Selasa, Mei 21, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Dianggap Beri Keterangan Berbelit-belit saat Sidang

Hakim Tegur Saksi Tipikor DAK Disdikpora

PALANGKA RAYA-Sidang tindak pidana korupsi (tipikor) di Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Gunung Mas (Gumas) makin menarik untuk diikuti. Pada sidang beragenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor, Palangka Raya, Kamis (17/11/2022), hakim sempat menegur seorang saksi yang dinilai berbelit-belit dalam memberikan keterangan.

Ketua Majelis Hakim Achmad Peten Sili SH MH menegur saksi bernama Ujis SPd MM yang merupakan Kepala SMPN 3 Tewah, karena berulang kali memberikan keterangaan yang berubah-ubah.

Dalam kesaksian awal, Ujis menjelaskan terkait pencairan dana alokasi khusus (DAK) fisik untuk pembangunan prasarana sekolah yang diterima SMPN 3 Tewa. Ia menyebut bahwa pihak sekolah menerima dana sebesar Rp550 juta. Uang itu dipergunakan untuk pembangunan tiga ruang kelas yang dibutuhkan.

Kemudian, saat pencairan DAK termin kedua, Ujis diminta bantuan oleh Untung selaku kepala tukang yang mengerjakan pembangunan tiga ruang kelas, untuk menyerahkan uang Rp55 juta kepada Imanuel Nopri, salah satu terdakwa dalam kasus ini.

“Pak Untung menitipkan uang Rp55 juta kepada saya untuk diserahkan kepada Pak Nopri,” ucap Ujis.

Diterangkannya, uang Rp55 juta itu adalah 10 persen dari nilai pagu DAK fisik proyek sebesar Rp550 juta yang diterima SMPN 3 Tewah.

Ujis juga mengatakan bahwa Imanuel Nopri memang pernah menyampaikan terkait uang tersebut saat pembentukan tim P2S sebelum kegiatan proyek. Ditambahkannya, pemilihan kepala tukang dilakukan pihak sekolah berdasarkan petunjuk dari Imanuel Nopri.

“Saat pencairan (tahap kedua), kami memang sudah diminta untuk segera memberikan itu (uang, red),” kata Ujis.

“Jadi kepala tukang memang tahu itu,” tanya ketua majelis hakim Achmad Peten Sili.

“Iya, tahu pak,” jawab Ujis.

“Saudara tahu enggak memberi itu benar atau salah, tahu enggak itu,” tanya ketua majelis hakim lagi.

“Tidak tahu,” sahut Ujis.

Jawaban Ujis itu membuat ketua majelis hakim terkejut dan heran. Melihat ekspresi ketua majelis hakim, Ujis pun berusaha menjelaskan maksud jawabannya itu.

“Saya tahu eh, saya tidak punya kemampuan untuk tidak memberi itu, jadi saya harus patuh, itu maksud saya,” kata Ujis dengan sedikit gugup.

“Jadi saudara ditekan harus memberi, oleh siapa?” tanya ketua majelis hakim dengan nada meninggi.

“Oleh Pak Nopri yang mengelola DAK itu,” kata Ujis sambil menunjuk ke terdakwa Nopri Imanuel.

Ujis beralasan bahwa dirinya terpaksa mengikuti kemauan Imanuel Nopri, karena takut jabatan kepala sekolah yang dipegangnya akan dicopot.

Namun keterangan Ujis itu dianggap hakim tidak konsisten setelah dicecar pertanyaan oleh pihak jaksa penuntut dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Gumas dan pihak penasihat hukum para terdakwa.

Misalnya, saat ditanya jaksa terkait penyerahan uang Rp55 juta oleh kepala tukang kepada Imanuel Nopri. Ujis tidak memberi penjelasan pada awal kesaksiannya bahwa kepala tukang juga menyerahkan uang sebesar Rp20 juta kepada pihak sekolah.

“Uang itu dijanjikan kepala tukang memang diberikan untuk kami pihak sekolah, uang itu sudah kami kembalikan,” ujar saksi ketika ditanya jaksa soal uang Rp20 juta itu.

