Refleksi Ujian Berbasis Komputer di Pesantren Salafiyah
Oleh: H. Rahmat Fauzi
PESANTREN adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Keberadaannya diyakini jauh sebelum kemerdekaan. Edy Sutrisno dalam buku Model Pengembangan Kurikulum Pesantren di Era Digital, menyebut munculnya pondok pesantren pertama di Indonesia sekitar tahun 1062 Masehi di Pamekasan, Madura. Sumber lain menyebutkan tahun 1359 Masehi. (Hermawan, 2023).
Keberadaan lembaga pendidikan pribumi tertua ini tentu menjadi wadah tumbuhnya nilai-nilai Islam yang selaras dengan kehidupan masyarakat. Karena di pesantren, ilmu tak sekadar diajarkan, tetapi diwariskan bersama akhlak, adab, dan budaya (Sadali, 2020).
Sehingga tak heran jika kiprah pesantren dari masa ke masa terus dinantikan dalam membentuk akhlak dan karakter generasi muda.
Namun, kini zaman terus berubah. Teknologi berkembang begitu cepat dan membawa dampak besar dalam cara manusia mengakses ilmu pengetahuan. Di tengah perubahan ini, tentu pesantren tak bisa tinggal diam dengan bergantung pada tradisi lama.
Sistem pendidikan harus beradaptasi, termasuk dalam merespons kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era digital saat ini. Tantangan besar pesantren kini bukan hanya mempertahankan identitas, melainkan juga bagaimana membangun relevansi baru tanpa tercerabut dari akar tradisi.
Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) berbasis komputer atau Computer Based Test (CBT) bagi santri Program Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPs) tahun pelajaran 2024/2025 memperlihatkan bahwa pesantren terus memilih bergerak maju, bukan sekadar bertahan.
Laporan Dirjen Pendis Kementerian Agama RI dilaman kemenag.go.id, mengungkapkan ada sebanyak 68.643 santri terdiri dari 22.067 santri tingkat ulya (MA/SMA sederajat) 42.236 tingkat wustha (MTs/SMP sederajat) dan 4.340 santri tingkat ula (MI/SD sederajat) di seluruh Indonesia yang mengikuti ujian akhir nasional dengan metode digital.
Di Provinsi Kalimantan Tengah ada sekitar 1.248 peserta, termasuk 234 santri dari Kota Palangka Raya (timesindonesia.co.id, 26/2/2025).
Mereka tidak lagi menjawab soal ujian secara tradisional menggunakan kertas dan pensil, melainkan melalui komputer atau perangkat digital. Inilah wajah baru dunia pesantren di era digital.
Masuknya teknologi ke lingkungan pesantren bukan sesuatu yang harus ditakuti. Justru ini menjadi peluang besar untuk memperkuat posisi pesantren dalam menjawab kebutuhan zaman. Jika selama ini para santri terbiasa menghadapi papan tulis kapur, mempelajari kitab kuning, mengikuti halaqah, dan menyerap akhlak dari para kiai, kini mereka juga mulai akrab dengan komputer, internet, dan aplikasi pembelajaran daring. Ini bukan berarti menggantikan tradisi, tetapi menyelaraskan tradisi dengan kemajuan zaman.
Itulah yang diungkapkan Direktur Pesantren Kemenag RI, Basnang Said, bahwa UAN CBT menjadi tonggak penting membangun pesantren yang tidak hanya melahirkan ahli agama, tetapi juga generasi yang melek digital, tanpa kehilangan jati diri sebagai pemelihara nilai-nilai Islam. Pesantren tidak sekadar mengikuti tren, tetapi sedang membangun arah baru pendidikan Islam berbasis teknologi.
Modernisasi Bukan Pilihan, Tapi Keharusan
Regulasi terbaru dari Kementerian Agama, yakni Keputusan Dirjen Pendis Kemenag RI Nomor 6375 Tahun 2024, menetapkan bahwa seluruh PKPPs yang telah memiliki izin resmi wajib menyelenggarakan ujian secara digital.
