PALANGKA RAYA-Kondisi cuaca di Kalimantan Tengah (Kalteng) berangsur panas. Sejatinya musim peralihan cuaca sudah bermula sejak pertengahan Maret 2023 lalu. Setelah sebelumnya mewaspadai potensi bencana banjir akibat musim hujan, kali ini Kalteng harus bersiap memasuki musim kemarau. Daerah-daerah yang berpotensi terjadi bencana kekeringan hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus menjadi perhatian.
Prakirawan Stasiun Meteorologi Tjilik Riwut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Provinsi Kalteng, Alfandy mengatakan, terdapat beberapa daerah yang saat ini mulai berangsur panas secara konsisten, kendati beberapa wilayah masih mengalami intensitas curah hujan dari sedang hingga lebat.
Adapun daerah-daerah di Kalteng yang akan memasuki musim kemarau terlebih dulu sejak saat itu adalah, jika dilihat berdasarkan arah angin dan data-data sebelumnya, maka daerah yang lebih dulu masuk kemarau adalah Kalteng bagian tenggara.
“Wilayah Kalteng bagian tenggara itu adalah Kapuas, kemudian naik ke Pulang Pisau, naik lagi ke tengah seperti Pulang Pisau bagian utara, lalu naik lagi ke tengah, Barito Selatan bagian Selatan, dan Barito Timur Bagian Selatan, dan kemudian merata se-Kalteng,” ujar Alfandy kepada Kalteng Pos, Sabtu (20/5).
Namun demikian, secara umum cuaca di wilayah Kalteng dipengaruhi oleh dinamika atmosfer yang bersifat lokal sehingga meskipun secara musim sudah hampir masuk kemarau, masih terdapat dinamika-dinamika atmosfer yang mendukung pertumbuhan awan konveksi atau awan hujan.
“Pada beberapa wilayah yang kelihatan kering pun sebenarnya masih terjadi hujan, cuman memang intensitasnya tidak signifikan jika dibandingkan dengan musim penghujan dulu, salah satunya seperti di Kobar,” jelasnya.
Pada bulan Juni dasarian (10 harian) dua, Kalteng diperkirakan akan memasuki musim kemarau. Biasanya, lanjut Alfandy, musim di Indonesia khususnya Kalteng dipengaruhi oleh angin. Ada dua jenis angin yang memengaruhi musim itu, yakni angin barat dan angin timur.
“Untuk musim kemarau sendiri namanya adalah angin timuran, sifat dari angin ini adalah dia membawa angin dari Australia bagian utara menuju Indonesia, yakni massa udara yang kering,” jelasnya.
Menurut Alfandy, meski cuaca tidak menyebabkan bencana karhutla secara langsung, cuaca juga merupakan faktor pendukung untuk terciptanya kebakaran. Untuk saat ini wilayah-wilayah yang sudah harus diwaspadai akan potensi bencananya itu ada di wilayah Barito dan Kobar, saat ini potensi karhutla tidak terfokus di satu titik.
“Karhutla ini biasanya terjadi di wilayah gambut, untuk wilayah Kapuas dan Pulpis sendiri itu kan banyak wilayah dengan karakteristik lahan gambut, namun sampai saat ini kejadian karhutla tidak terjadi wilayah tersebut,” tandasnya.(dan/ram)