Mendengar itu, hakim langsung menegur saksi, karena dianggap setengah-setengah dalam memberikan keterangan.

“Kenapa saudara tidak bilang dari tadi kalau saudara juga dapat uang dari kepala tukang, dari tadi saudara cerita cuma Pak Nopri saja yang dapat uang,” tegur hakim kepada saksi.

Hakim juga sempat marah ketika saksi mengubah keterangannya terkait penunjukan kepala tukang, yang di awal kesaksiannya dikatakan berdasarkan petunjuk pihak disdikpora.

Ujis sendiri kemudian mengaku memilih Untung sebagai kepala tukang untuk mengerjakan proyek itu setelah Untung meminta agar pekerjaan tersebut ditanganinya. Ujis juga mengaku pernah menolak nama yang disodorkan pihak disdikpora untuk menjadi kepala tukang proyek tersebut, dengan alasan tidak mengenal yang bersangkutan. Saat konsultasi, justru ia menyodorkan nama Untung sebagai kepala tukang.

Baca Juga :  Pelaku Penipuan Modus Top Up Ditangkap, Kapolresta: Ini Modus Baru

“Kalau begitu saudara yang menyodorkan nama itu, bukan dinas, ada orang minta langsung saudara setujui, kalau begitu itu permintaan saudara namanya, bukan dinas yang memaksa,” kata hakim dengan nada marah setelah mendengar penjelasan saksi.

“Saudara kasih penjelasan berubah-ubah seperti ini, kami bisa mengancam saudara untuk ditahan dahulu, kalau keterangan saudara seperti ini terus,” tambah hakim.

Saksi Ujis pun tertunduk dan sedikit gugup mendengar ancaman majelis hakim.

Selain Ujis, ada dua orang lain yang dihadirkan jaksa penuntut sebagai saksi dalam persidangan itu. Mereka adalah Herdie alias Digang dan Brata SPd MM yang merupakan Kepala SMPN 6 Kurun.

Herdie dalam kesaksiannya mengaku pernah disuruh terdakwa Imanuel Nopri untuk mengambil uang di SMPN 4 Kuala Kurun.

“Waktu kami pulang dari Palangka Raya, singgah di SMPN 4, saya disuruh turun untuk ambil titipan di SMPN 4,” kata Herdie.

Herdie yang mengaku berprofesi sebagai pedagang juga mengatakan pernah mendapat titipan uang yang diserahkan oleh pihak SMPN 6 Kuala Kurun untuk diserahkan kepada Imanuel Nopri.

“Waktu itu saya datang ke SMPN 6 Kuala Kurun, ketemu kepala sekolah, terus dikasih titipan,” sebutnya.

Kemudian uang tersebut diserahkan kepada Imanuel Nopri.

Ketika ditanya majelis hakim berapa jumlah uang titipan tersebut, Herdie mengaku tidak tahu. Selain itu, Herdie juga mengaku meminjamkan rekening bank atas namanya untuk digunakan terdakwa Imanuel Nopri.

“Saya pernah kasih buku rekening dan kartu ATM,” ujar Herdie sembari menambahkan bahwa Imanuel Nopri pernah berkata memerlukan rekening bank milik Herdie karena digunakan untuk keperluan pekerjaan pribadi.

Dalam kesaksiannya, Herdie juga mengaku pernah mendapat pekerjaan sebagai koordinator tukang atas bantuan Imanuel Nopri.

“Untuk ucapan terima kasih, saya ada ngasih uang ke Pak Nopri sekitar Rp2 juta,” ucap Herdie.

Ketika ditanya majelis hakim soal uang apa yang dititipkan para kepala sekolah kepadanya untuk diserahkan kepada terdakwa Imanuel Nopri, Herdie mengaku tidak tahu.

“Saya tidak tahu juga itu uang apa sebenarnya,” ujarnya.

Sementara, terdakwa Imanuel Nopri saat dimintai tanggapan atas kesaksian Herdie, justru menyangkal kesaksian tersebut. “Itu semua tidak benar, yang mulia,” ucapnya.

