Sabtu, Mei 18, 2024
25.4 C
Palangkaraya

Krowakisme Pemecah Kepadatan Ruang

APA yang terlintas di pikiran Anda ketika mengingat gerbong kereta? Benar, bentuk yang memanjang dan terbagi atas beberapa kompartemen. Gambaran itu persis dengan tipologi Rumah Gerbong. Dua puluh satu tahun silam, rumah itu bermula dari lahan 90 meter persegi dengan luas bangunan 36 meter persegi. Itu sesuai dengan kebutuhan pemilik, pasangan suami istri muda.
Seiring waktu, kebutuhan ruangan bertambah. Pemiliknya sekaligus principal architect Studio Sae, (alm) Ario Andito, ingin menambahkan area bekerja dan space yang lebih longgar untuk anaknya yang baru lahir. Maka, dibuatlah penambahan lantai dengan komposisi area depan untuk kantor firma arsitektur dan area belakang serta lantai atas sebagai area privat.
Perubahan signifikan terjadi pada 2007. Pemiliknya membeli bangunan rumah tepat di belakang rumahnya. Saat itu bentuk bangunan telah memanjang menjadi seperti gerbong. Renovasi kembali dilakukan pada 2016 untuk menampung kebutuhan baru pemiliknya.
Akhirnya dibuatlah tiga bagian kompartemen di rumah tersebut. Yakni, kompartemen hidup (rumah tinggal), kompartemen bisnis (kantor dan butik), serta kompartemen sosial di lantai bawah dan atap. Kompartemen bisnis dan hidup tidak saling mengganggu karena memiliki muka masing-masing yang menghadap ke arah berlawanan.
Penyempurnaan sekaligus klimaks pembangunan terjadi pada 2017. Dilakukan penambahan fungsi dalam bentuk ruang kompartemen. Menurut Tomy Arief selaku design director Studio Sae, Rumah Gerbong merespons isu deurbanisasi. ’’Dulu orang-orang pindah dari desa ke kota, sekarang yang di kota malah pengin menyingkir. Ingin kerja di rumah, bahkan sebelum pandemi, karena terlalu lelah kerja di tengah kota,’’ katanya Senin (6/9).
Meski berbentuk memanjang, rumah tersebut tidak didesain padat, tetapi memiliki kompartemen interaksi di tengah sebagai pemisah antara kompartemen hidup dan kerja. Area-area terbuka sebagai ruang interaksi itu mereka sebut sebagai tipologi krowakisme. ’’Asal katanya krowak itu bolong, jadi bukan pejal. Bolong diartikan bangunan itu renggang-renggang dengan memasukkan udara, air, visual, dan sebagainya,’’ urai Tomy.
Implementasinya berupa void, jembatan, serta tanaman-tanaman yang mempercantik rumah yang didominasi warna putih tersebut. ’’Kami ingin memasukkan unsur tropis di dalam ruangan. Kita dianugerahi udara yang hangat, lalu kami bentuk visual-visual baru supaya orang bisa saling terhubung,’’ imbuhnya.
(adn/c12/nor/jpg)

Baca Juga :  Koyem Bakal Jadi Calon Tunggal

APA yang terlintas di pikiran Anda ketika mengingat gerbong kereta? Benar, bentuk yang memanjang dan terbagi atas beberapa kompartemen. Gambaran itu persis dengan tipologi Rumah Gerbong. Dua puluh satu tahun silam, rumah itu bermula dari lahan 90 meter persegi dengan luas bangunan 36 meter persegi. Itu sesuai dengan kebutuhan pemilik, pasangan suami istri muda.
Seiring waktu, kebutuhan ruangan bertambah. Pemiliknya sekaligus principal architect Studio Sae, (alm) Ario Andito, ingin menambahkan area bekerja dan space yang lebih longgar untuk anaknya yang baru lahir. Maka, dibuatlah penambahan lantai dengan komposisi area depan untuk kantor firma arsitektur dan area belakang serta lantai atas sebagai area privat.
Perubahan signifikan terjadi pada 2007. Pemiliknya membeli bangunan rumah tepat di belakang rumahnya. Saat itu bentuk bangunan telah memanjang menjadi seperti gerbong. Renovasi kembali dilakukan pada 2016 untuk menampung kebutuhan baru pemiliknya.
Akhirnya dibuatlah tiga bagian kompartemen di rumah tersebut. Yakni, kompartemen hidup (rumah tinggal), kompartemen bisnis (kantor dan butik), serta kompartemen sosial di lantai bawah dan atap. Kompartemen bisnis dan hidup tidak saling mengganggu karena memiliki muka masing-masing yang menghadap ke arah berlawanan.
Penyempurnaan sekaligus klimaks pembangunan terjadi pada 2017. Dilakukan penambahan fungsi dalam bentuk ruang kompartemen. Menurut Tomy Arief selaku design director Studio Sae, Rumah Gerbong merespons isu deurbanisasi. ’’Dulu orang-orang pindah dari desa ke kota, sekarang yang di kota malah pengin menyingkir. Ingin kerja di rumah, bahkan sebelum pandemi, karena terlalu lelah kerja di tengah kota,’’ katanya Senin (6/9).
Meski berbentuk memanjang, rumah tersebut tidak didesain padat, tetapi memiliki kompartemen interaksi di tengah sebagai pemisah antara kompartemen hidup dan kerja. Area-area terbuka sebagai ruang interaksi itu mereka sebut sebagai tipologi krowakisme. ’’Asal katanya krowak itu bolong, jadi bukan pejal. Bolong diartikan bangunan itu renggang-renggang dengan memasukkan udara, air, visual, dan sebagainya,’’ urai Tomy.
Implementasinya berupa void, jembatan, serta tanaman-tanaman yang mempercantik rumah yang didominasi warna putih tersebut. ’’Kami ingin memasukkan unsur tropis di dalam ruangan. Kita dianugerahi udara yang hangat, lalu kami bentuk visual-visual baru supaya orang bisa saling terhubung,’’ imbuhnya.
(adn/c12/nor/jpg)

Baca Juga :  Koyem Bakal Jadi Calon Tunggal

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/