ada pertemuan mediasi tersebut.

“Saya cuma diminta sebagai fasilitator saja Pak dan anggap saja itu sebagai pelayanan kepada masyarakat kan Pak,“kata Hartodie terkait pertemuan medisi tersebut.

Dirinya bersedia menjadi fasilitator mediasi karena juga ditunjuk oleh pihak kepolisian saat pertemuan di Polsek Tumbang Telaken.

“Saya tidak mau panjang lebar, saya juga sudah diminta keterangan oleh pihak polda,” katanya.

Sementara itu, Mahfud, salah seorang kuasa hukum pemohon, menyatakan bahwa gugatan praperadilan diajukan karena pihaknya menilai seluruh proses penangkapan hingga penahanan dan penetapan status tersangka oleh Ditreskrimum Polda Kalteng terhadap Anan dan Harmen tidak dilakukan sesuai aturan prosedur hukum yang sah.

Mahfud juga menjelaskan secara singkat kronologi peristiwa penangkapan terhadap kedua kliennya, Anan dan Harmen, yang terjadi pada tanggal 29 Juni 2024 di sebuah rumah di Jalan Tjilik Riwut km 6,5, Palangka Raya.

“Tindakan penangkapan yang dilakukan terhadap klien kami pada tanggal 29 Juni 2024 di rumah pelapor, Jalan Betutu, Palangka Raya, mereka ditangkap karena diduga melakukan pemerasan dan atau pengancaman,” kata Mahfud menerangkan peristiwa penangkapan tersebut.

Padahal, menurut Mahfud, kedatangan Anan dan bapaknya ke rumah tersebut bukanlah atas kemauan mereka sendiri melainkan atas undangan dan ajakan dari seorang kepala desa bernama Hartodie. Pertemuan tersebut diadakan dalam rangka penyelesaian masalah ganti rugi sengketa lahan milik kedua kliennya yang berada di Desa Tewang Menyangen, Kabupaten Katingan.

Tiba-tiba datang anggota pihak kepolisian yang kemudian melakukan penangkapan terhadap kedua kliennya itu, dengan tuduhan telah melakukan pengancaman dan pemerasan kepada pihak pelapor.

Mahfud juga menambahkan bahwa ternyata pihak yang mengundang ini telah melaporkan kedua kliennya ke kepolisian pada 6 Mei 2024, dengan tuduhan kliennya melakukan pemerasan dan pengancaman kepada pihak pelapor.

Seluruh proses penangkapan dan penahanan oleh pihak kepolisian inilah yang menurut Mahfud tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku. Jika benar pihak pelapor memang membuat laporan polisi dengan tuduhan terhadap kliennya, seharusnya sesuai aturan hukum, polisi melakukan pemanggilan atau meminta klarifikasi dari kedua kliennya sebagai pihak yang dilaporkan.

“Tidak pernah ada pemanggilan terhadap klien kami dari pihak kepolisian, padahal tindakan polisi itu berdasarkan adanya laporan per tanggal 6 Mei 2024,” ucap Mahfud.

Sementara itu, Kabidhumas Kombes Pol Erlan Munaji saat ditanya terkait praperadilan tersebut mengatakan, pihaknya akan mengonfirmasi dahulu ke Bidang Pelayanan Hukum (Bidkum) Polda Kalteng.

“Saya tanyakan dahulu ya, nanti kalau sudah ada informasi, saya kabari,” ucap Erlan. (sja/ce/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/