Saksi terakhir dalam sidang kali ini adalah Brata SPd yang menjabat Kepala SMPN 6 Kuala Kurun. Brata mengakui jika Imanuel Nopri pernah meminta sejumlah uang kepadanya. Permintaan uang tersebut dilakukan saat pencairan dana DAK tahap kedua.

“Yang bersangkutan (Imanuel Nopri) menelepon saya, meminta untuk kegiatan itu,” kata Brata ketika dicecar partanyaan oleh ketua majelis hakim.

“Minta kepada saudara, terus apa yang saudara jawab,” tanya majelis hakim.

“Saya diam dan ehhh…dan bingung,” jawabnya setelah lama berpikir.

Mendengar jawaban saksi, ketua majelis hakim tampak geram.

“Oh begitu para kepala sekolah sekarang ya, kepala sekolah yang saksi tadi juga lama baru menjawab, eh saudara juga lama baru menjawab,” sinis hakim.

“Padahal saudara ini cuma menceritakan kembali apa yang sudah terjadi, menceritakan kenyataan yang sudah terjadi, saudara ini disuruh cerita saja lama, apalagi disuruh mikir,” ucap hakim dengan nada meninggi.

Saksi Brata kemudian meminta maaf kepada majelis hakim. Lalu ia menambahkan kesaksiannya bahwa dalam pembicaraan via telepon, terdakwa Imanuel Nopri mengatakan akan datang ke sekolahnya untuk mengambil dana tersebut.

Beberapa saat setelah menerima telepon itu, lanjut Brata, datanglah dua orang tak dikenal yang mengaku suruhan Imanuel Nopri untuk mengambil uang. Namun Brata justru tidak menyebut jika terdakwa Imanuel Nopri adalah salah satu dari dua orang yang datang ke sekolahnya itu.

Baca Juga :  Tak Lelah Mencari Keadilan, Sri Yeni Ajukan Peninjauan Kembali

Emosi majelis hakim pun tersulut mendengar kesaksian Kepala SMPN 6 Kuala Kurun itu yang dianggap tidak jujur.

“Saudara ini kepala sekolah atau apa, saudara ini mau mincing-mancing ya,” kata ketua majelis hakim.

Akhirnya Brata pun kembali mengulang ceritanya. Ia pun mengaku jika terdakwa Imanuel nopri adalah salah satu yang dari dua orang yang datang ke sekolah saat itu.

“Saudara Nopri dan temannya itu datang ke ruang kepala sekolah, terjadi pembicaraan terkait progres pembangunan sekolah dan sebagainya,” ujar saksi mengulangi ceritanya. Dia mengatakan, saat pembicaraan berlangsung, bendahara P2S yang ada di sekolahnya masuk sambil membawa uang yang diminta Imanuel Nopri.

“Bendahara saya bilang ke saya gimana pak, uang yang ada sama kita cuma sekian pak,” kata Brata yang langsung dipotong pertanyaan oleh Ketua majelis hakim.

“Sekian itu, maksud saudara berapa,” tanya hakim.

“Sekitar Rp35 juta,” jawab saksi.

“Ngomong begitu saja pakai bilang sekian pak, saudara ini memberi keterangan atau mesti saya yang bertanya dahulu,” kata ketua majelis hakim dengan keheranan.

Ketua majelis kemudian mendesak saksi agar memberikan keterangan sejelas-jelasnya. Lalu saksi Brata melanjutkan kesaksian. Dikatakannya, setelah menerima uang Rp35 juta, Imanuel Nopri dan temannya langsung pamit.

Ketika jaksa menunjuk ke arah teman Imanuel Nopri yang dimaksudnya itu, saksi membenarkan kalau orang tersebut adalah Herdie, saksi sebelumnya.

Saksi Brata juga membenarkan bahwa sebelumnya terdakwa Imanuel Nopri pernah menyampaikan kepadanya soal permintaan uang dari pihak dinas pendidikan.

