Minggu, Mei 19, 2024
29.9 C
Palangkaraya

Konsep Penegakan Hukum Humanis adalah Penegakan Hukum Modern dan Masa Depan

JAKSA Agung ST Burhanuddin dan Tim Media Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung melakukan diskusi interaktif dengan suasana diskusi yang ringan, sangat santai serta menyejukkan. Dalam diskusi yang dilakukan tersebut mengangkat topik mengenai penegakan hukum humanis dengan tagline “Tajam ke Atas, Humanis ke Bawah”. Sebab sejatinya, bila berbicara mengenai penegakan hukum humanis, maka berbicara tentang kemanusiaan.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan bahwasannya kemanusiaan sudah diatur sejak zaman Hindia Belanda yakni dimana sejak bayi dalam kandungan sudah mengenal hak untuk hidup dan waris, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie diatur dalam Staatblad 1847 No. 23.

Jaksa Agung ST Burhanuddin juga menambahkan bahwa dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana pada Pasal 53, diatur juga mengenai hak hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup, terlebih lagi diperkuat dalam konstitusi negara kita yakni dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 28A.

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, ujar Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Hal ini menunjukkan bagaimana hak-hak kemanusiaan sebagai hak dasar manusia sangat dijamin dan dilindungi oleh negara. Maka dari itu, sebelum berbicara hukum terlalu jauh, harus memahami dahulu konteks kemanusiaannya. Dalam konteks kemasyarakatan dan kemanusiaan, ada adagium yang sangat populer dalam penegakan hukum yaitu ‘Salus Populi Suprema Lex Esto’ yakni keselamatan manusia adalah hukum tertinggi. Pandangan-pandangan diataslah melahirkan bagaimana hukum tidak bisa dipisahkan dengan kemanusiaan yang sering kita sebut sebagai penegakan hukum humanis.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menambahkan bahwa didalam falsafah hukum dijelasakan hukum ada untuk manusia, bukan untuk diputarbalikkan atau manusia untuk hukum. Hal ini berarti penegakan hukum dapat menjamin nilai-nilai yang sudah digali oleh pendiri bangsa yaitu Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kedaulatan Rakyat, dan Nilai Keadilan Sosial. Lalu seiring berkembangnya waktu, adanya penambahan nilai yakni Nilai Kepastian Hukum dan Nilai Kemanfaatan. Sistem nilai yang berubah dan berkembang ini membuat hukum tak boleh kaku dan hanya mengejar satu nilai saja seperti Nilai Kepastian Hukum atau Nilai Keadilan. Hukum harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yaitu nilai kemanusiaan yang disebut dengan humanistik.

Baca Juga :  Peran JAMPIDMIL dalam Acara Koneksitas Sistem Peradilan Pidana

Jaksa Agung juga menyampaikan dimana adanya mazhab hukum yang selama ini dipelajari dalam dunia perkuliahan seperti hukum progresif (digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo).

“Karena hukum hidup dan beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat dan di masa mendatang. Hukum modern saat ini juga tidak terlepas dari nilai kemanusiaan yang ada.

Oleh karenanya, penegakan hukum yang humanis adalah penegakan hukum yang mampu menggali rasa keadilan dalam masyarakat (living law). Meski demikian, hukum positif tidak dapat ditinggalkan dan justru tetap sebagai penguatan menjamin kepastian serta menjadi bukti hadirnya negara di tengah masyarakat karena memiliki perangkat, sarana, prosedur (tata laksana), dan bersifat mengikat bahkan memiliki sanksi.”, jelas Jaksa Agung.

Jaksa Agung juga selalu berpesan bahwa kehadiran Jaksa tidak sekedar hanya sebagai pelaksana/cerobong undang-undang saja, namun Jaksa harus berani mengambil sikap sebagai dinamisator dan katalisator.

“Penegakan hukum humanis harus beradaptasi dengan kebutuhan hukum saat ini, tidak pandang bulu, serta dapat diterima oleh masyarakat. Maka untuk mendukung itu semua, perlu adanya program penegakan hukum yang berpihak pada masyarakat.”, ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung mengatakan bahwa program penegakan humanis yang sudah ada saat ini seperti penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif, pendirian Rumah Restorative Justice dan Balai Rehabilitasi, Program Jaga Desa (Jaksa Garda Desa), serta Jaksa Menjawab, harus diefektifkan dan dikembangkan dalam pelaksanaannya di tengah masyarakat. Jaksa Agung juga menekankan bahwa seorang Jaksa harus turut hadir dan memberi manfaat, serta juga menjadi solusi di setiap permasalahan hukum yang ada ditengah tengah masyarakat.