Syaratnya jelas, yakni peserta terdaftar dalam sistem EMIS dan telah menempuh masa belajar yang sesuai.
Menariknya, banyak pesantren yang merespons aturan ini dengan serius menyediakan perangkat, melatih tenaga pendidik, dan menumbuhkan budaya digital di lingkungan internal mereka. Hal ini menunjukkan bahwa digitalisasi di pesantren bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bagian dari proses kesadaran kolektif.
Transformasi digital yang berlangsung pun tidak serta-merta menanggalkan akar tradisi. Ketika jemari para santri mulai terbiasa menari di keyboard untuk menuangkan ide, gagasan atas jawaban soal ujian di komputer, sesungguhnya mereka bukan sedang melangkah meninggalkan tradisi kitab kuning, melainkan mereka belajar menggunakan alat baru untuk tujuan lama yaitu menggali ilmu dan memperjuangkan kebenaran. Karena itu, boleh dikatakan para santri sejatinya sedang berjuang keras untuk tetap mampu menyeimbangkan dua sayap kehidupan yaitu sayap tradisi dan teknologi. Menghidupkan sayap tradisi dengan terus merawat dan menjaga kekhasan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli Nusantara dan menghidupkan sayap teknologi agar mereka tetap mampu menjaga eksistensi di tengah tuntutan perkembangan zaman.
Karena itulah, Prof. Dr. Ahmad Tafsir melihat adaptasi pesantren dengan perkembangan teknologi sebagai keniscayaan, karena santri yang menguasai ilmu agama dan kompetensi teknologi akan mampu berdialog dengan dunia modern tanpa kehilangan identitas keilmuannya. Begitu pula Dr. Azyumardi Azra yang menggarisbawahi pentingnya pendidikan pesantren berbasis teknologi sebagai jembatan yang menghubungkan tradisi Islam dengan kebutuhan zaman kontemporer. Sehingga pesantren menjadi pusat inovasi, bukan sekadar penjaga masa lalu.
Kini para santri memang tidak hanya memiliki kemampuan untuk melihat rujukan sumber hanya dari tumpukan kitab yang tersedia di pesantrennya, mereka harus mampu mengakses sumber literatur global melalui jaringan digital. Menyebarkan nilai-nilai Islam melalui berbagai platform media sosial ya youtube, facebook, IG dan media-media sosial lainnya, sehingga mereka bisa berperan aktif dalam pembangunan nasional di berbagai bidang. Menjadi agen perubahan di era revolusi industri 4.0.
Tradisi Tak Akan Pernah Mati
Sekali lagi, apa yang dilakukan pesantren hari ini bukan pengkhianatan terhadap tradisi, melainkan kelanjutannya. Karena dalam setiap denyut sejarah pesantren, ada satu prinsip tak pernah berubah yaitu menghidupkan ilmu untuk membangun peradaban.
Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional Berbasis Komputer di PKPPs tahun ajaran 2024/2025 menjadi bukti bahwa pesantren Salafiyah mampu menjaga akar sambil mengembangkan sayap.
Mereka tidak hanya melahirkan generasi yang kuat dalam ilmu agama, tetapi juga adaptif, inovatif, dan siap menghadapi dunia yang terus berubah. Tradisi dan teknologi tidak lagi harus dipertentangkan.
Keduanya bisa beriringan, menopang masa depan pendidikan pesantren yang lebih kokoh, berdaya saing, dan relevan sepanjang zaman. Karena itu selamat kepada para santri yang sedang berjuang menaklukan ratusan soal-soal ujian seraya berjuang menaklukan kemajuan teknologi di era digital. Tetap jaga integritas dan kualitas pelaksanaan ujian.
Karena menjaga adab, menjaga akhlak, menjaga kejujuran jauh lebih penting dari sekadar mengejar kelulusan formal.
Penulis adalah Kepala Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren pada Kantor Kementerian Agama Kota Palangka Raya