“Waktu mau penandatanganan kontrak, pak Nopri ada bilang juga,” ujarnya lagi.

Sama seperti saksi Ujis, Brata juga mengaku merasa ada konsekuensi yang harus ditanggung apabila menolak permintaan Imanuel Nopri.

“Kami ini kan guru pak, guru itu di bawah dinas pendidikan, jadi guru itu takutnya pada dinas pendidikan,” tuturnya.

Sebenarnya dalam siding kali ini ada 7 orang saksi yang dihadirkan untuk memberi kesaksian. Namun majelis hakim menunda kesaksian dari 4 orang saksi, mempertimbangkan keterbatasan waktu sidang. Rencananya kesaksian 4 orang itu akan didengarkan pada sidang berikutnya. Sidang kasus korupsi penggunaan DAK fisik untuk pembangunan prasarana SMPN di Kabupaten Gumas ini akan dilanjutkan dua pekan mendatang.

Untuk diketahui, dalam nota dakwaan jaksa penuntut, terdakwa Esra, Wandra, dan Imanuel Nopri didakwa bersama-sama telah melakukan korupsi atas DAK fisik dari Kementerian Keuangan untuk pembangunan prasarana fisik SMPN di Kabupaten Gumas tahun anggaran 2020. Tahun itu sebanyak 28 SMPN memperoleh DAK fisik yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) senilai Rp16,448 miliar.

Semestinya para terdakwa tahu bahwa pemanfaatan DAK fisik itu untuk pembangunan SMPN dan dilakukan secara swakelola oleh pihak sekolah. Namun terdakwa Esra justru mengatakan bahwa pemanfaatan dana dapat dilakukan dengan menunjuk para kepala tukang sebagai pihak ketiga yang melaksanakan pembangunan.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa ketiga terdakwa ikut menikmati uang yang disebut sebagai komitmen fee yang diberikan oleh pihak kepala SMPN penerima dana. Jumlah uang yang diterima para terdakwa mencapai Rp1,2 miliar.

Ketiga terdakwa diancam dengan dakwaan primair yakni secara bersama-sama melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (sja/ce/ala)

 

PALANGKA RAYA-Sidang tindak pidana korupsi (tipikor) di Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Gunung Mas (Gumas) makin menarik untuk diikuti. Pada sidang beragenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor, Palangka Raya, Kamis (17/11/2022), hakim sempat menegur seorang saksi yang dinilai berbelit-belit dalam memberikan keterangan.

Ketua Majelis Hakim Achmad Peten Sili SH MH menegur saksi bernama Ujis SPd MM yang merupakan Kepala SMPN 3 Tewah, karena berulang kali memberikan keterangaan yang berubah-ubah.

Dalam kesaksian awal, Ujis menjelaskan terkait pencairan dana alokasi khusus (DAK) fisik untuk pembangunan prasarana sekolah yang diterima SMPN 3 Tewa. Ia menyebut bahwa pihak sekolah menerima dana sebesar Rp550 juta. Uang itu dipergunakan untuk pembangunan tiga ruang kelas yang dibutuhkan.

Kemudian, saat pencairan DAK termin kedua, Ujis diminta bantuan oleh Untung selaku kepala tukang yang mengerjakan pembangunan tiga ruang kelas, untuk menyerahkan uang Rp55 juta kepada Imanuel Nopri, salah satu terdakwa dalam kasus ini.

“Pak Untung menitipkan uang Rp55 juta kepada saya untuk diserahkan kepada Pak Nopri,” ucap Ujis.

Diterangkannya, uang Rp55 juta itu adalah 10 persen dari nilai pagu DAK fisik proyek sebesar Rp550 juta yang diterima SMPN 3 Tewah.

Ujis juga mengatakan bahwa Imanuel Nopri memang pernah menyampaikan terkait uang tersebut saat pembentukan tim P2S sebelum kegiatan proyek. Ditambahkannya, pemilihan kepala tukang dilakukan pihak sekolah berdasarkan petunjuk dari Imanuel Nopri.