Baca Juga :  Kejaksaan Mengawal Pembangunan untuk Indonesia Maju

Dengan adanya program penegakan hukum yang humanis tersebut menunjukkan bahwa program-program dibuat dengan kajian untuk kepentingan masyarakat yang nantinya bermanfaat dalam menciptakan keharmonisan dan kedamaian.

“Apabila kesadaran hukum masyarakat telah terbentuk, maka secara otomatis akan meringankan pekerjaan penegakan hukum di masa mendatang. Bahkan di beberapa negara maju dan aman, lembaga pemasyarakatannya dalam keadaan kosong yang menandakan bahwa penegakan hukum di negara tersebut berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila dilihat lembaga pemasyarakatan dalam keadaan penuh, ini menunjukkan tingginya kasus tindak pidana dan kriminalitas yang ditangani. Selain itu, keadaan lembaga pemasyarakatan yang penuh menandakan bahwa penegakan hukum belum menimbulkan efek jera dan memanusiakan manusia, serta negara belum mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warganya.”, tambah Jaksa Agung.

Jaksa Agung ST Burhanuddin juga berharap bahwa sebagai penggagas penghentian penuntutan dengan keadilan restoratif yang sudah mendapatkan legitimasi di forum Internasional berupa efektivitas dan implementasi restorative justice sebagai role model penghentian perkara di luar pengadilan, agar kedepannya peraturan mengenai keadilan restoratif didorong menjadi undang-undang. Sebab hal ini sangat penting dalam rangka penegakan hukum humanis dan kita menjadi salah satu barometernya di dunia, sehingga kita mendapatkan legitimasi secara formil dalam pelaksanaannya.
Pada akhir diskusi ringan antara Jaksa Agung dengan Tim Media Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung berpesan kepada semua jajarannya.

“Tidak semua yang melakukan tindak pidana itu serakah dan jahat, namun bisa diakibatkan oleh faktor lingkungan dan hubungan sosial. Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk menciptakan lingkungan yang baik, sehat, dan bermartabat bagi kemanusiaan,” pesan Jaksa Agung. (hms/ala)

JAKSA Agung ST Burhanuddin dan Tim Media Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung melakukan diskusi interaktif dengan suasana diskusi yang ringan, sangat santai serta menyejukkan. Dalam diskusi yang dilakukan tersebut mengangkat topik mengenai penegakan hukum humanis dengan tagline “Tajam ke Atas, Humanis ke Bawah”. Sebab sejatinya, bila berbicara mengenai penegakan hukum humanis, maka berbicara tentang kemanusiaan.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan bahwasannya kemanusiaan sudah diatur sejak zaman Hindia Belanda yakni dimana sejak bayi dalam kandungan sudah mengenal hak untuk hidup dan waris, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie diatur dalam Staatblad 1847 No. 23.

Jaksa Agung ST Burhanuddin juga menambahkan bahwa dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana pada Pasal 53, diatur juga mengenai hak hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup, terlebih lagi diperkuat dalam konstitusi negara kita yakni dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 28A.

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, ujar Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Hal ini menunjukkan bagaimana hak-hak kemanusiaan sebagai hak dasar manusia sangat dijamin dan dilindungi oleh negara. Maka dari itu, sebelum berbicara hukum terlalu jauh, harus memahami dahulu konteks kemanusiaannya. Dalam konteks kemasyarakatan dan kemanusiaan, ada adagium yang sangat populer dalam penegakan hukum yaitu ‘Salus Populi Suprema Lex Esto’ yakni keselamatan manusia adalah hukum tertinggi. Pandangan-pandangan diataslah melahirkan bagaimana hukum tidak bisa dipisahkan dengan kemanusiaan yang sering kita sebut sebagai penegakan hukum humanis.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menambahkan bahwa didalam falsafah hukum dijelasakan hukum ada untuk manusia, bukan untuk diputarbalikkan atau manusia untuk hukum. Hal ini berarti penegakan hukum dapat menjamin nilai-nilai yang sudah digali oleh pendiri bangsa yaitu Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kedaulatan Rakyat, dan Nilai Keadilan Sosial. Lalu seiring berkembangnya waktu, adanya penambahan nilai yakni Nilai Kepastian Hukum dan Nilai Kemanfaatan. Sistem nilai yang berubah dan berkembang ini membuat hukum tak boleh kaku dan hanya mengejar satu nilai saja seperti Nilai Kepastian Hukum atau Nilai Keadilan. Hukum harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yaitu nilai kemanusiaan yang disebut dengan humanistik.

