Minggu, Mei 19, 2024
24.3 C
Palangkaraya

Menapaktilasi Perjuangan Tokoh Islam di Tanah Barito (19)

Pertahankan Agama dan Tanah Kelahiran dari Jajahan Belanda

Sultan Muhammad Seman tak hanya dikenal sebagai pahlawan yang mempertahankan tanah Kalimantan dari penjajah Belanda, tetapi juga pahlawan agama yang mempertahankan agama Islam di daerah aliran sungai (DAS) Barito pada abad ke-18.

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

KONTUR wilayah Puruk Cahu yang berbukit menjadi salah satu alasan Pangeran Antasari memulai perang gerilya melawan pasukan Belanda. Sepeninggalnya, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan putranya, Sultan Muhammad Seman atau Gusti Matseman.

Di Puruk Cahu inilah Gusti Matseman mengukir sejarah sebagai seorang pejuang. Ia yang lahir, besar, dan berjuang di tanah Barito akhirnya gugur pada tahun 1905 di Puruk Cahu. Semasa perjuangan melawan penjajah, ia tidak sendirian. Ia didampingi para pengikut ayah dan pamannya, yang merupakan kakak kandung ibunya Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan beberapa pejuang lain.

Selama masa peperangan, mereka terus berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya, seperti di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan wilayah sepanjang Sungai Barito, sembari membangun benteng-benteng pertahanan. Misal saja, yang tersisa saat ini benteng yang ada di Montallat, Barito Utara (Batara) dan Baras Kuning di Puruk Cahu.

Benteng Baras Kuning mencatatkan sejarah berakhirnya perang Banjar dengan Belanda. Tahun 1888, Sultan Muhammad Seman mendirikan sebuah masjid di Baras Kuning yang sedianya akan dijadikan tempat gerakan beratib beramal. Di tempat ini pula Gusti Matseman gugur dalam peperangan. Gusti Matseman juga mencatatkan sejarah sebagai sultan terakhir keturunan Kerajaan Banjar. Setelah ia wafat, Belanda pun menyatakan perang Banjar telah berakhir.

Baca Juga :  Menyusuri Danau Galilea, Mengenang Mukjizat Yesus Berjalan di Atas Air

“Gusti Matseman meninggal dunia tahun 1905 di medan perang, sejak itu tidak ada lagi tokoh yang melanjutkan perlawanan, sehingga perang dianggap selesai, Belanda menganggap perang telah berakhir setelah berhasil membunuh Gusti Matseman,” kata Sekretaris Kerukunan Keluarga Bakumpai (KKB) Kalteng Akhmad Supriadi kepada Kalteng Pos, Sabtu (8/4).

Menurutnya perang Banjar merupakan perang terlama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Hal itu pun diakui Belanda. Perang Banjar lebih lama dari perang Aceh yang berlangung lebih dari setengah abad.

“Saat Gusti Matseman gugur di medan perang, maka perang Banjar dianggap selesai. Belanda mengakui bahwa perang Banjar merupakan perang terlama dan perang tergigih di Indonesia,” ucap Supriadi.

Memang tidak mudah bagi pasukan Belanda selama perang Banjar. Belanda banyak mengalami kerugian, karena harus mengirim lebih banyak pasukan. Hal ini tidaklah mudah. Apalagi salah satu kapal mereka ditenggelamkan di Sungai Barito.

“Tujuan kedatangan Belanda saat itu untuk kepentingan politik, ekonomi (perdagangan pangan karena Indonesia kaya akan rempah-rempah), dan penyebaran agama,” ujar dosen Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya ini.

Bahkan kala itu diisukan sebagai perang agama. Saat itu juga ada istilah gerakan baratib beramal, waja sampai kaputing, mati syahid. Konsep-konsep ini dimasukkan dalam perjuangan melawan pasukan penjajah dalam rangka mempertahankan tanah Kalimantan.

Baca Juga :  Koreografi Terinspirasi dari Migrasi Ikan Menjelang Kemarau

“Dengan adanya perlawanan pasukan Pangeran Antasari, lalu diteruskan putranya Gusti Matseman bersama pengikut, berarti juga mempertahankan agama Islam di tanah Kalimantan saat itu,” tegas pria berusia 44 tahun ini.

Berkat perjuangan itu, tak heran jika di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Barito saat ini lebih banyak dihuni masyarakat yang memeluk agama Islam. Itu merupakan buah perjuangan para tokoh dahulu mempertahankan agama sehingga tidak terpengaruh oleh masuknya agama yang disebarkan Belanda.

“Dengan pertahanan Gusti Matseman ini, iman umat Islam di daerah Barito begitu kuat, saat misionaris penjajah akan menyebarkan agama baru, tidak mempan,” imbuhnya.

Dengan bertahannya agama Islam di DAS Barito, menjadi salah satu suksesnya perjuangan Gusti Matseman bersama pengikutnya melawan penjajah. Kuatnya pertahanan agama ini juga dilatarbelakangi adanya perkawinan antarsuku oleh kedua orang tua Gusti Matseman. Pangeran Antasari yang merupakan keturunan Kerajaan Banjar, menikahi Nyai Fatimah yang merupakan perempuan keturunan Dayak.

“Secara tidak langsung juga ada islamisasi melalui jalur perkawinan. Hingga saat ini, islamisasi perkawinan banyak terjadi. Tak sedikit warga Dayak non muslim yang menganut Islam karena perkawinan, selain faktor-faktor lain seperti dakwah, keinginan pribadi, dan hidayah,” jelasnya.