“Saat pencairan (tahap kedua), kami memang sudah diminta untuk segera memberikan itu (uang, red),” kata Ujis.

“Jadi kepala tukang memang tahu itu,” tanya ketua majelis hakim Achmad Peten Sili.

“Iya, tahu pak,” jawab Ujis.

“Saudara tahu enggak memberi itu benar atau salah, tahu enggak itu,” tanya ketua majelis hakim lagi.

“Tidak tahu,” sahut Ujis.

Jawaban Ujis itu membuat ketua majelis hakim terkejut dan heran. Melihat ekspresi ketua majelis hakim, Ujis pun berusaha menjelaskan maksud jawabannya itu.

“Saya tahu eh, saya tidak punya kemampuan untuk tidak memberi itu, jadi saya harus patuh, itu maksud saya,” kata Ujis dengan sedikit gugup.

“Jadi saudara ditekan harus memberi, oleh siapa?” tanya ketua majelis hakim dengan nada meninggi.

“Oleh Pak Nopri yang mengelola DAK itu,” kata Ujis sambil menunjuk ke terdakwa Nopri Imanuel.

Ujis beralasan bahwa dirinya terpaksa mengikuti kemauan Imanuel Nopri, karena takut jabatan kepala sekolah yang dipegangnya akan dicopot.

Namun keterangan Ujis itu dianggap hakim tidak konsisten setelah dicecar pertanyaan oleh pihak jaksa penuntut dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Gumas dan pihak penasihat hukum para terdakwa.

Misalnya, saat ditanya jaksa terkait penyerahan uang Rp55 juta oleh kepala tukang kepada Imanuel Nopri. Ujis tidak memberi penjelasan pada awal kesaksiannya bahwa kepala tukang juga menyerahkan uang sebesar Rp20 juta kepada pihak sekolah.

“Uang itu dijanjikan kepala tukang memang diberikan untuk kami pihak sekolah, uang itu sudah kami kembalikan,” ujar saksi ketika ditanya jaksa soal uang Rp20 juta itu.

Mendengar itu, hakim langsung menegur saksi, karena dianggap setengah-setengah dalam memberikan keterangan.

“Kenapa saudara tidak bilang dari tadi kalau saudara juga dapat uang dari kepala tukang, dari tadi saudara cerita cuma Pak Nopri saja yang dapat uang,” tegur hakim kepada saksi.

Hakim juga sempat marah ketika saksi mengubah keterangannya terkait penunjukan kepala tukang, yang di awal kesaksiannya dikatakan berdasarkan petunjuk pihak disdikpora.

Ujis sendiri kemudian mengaku memilih Untung sebagai kepala tukang untuk mengerjakan proyek itu setelah Untung meminta agar pekerjaan tersebut ditanganinya. Ujis juga mengaku pernah menolak nama yang disodorkan pihak disdikpora untuk menjadi kepala tukang proyek tersebut, dengan alasan tidak mengenal yang bersangkutan. Saat konsultasi, justru ia menyodorkan nama Untung sebagai kepala tukang.

Baca Juga :  Pelaku Penipuan Modus Top Up Ditangkap, Kapolresta: Ini Modus Baru

“Kalau begitu saudara yang menyodorkan nama itu, bukan dinas, ada orang minta langsung saudara setujui, kalau begitu itu permintaan saudara namanya, bukan dinas yang memaksa,” kata hakim dengan nada marah setelah mendengar penjelasan saksi.

“Saudara kasih penjelasan berubah-ubah seperti ini, kami bisa mengancam saudara untuk ditahan dahulu, kalau keterangan saudara seperti ini terus,” tambah hakim.

Saksi Ujis pun tertunduk dan sedikit gugup mendengar ancaman majelis hakim.

Selain Ujis, ada dua orang lain yang dihadirkan jaksa penuntut sebagai saksi dalam persidangan itu. Mereka adalah Herdie alias Digang dan Brata SPd MM yang merupakan Kepala SMPN 6 Kurun.

Herdie dalam kesaksiannya mengaku pernah disuruh terdakwa Imanuel Nopri untuk mengambil uang di SMPN 4 Kuala Kurun.