Baca Juga :  Peran JAMPIDMIL dalam Acara Koneksitas Sistem Peradilan Pidana

Jaksa Agung juga menyampaikan dimana adanya mazhab hukum yang selama ini dipelajari dalam dunia perkuliahan seperti hukum progresif (digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo).

“Karena hukum hidup dan beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat dan di masa mendatang. Hukum modern saat ini juga tidak terlepas dari nilai kemanusiaan yang ada.

Oleh karenanya, penegakan hukum yang humanis adalah penegakan hukum yang mampu menggali rasa keadilan dalam masyarakat (living law). Meski demikian, hukum positif tidak dapat ditinggalkan dan justru tetap sebagai penguatan menjamin kepastian serta menjadi bukti hadirnya negara di tengah masyarakat karena memiliki perangkat, sarana, prosedur (tata laksana), dan bersifat mengikat bahkan memiliki sanksi.”, jelas Jaksa Agung.

Jaksa Agung juga selalu berpesan bahwa kehadiran Jaksa tidak sekedar hanya sebagai pelaksana/cerobong undang-undang saja, namun Jaksa harus berani mengambil sikap sebagai dinamisator dan katalisator.

“Penegakan hukum humanis harus beradaptasi dengan kebutuhan hukum saat ini, tidak pandang bulu, serta dapat diterima oleh masyarakat. Maka untuk mendukung itu semua, perlu adanya program penegakan hukum yang berpihak pada masyarakat.”, ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung mengatakan bahwa program penegakan humanis yang sudah ada saat ini seperti penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif, pendirian Rumah Restorative Justice dan Balai Rehabilitasi, Program Jaga Desa (Jaksa Garda Desa), serta Jaksa Menjawab, harus diefektifkan dan dikembangkan dalam pelaksanaannya di tengah masyarakat. Jaksa Agung juga menekankan bahwa seorang Jaksa harus turut hadir dan memberi manfaat, serta juga menjadi solusi di setiap permasalahan hukum yang ada ditengah tengah masyarakat.

Baca Juga :  Kejaksaan Mengawal Pembangunan untuk Indonesia Maju

Dengan adanya program penegakan hukum yang humanis tersebut menunjukkan bahwa program-program dibuat dengan kajian untuk kepentingan masyarakat yang nantinya bermanfaat dalam menciptakan keharmonisan dan kedamaian.

“Apabila kesadaran hukum masyarakat telah terbentuk, maka secara otomatis akan meringankan pekerjaan penegakan hukum di masa mendatang. Bahkan di beberapa negara maju dan aman, lembaga pemasyarakatannya dalam keadaan kosong yang menandakan bahwa penegakan hukum di negara tersebut berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila dilihat lembaga pemasyarakatan dalam keadaan penuh, ini menunjukkan tingginya kasus tindak pidana dan kriminalitas yang ditangani. Selain itu, keadaan lembaga pemasyarakatan yang penuh menandakan bahwa penegakan hukum belum menimbulkan efek jera dan memanusiakan manusia, serta negara belum mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warganya.”, tambah Jaksa Agung.

Jaksa Agung ST Burhanuddin juga berharap bahwa sebagai penggagas penghentian penuntutan dengan keadilan restoratif yang sudah mendapatkan legitimasi di forum Internasional berupa efektivitas dan implementasi restorative justice sebagai role model penghentian perkara di luar pengadilan, agar kedepannya peraturan mengenai keadilan restoratif didorong menjadi undang-undang. Sebab hal ini sangat penting dalam rangka penegakan hukum humanis dan kita menjadi salah satu barometernya di dunia, sehingga kita mendapatkan legitimasi secara formil dalam pelaksanaannya.
Pada akhir diskusi ringan antara Jaksa Agung dengan Tim Media Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung berpesan kepada semua jajarannya.

“Tidak semua yang melakukan tindak pidana itu serakah dan jahat, namun bisa diakibatkan oleh faktor lingkungan dan hubungan sosial. Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk menciptakan lingkungan yang baik, sehat, dan bermartabat bagi kemanusiaan,” pesan Jaksa Agung. (hms/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/