Setelah mendengar kabar bahwa Pangeran Antasari mengalami sakit keras di Benteng Bayau Begok, R Aji Sulaiman pun diam-diam berangkat ke benteng itu. Betapa terkejutnya saat tiba, ternyata Pangeran Antasari telah wafat dan telah dimakamkan di Benteng Bayau Begok, dekat Desa Sampirang, Barito Utara (Batara).
ROBY CAHYADI, Muara Teweh
PERJUANGAN masih belum selesai. Setelah pertempuran Tongka, selanjutnya di Kecamatan Gunung Timang, Kabupaten Barito Utara. Pangeran Antasari pergi ke Kampung Sampirang, yang kini masuk wilayah Kecamatan Teweh Timur.
Begitu pula dengan R Aji Sulaiman bersama Ma Koyot. Memisahkan diri dari pasukan dan bergegas menuju Kampung Sampirang. Di Kampung Sampirang itulah R Aji Sulaiman mengislamkan Ma Koyot serta mengubah namanya menjadi Abdullah, lalu membimbing dan mengajarkannya ilmu agama Islam.
Abdullah yang merupakan seorang mualaf sangat tekun belajar agama Islam dan rajin beribadah. Suatu ketika, ia mengutarakan niatnya ingin pergi ke Bakumpai (Marabahan) untuk memperdalam ilmu agama Islam. R Aji Sulaiman setuju dengan rencana itu, seraya mengatakan; “Jika kamu ingin menuntut ilmu ke Bakumpai, saya sangat setuju, saya bersedia menemani kamu ke sana”.
Namun tak lama berselang, mereka mendengar kabar bahwa Pangeran Antasari mengalami sakit keras di Benteng Bayau Begok. Mereka pun secara diam-diam mendatangi benteng. Alangkah terkejutnya mereka saat tiba, ternyata Pangeran Antasari telah wafat dan dimakamkan di Benteng Bayau Begok, dekat Desa Sampirang. Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11 Oktober 1862.
Kemudian Abdullah alias Ma Koyot mendadak jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Jenazahnya dikebumikan di Teluk Mangkumut, Sungai Benangin, anak Sungai Teweh. “Tinggalah R Aji Sulaiman seorang diri menyatu dengan penduduk Kampung Sampirang bertahun-tahun lamanya, ia menetap di sana,” tutur Mardiansyah, keturunan keempat R Aji Sulaiman yang bermukim di Kelurahan Montallat II saat ditemui pekan lalu.
Diceritakannya, perasaan rindu terhadap Kampung Santallar sangat menggoda hati R Aji Sulaiman. Ia pun pulang ke Kampung Santallar. Setiba di Kampung Santallar, betapa terkejutnya melihat ada sebuah rakit berpelampung besi dan kayu.
Di sekeliling rakit itu terdapat karung-karung berisi pasir yang tersusun rapi. Tinggi susunannya sama dengan ketinggian atap bangunan. Rakit tersebut tambat tepat di Muara Sungai Sangkai, anak Sungai Santallar, berseberangan dengan Kampung Santallar.
Orang kampung menyebut rakit itu sebagai benteng pertahanan Belanda yang baru dibangun untuk menutup keluar masuk para pejuang di Sungai Santallar. Belanda juga mengubah nama Sungai Santallar menjadi Sungai Montallat.
Mendengar informasi itu, R Aji Sulaiman tertunduk sambil berkata lirih; “Ya Allah, umur hamba sudah tua, laksana hari sudah senja, selamatkanlah isi kampung ini beserta sanak kerabat hamba dari kejahatan penjajah jahanam,” ucapnya.
Selesai berkata demikian, ia segera pulang ke rumah. Setelah istirahat sejenak, R Aji Sulaiman mulai bercerita kepada anak dan cucunya tentang apa pengalamnnya bersama Ma Koyot atau Abdullah, memisahkan diri dari pasukan yang dipimpinnya di Benteng Ingai Tongka untuk menyusul Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati ke Kampung Bayau Begog, Sampirang Dalam, Sungai Teweh.
Setelah berada di Kampung Santallar, R Aji Sulaiman beraktivitas seperti biasa sebagai imam Masjid Jami Nurul Yaqin serta memberikan tausyiah kepada para jemaah. Keadaan Kampung Montallat tidak aman sejak keberadaan benteng Belanda di Muara Sungai Sangkai.
Hampir tiap hari selalu ada serdadu Belanda yang datang ke Kampung Montallat dan bertanya apakah di Kampung Montallat ada para penjahat ekstrimis. Melihat situasi itu, R Aji Sulaiman dan Rangga Niti meminta penduduk kampung agar berhati-hati saat berbicara dengan serdadu Belanda dan selalu mewaspadai gerak gerik serdadu.
Kepada para kerabat dan pengikut, keduanya berpesan agar merahasiakan jati diri mereka. R Aji Sulaiman beramanat kepada istri serta anak dan cucu, juga kepada kerabat lainnya, jika satu saat ia berpulang ke rahmatullah, jenazahnya jangan dimakamkan di tempat pemakaman umum serta tidak diberi tanda berupa nisan batu ataupun kayu. Cukup ditandai dengan dua botol, satu ditanam di bagian kepala dan satu ditanam di bagian kaki. Amanat yang sama juga disampaikan Rangga Niti kepada keluarga dan kerabatnya.
Sementara, para tokoh pejuang lokal pengikut R Aji Sulaiman yang pernah terlibat dalam perang di Lalutung Tuor, di Benteng Manda Ruyan, serta di Benteng Ingai Gunung Tongka secara diam-diam meninggalkan Kampung Montallat. (bersambung/ce/ala)