“Waktu kami pulang dari Palangka Raya, singgah di SMPN 4, saya disuruh turun untuk ambil titipan di SMPN 4,” kata Herdie.

Herdie yang mengaku berprofesi sebagai pedagang juga mengatakan pernah mendapat titipan uang yang diserahkan oleh pihak SMPN 6 Kuala Kurun untuk diserahkan kepada Imanuel Nopri.

“Waktu itu saya datang ke SMPN 6 Kuala Kurun, ketemu kepala sekolah, terus dikasih titipan,” sebutnya.

Kemudian uang tersebut diserahkan kepada Imanuel Nopri.

Ketika ditanya majelis hakim berapa jumlah uang titipan tersebut, Herdie mengaku tidak tahu. Selain itu, Herdie juga mengaku meminjamkan rekening bank atas namanya untuk digunakan terdakwa Imanuel Nopri.

“Saya pernah kasih buku rekening dan kartu ATM,” ujar Herdie sembari menambahkan bahwa Imanuel Nopri pernah berkata memerlukan rekening bank milik Herdie karena digunakan untuk keperluan pekerjaan pribadi.

Dalam kesaksiannya, Herdie juga mengaku pernah mendapat pekerjaan sebagai koordinator tukang atas bantuan Imanuel Nopri.

“Untuk ucapan terima kasih, saya ada ngasih uang ke Pak Nopri sekitar Rp2 juta,” ucap Herdie.

Ketika ditanya majelis hakim soal uang apa yang dititipkan para kepala sekolah kepadanya untuk diserahkan kepada terdakwa Imanuel Nopri, Herdie mengaku tidak tahu.

“Saya tidak tahu juga itu uang apa sebenarnya,” ujarnya.

Sementara, terdakwa Imanuel Nopri saat dimintai tanggapan atas kesaksian Herdie, justru menyangkal kesaksian tersebut. “Itu semua tidak benar, yang mulia,” ucapnya.

Saksi terakhir dalam sidang kali ini adalah Brata SPd yang menjabat Kepala SMPN 6 Kuala Kurun. Brata mengakui jika Imanuel Nopri pernah meminta sejumlah uang kepadanya. Permintaan uang tersebut dilakukan saat pencairan dana DAK tahap kedua.

“Yang bersangkutan (Imanuel Nopri) menelepon saya, meminta untuk kegiatan itu,” kata Brata ketika dicecar partanyaan oleh ketua majelis hakim.

“Minta kepada saudara, terus apa yang saudara jawab,” tanya majelis hakim.

“Saya diam dan ehhh…dan bingung,” jawabnya setelah lama berpikir.

Mendengar jawaban saksi, ketua majelis hakim tampak geram.

“Oh begitu para kepala sekolah sekarang ya, kepala sekolah yang saksi tadi juga lama baru menjawab, eh saudara juga lama baru menjawab,” sinis hakim.

“Padahal saudara ini cuma menceritakan kembali apa yang sudah terjadi, menceritakan kenyataan yang sudah terjadi, saudara ini disuruh cerita saja lama, apalagi disuruh mikir,” ucap hakim dengan nada meninggi.

Saksi Brata kemudian meminta maaf kepada majelis hakim. Lalu ia menambahkan kesaksiannya bahwa dalam pembicaraan via telepon, terdakwa Imanuel Nopri mengatakan akan datang ke sekolahnya untuk mengambil dana tersebut.

Beberapa saat setelah menerima telepon itu, lanjut Brata, datanglah dua orang tak dikenal yang mengaku suruhan Imanuel Nopri untuk mengambil uang. Namun Brata justru tidak menyebut jika terdakwa Imanuel Nopri adalah salah satu dari dua orang yang datang ke sekolahnya itu.

Baca Juga :  Tak Lelah Mencari Keadilan, Sri Yeni Ajukan Peninjauan Kembali

Emosi majelis hakim pun tersulut mendengar kesaksian Kepala SMPN 6 Kuala Kurun itu yang dianggap tidak jujur.

