PALANGKA RAYA-Ari Yunus Hendrawan selaku praktisi hukum, menilai gugatan pasangan calon Gogo-Helo di Mahkamah Konstitusi (MK) secara formil sudah sesuai dengan Hukum Acara MK.
Namun, ia menyebut bahwa dugaan praktik politik uang (money politic) akan sulit menjadi pertimbangan utama bagi hakim MK. Sebaliknya, pelanggaran administratif terkait perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) justru yang lebih berpotensi dipertimbangkan.
Menurutnya, dalam permohonan tersebut, terdapat pokok perkara pada posita poin ke-19 yang menyoroti tidak hanya dugaan politik uang, tetapi juga adanya lonjakan jumlah pengguna hak pilih.
Lebih lanjut ia menjelaskan, berdasarkan putusan MK, pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara ulang (PSU) adalah mereka yang tercatat hadir pada saat pemungutan suara tanggal 27 November 2024, bukan seluruh pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
”Jumlah pengguna hak pilih yang dihitung seharusnya hanya pemilih yang hadir pada tanggal 27 November 2024,” tegas Ari Yunus, Minggu (27/4/2025).
Ia merinci, pada TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah tercatat ada 430 pemilih, sedangkan pada TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru tercatat ada 382 pemilih yang hadir saat pemungutan suara.
Namun, saat PSU yang digelar pada 22 Maret 2025, seluruh pemilih yang terdaftar dalam DPT diundang untuk menggunakan hak pilih. Akibatnya, terjadi lonjakan jumlah pengguna hak pilih menjadi 506 di TPS 01 Kelurahan Melayu dan 501 pemilih di TPS 04 Desa Malawaken.
Padahal, berdasarkan Putusan MK Nomor 28/PHPU.BUP-XXIII/2024, PSU harus dilakukan dengan mengikutsertakan pemilih yang tercatat hadir pada 27 November 2024.
“Inilah yang cukup beralasan untuk dipersoalkan dalam perkara PHPU Pilkada, selain dugaan politik uang,” tutur Ari.
Meski demikian, menurutnya pokok permohonan tersebut tidak memberikan dampak signifikan terhadap hasil perolehan suara. Ia menilai, jika dugaan pelanggaran tersebut benar, maka hal itu seharusnya menjadi ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), jika memang terbukti PSU tidak dilaksanakan dengan benar.
“Bisa saja pelanggaran (terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) terbukti, tetapi kalau tidak berdampak signifikan, maka pembuktiannya akan berat,” ujarnya.
Ari menambahkan, pemohon perlu bekerja keras untuk membuktikan bahwa setidaknya 115 pemilih dipengaruhi oleh praktik politik uang 114 penerima dan 1 pemberi agar dapat dianggap signifikan dalam pembuktian.
“Minimal ada 115 pemilih yang bisa dibuktikan terpengaruh karena politik uang, supaya permohonan bisa dikabulkan MK,” tegasnya.
Ari memprediksi hasil akhirnya bisa mengarah pada dua kemungkinan: diskualifikasi atau PSU lagi. Namun, jika tidak mampu membuktikan secara signifikan, besar kemungkinan permohonan pemohon akan ditolak MK.
Sementara itu, tim kuasa hukum pasangan Agi-Saja yang diketuai Jubendri Lusfernando, menyatakan telah mempersiapkan jawaban hukum yang beralasan setelah mendengarkan pembacaan permohonan tim kuasa hukum pasangan Gogo-Helo, pada sidang pendahuluan yang digelar Jumat, 25 April 2025.
“Terutama terkait eksepsi mengenai obscuur libel atau permohonan kabur, karena terdapat kesalahan dalam mencantumkan objek sengketa,” terang Jubendri, didampingi pakar hukum konstitusi Indonesia, Prof. Dr. Andi Muhammad Asrun.
Jubendri menjelaskan, dalam perbaikan permohonan tanggal 9 April 2025, pemohon mencantumkan objek perkara sebagai Keputusan KPU Kabupaten Barito Utara Nomor 16 Tahun 2025, yang merupakan perubahan atas Keputusan Nomor 281 Tahun 2024.
“Padahal, seharusnya perubahan itu berdasarkan Keputusan Nomor 821 Tahun 2024,” katanya.
Ia menambahkan, kekeliruan dalam petitum dan objek gugatan itu sangat jelas, sehingga pihaknya meyakini MK akan mempertimbangkan eksepsi tersebut secara objektif.
“Kami yakin kekeliruan yang dilakukan pemohon sudah sangat beralasan hukum untuk dikabulkan eksepsi kami,” pungkasnya. (irj/ce/ala)