Rabu, September 25, 2024
23.6 C
Palangkaraya

Gereja Imanuel GKE Mandomai, Pusat Penyebaran Kristen di Kalimantan 

Seluruh bangunan memang terbuat dari kayu. Namun konstruksi bangunan menunjukkan keunikan yang berbeda dari bangunan kayu pada umumnya di Kalteng. Terlihat dari bentuk jendela dan bentuk keseluruhan bangunan yang bergaya arsitektur Eropa. Perbedaan yang mencolok dapat terlihat pada bentuk pintu dan jendela gereja yang unik.

Di sebelah kanan gereja, ada makam pendiri sekaligus pendeta pertama gereja, C. C. Hendrich. Hendrich merupakan misionaris asal Jerman dalam organisasi Zending Barmen yang tiba di Mandomai pada tahun 1869. Sejak saat itu ia menyebarkan agama Kristen di Kalimantan. Kala itu usianya 32 tahun. Pada nisan itu tertulis kalimat bahasa Dayak; Idje Batiroh Hong Kasanang, yang dalam bahasa Indonesia berarti Seseorang Telah Beristirahat Dalam Tenang. C. C. Hendrich lahir pada 19 September 1837 dan wafat pada 12 April 1894 pada usia ke-57 tahun karena tuberkulosis.

Baca Juga :  Aktifkan PMR Dalam Aksi Kemanusiaan

Sebelum memasuki bagian dalam Gereja Imanuel, pada pintu masuk bagian tengah atas, tertulis tahun-tahun penting penanda pemugaran besar-besaran pada gereja. Setelah masuk ke bagian dalamnya, ada tiga mozaik Yesus yang berada di bagian belakang panggung gereja, tempat pendeta berkhotbah. Tiga mosaik tersebut masing-masing menggambarkan sejarah kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus. Mosaik-mosaik itu merupakan peninggalan paling berharga bagi gereja ini. Selain itu, ada piano, terompet, mimbar, dan bangku jemaat.

Setelah 146 tahun berdiri, bentuk bangunan gereja masih dipertahankan, sejak ditetapkan menjadi cagar budaya sekitar tahun 1984-1985. Telah berdiri sejak 1876. Semenjak ditetapkan sebagai cagar budaya, bentuk asli gereja ini terus dipertahankan. Sebelum tahun itu, bentuk bangunan gereja ini masih terus diubah. Ditambah maupun diganti sebagian atau hampir keseluruhan. Hingga sampailah pada rehaban yang dilakukan tahun 1976. Sejak ditetapkan jadi cagar budaya, tampilan gereja ini dipertahankan.

Baca Juga :  Overload Pasien, Hotel Batu Suli Jadi Target Rumah Sakit Perluasan

Tokoh masyarakat setempat, Uhing Mihing, mengerti betul sejarah Gereja Imanuel. Usianya sudah 72 tahun. Sedikit bungkuk saat berjalan. Suaranya terdengar serak. Pria yang akrab disapa Pak Uhing itu antusias menceritakan sejarah gereja. Uhing mengaku, datuknya merupakan salah satu yang ikut mendirikan gereja ini. Pengalaman datuknya itu kemudian disampaikan turun-temurun lewat penuturan demi penuturan hingga sampailah kepadanya.

Tak hanya mengandalkan penuturan, Uhing juga membawa buku literatur berjudul Sejarah Gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai 1876-2016 (140 tahun) yang disusun oleh CH Bambang Ikat, Irin E Nanyan, dan A Sabran Bulat.

Seluruh bangunan memang terbuat dari kayu. Namun konstruksi bangunan menunjukkan keunikan yang berbeda dari bangunan kayu pada umumnya di Kalteng. Terlihat dari bentuk jendela dan bentuk keseluruhan bangunan yang bergaya arsitektur Eropa. Perbedaan yang mencolok dapat terlihat pada bentuk pintu dan jendela gereja yang unik.

Di sebelah kanan gereja, ada makam pendiri sekaligus pendeta pertama gereja, C. C. Hendrich. Hendrich merupakan misionaris asal Jerman dalam organisasi Zending Barmen yang tiba di Mandomai pada tahun 1869. Sejak saat itu ia menyebarkan agama Kristen di Kalimantan. Kala itu usianya 32 tahun. Pada nisan itu tertulis kalimat bahasa Dayak; Idje Batiroh Hong Kasanang, yang dalam bahasa Indonesia berarti Seseorang Telah Beristirahat Dalam Tenang. C. C. Hendrich lahir pada 19 September 1837 dan wafat pada 12 April 1894 pada usia ke-57 tahun karena tuberkulosis.

Baca Juga :  Aktifkan PMR Dalam Aksi Kemanusiaan

Sebelum memasuki bagian dalam Gereja Imanuel, pada pintu masuk bagian tengah atas, tertulis tahun-tahun penting penanda pemugaran besar-besaran pada gereja. Setelah masuk ke bagian dalamnya, ada tiga mozaik Yesus yang berada di bagian belakang panggung gereja, tempat pendeta berkhotbah. Tiga mosaik tersebut masing-masing menggambarkan sejarah kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus. Mosaik-mosaik itu merupakan peninggalan paling berharga bagi gereja ini. Selain itu, ada piano, terompet, mimbar, dan bangku jemaat.

Setelah 146 tahun berdiri, bentuk bangunan gereja masih dipertahankan, sejak ditetapkan menjadi cagar budaya sekitar tahun 1984-1985. Telah berdiri sejak 1876. Semenjak ditetapkan sebagai cagar budaya, bentuk asli gereja ini terus dipertahankan. Sebelum tahun itu, bentuk bangunan gereja ini masih terus diubah. Ditambah maupun diganti sebagian atau hampir keseluruhan. Hingga sampailah pada rehaban yang dilakukan tahun 1976. Sejak ditetapkan jadi cagar budaya, tampilan gereja ini dipertahankan.

Baca Juga :  Overload Pasien, Hotel Batu Suli Jadi Target Rumah Sakit Perluasan

Tokoh masyarakat setempat, Uhing Mihing, mengerti betul sejarah Gereja Imanuel. Usianya sudah 72 tahun. Sedikit bungkuk saat berjalan. Suaranya terdengar serak. Pria yang akrab disapa Pak Uhing itu antusias menceritakan sejarah gereja. Uhing mengaku, datuknya merupakan salah satu yang ikut mendirikan gereja ini. Pengalaman datuknya itu kemudian disampaikan turun-temurun lewat penuturan demi penuturan hingga sampailah kepadanya.

Tak hanya mengandalkan penuturan, Uhing juga membawa buku literatur berjudul Sejarah Gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai 1876-2016 (140 tahun) yang disusun oleh CH Bambang Ikat, Irin E Nanyan, dan A Sabran Bulat.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/