“Saudara ini kepala sekolah atau apa, saudara ini mau mincing-mancing ya,” kata ketua majelis hakim.

Akhirnya Brata pun kembali mengulang ceritanya. Ia pun mengaku jika terdakwa Imanuel nopri adalah salah satu yang dari dua orang yang datang ke sekolah saat itu.

“Saudara Nopri dan temannya itu datang ke ruang kepala sekolah, terjadi pembicaraan terkait progres pembangunan sekolah dan sebagainya,” ujar saksi mengulangi ceritanya. Dia mengatakan, saat pembicaraan berlangsung, bendahara P2S yang ada di sekolahnya masuk sambil membawa uang yang diminta Imanuel Nopri.

“Bendahara saya bilang ke saya gimana pak, uang yang ada sama kita cuma sekian pak,” kata Brata yang langsung dipotong pertanyaan oleh Ketua majelis hakim.

“Sekian itu, maksud saudara berapa,” tanya hakim.

“Sekitar Rp35 juta,” jawab saksi.

“Ngomong begitu saja pakai bilang sekian pak, saudara ini memberi keterangan atau mesti saya yang bertanya dahulu,” kata ketua majelis hakim dengan keheranan.

Ketua majelis kemudian mendesak saksi agar memberikan keterangan sejelas-jelasnya. Lalu saksi Brata melanjutkan kesaksian. Dikatakannya, setelah menerima uang Rp35 juta, Imanuel Nopri dan temannya langsung pamit.

Ketika jaksa menunjuk ke arah teman Imanuel Nopri yang dimaksudnya itu, saksi membenarkan kalau orang tersebut adalah Herdie, saksi sebelumnya.

Saksi Brata juga membenarkan bahwa sebelumnya terdakwa Imanuel Nopri pernah menyampaikan kepadanya soal permintaan uang dari pihak dinas pendidikan.

“Waktu mau penandatanganan kontrak, pak Nopri ada bilang juga,” ujarnya lagi.

Sama seperti saksi Ujis, Brata juga mengaku merasa ada konsekuensi yang harus ditanggung apabila menolak permintaan Imanuel Nopri.

“Kami ini kan guru pak, guru itu di bawah dinas pendidikan, jadi guru itu takutnya pada dinas pendidikan,” tuturnya.

Sebenarnya dalam siding kali ini ada 7 orang saksi yang dihadirkan untuk memberi kesaksian. Namun majelis hakim menunda kesaksian dari 4 orang saksi, mempertimbangkan keterbatasan waktu sidang. Rencananya kesaksian 4 orang itu akan didengarkan pada sidang berikutnya. Sidang kasus korupsi penggunaan DAK fisik untuk pembangunan prasarana SMPN di Kabupaten Gumas ini akan dilanjutkan dua pekan mendatang.

Untuk diketahui, dalam nota dakwaan jaksa penuntut, terdakwa Esra, Wandra, dan Imanuel Nopri didakwa bersama-sama telah melakukan korupsi atas DAK fisik dari Kementerian Keuangan untuk pembangunan prasarana fisik SMPN di Kabupaten Gumas tahun anggaran 2020. Tahun itu sebanyak 28 SMPN memperoleh DAK fisik yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) senilai Rp16,448 miliar.

Semestinya para terdakwa tahu bahwa pemanfaatan DAK fisik itu untuk pembangunan SMPN dan dilakukan secara swakelola oleh pihak sekolah. Namun terdakwa Esra justru mengatakan bahwa pemanfaatan dana dapat dilakukan dengan menunjuk para kepala tukang sebagai pihak ketiga yang melaksanakan pembangunan.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa ketiga terdakwa ikut menikmati uang yang disebut sebagai komitmen fee yang diberikan oleh pihak kepala SMPN penerima dana. Jumlah uang yang diterima para terdakwa mencapai Rp1,2 miliar.

Ketiga terdakwa diancam dengan dakwaan primair yakni secara bersama-sama melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (sja/ce/ala)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/