Setelah Sultan Muhammad Seman wafat, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan Ratu Zaleha serta pejuang lainnya bernama Panglima Batur. (*bersambung/ce/ala)

Sultan Muhammad Seman tak hanya dikenal sebagai pahlawan yang mempertahankan tanah Kalimantan dari penjajah Belanda, tetapi juga pahlawan agama yang mempertahankan agama Islam di daerah aliran sungai (DAS) Barito pada abad ke-18.

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

KONTUR wilayah Puruk Cahu yang berbukit menjadi salah satu alasan Pangeran Antasari memulai perang gerilya melawan pasukan Belanda. Sepeninggalnya, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan putranya, Sultan Muhammad Seman atau Gusti Matseman.

Di Puruk Cahu inilah Gusti Matseman mengukir sejarah sebagai seorang pejuang. Ia yang lahir, besar, dan berjuang di tanah Barito akhirnya gugur pada tahun 1905 di Puruk Cahu. Semasa perjuangan melawan penjajah, ia tidak sendirian. Ia didampingi para pengikut ayah dan pamannya, yang merupakan kakak kandung ibunya Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan beberapa pejuang lain.

Selama masa peperangan, mereka terus berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya, seperti di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan wilayah sepanjang Sungai Barito, sembari membangun benteng-benteng pertahanan. Misal saja, yang tersisa saat ini benteng yang ada di Montallat, Barito Utara (Batara) dan Baras Kuning di Puruk Cahu.

Benteng Baras Kuning mencatatkan sejarah berakhirnya perang Banjar dengan Belanda. Tahun 1888, Sultan Muhammad Seman mendirikan sebuah masjid di Baras Kuning yang sedianya akan dijadikan tempat gerakan beratib beramal. Di tempat ini pula Gusti Matseman gugur dalam peperangan. Gusti Matseman juga mencatatkan sejarah sebagai sultan terakhir keturunan Kerajaan Banjar. Setelah ia wafat, Belanda pun menyatakan perang Banjar telah berakhir.

Baca Juga :  Menyusuri Danau Galilea, Mengenang Mukjizat Yesus Berjalan di Atas Air

“Gusti Matseman meninggal dunia tahun 1905 di medan perang, sejak itu tidak ada lagi tokoh yang melanjutkan perlawanan, sehingga perang dianggap selesai, Belanda menganggap perang telah berakhir setelah berhasil membunuh Gusti Matseman,” kata Sekretaris Kerukunan Keluarga Bakumpai (KKB) Kalteng Akhmad Supriadi kepada Kalteng Pos, Sabtu (8/4).

Menurutnya perang Banjar merupakan perang terlama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Hal itu pun diakui Belanda. Perang Banjar lebih lama dari perang Aceh yang berlangung lebih dari setengah abad.

“Saat Gusti Matseman gugur di medan perang, maka perang Banjar dianggap selesai. Belanda mengakui bahwa perang Banjar merupakan perang terlama dan perang tergigih di Indonesia,” ucap Supriadi.

Memang tidak mudah bagi pasukan Belanda selama perang Banjar. Belanda banyak mengalami kerugian, karena harus mengirim lebih banyak pasukan. Hal ini tidaklah mudah. Apalagi salah satu kapal mereka ditenggelamkan di Sungai Barito.

“Tujuan kedatangan Belanda saat itu untuk kepentingan politik, ekonomi (perdagangan pangan karena Indonesia kaya akan rempah-rempah), dan penyebaran agama,” ujar dosen Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya ini.

Bahkan kala itu diisukan sebagai perang agama. Saat itu juga ada istilah gerakan baratib beramal, waja sampai kaputing, mati syahid. Konsep-konsep ini dimasukkan dalam perjuangan melawan pasukan penjajah dalam rangka mempertahankan tanah Kalimantan.

Baca Juga :  Koreografi Terinspirasi dari Migrasi Ikan Menjelang Kemarau

“Dengan adanya perlawanan pasukan Pangeran Antasari, lalu diteruskan putranya Gusti Matseman bersama pengikut, berarti juga mempertahankan agama Islam di tanah Kalimantan saat itu,” tegas pria berusia 44 tahun ini.

Berkat perjuangan itu, tak heran jika di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Barito saat ini lebih banyak dihuni masyarakat yang memeluk agama Islam. Itu merupakan buah perjuangan para tokoh dahulu mempertahankan agama sehingga tidak terpengaruh oleh masuknya agama yang disebarkan Belanda.

“Dengan pertahanan Gusti Matseman ini, iman umat Islam di daerah Barito begitu kuat, saat misionaris penjajah akan menyebarkan agama baru, tidak mempan,” imbuhnya.

Dengan bertahannya agama Islam di DAS Barito, menjadi salah satu suksesnya perjuangan Gusti Matseman bersama pengikutnya melawan penjajah. Kuatnya pertahanan agama ini juga dilatarbelakangi adanya perkawinan antarsuku oleh kedua orang tua Gusti Matseman. Pangeran Antasari yang merupakan keturunan Kerajaan Banjar, menikahi Nyai Fatimah yang merupakan perempuan keturunan Dayak.

“Secara tidak langsung juga ada islamisasi melalui jalur perkawinan. Hingga saat ini, islamisasi perkawinan banyak terjadi. Tak sedikit warga Dayak non muslim yang menganut Islam karena perkawinan, selain faktor-faktor lain seperti dakwah, keinginan pribadi, dan hidayah,” jelasnya.

Setelah Sultan Muhammad Seman wafat, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan Ratu Zaleha serta pejuang lainnya bernama Panglima Batur. (*bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/