MUARA TEWEH-Polres Batara telah menetapkan tiga tersangka pada kasus OTT di Jalan Simpang Pramuka II, Muara Teweh.
Ari Yunus Hendrawan selaku praktisi hukum, angkat bicara terkait dugaan kasus politik uang yang terjadi sebelum pelaksanaan PSU di Kabupaten Batara.
Menurutnya, kasus ini masih dalam tahap penyelidikan dan belum tentu memenuhi unsur tindak pidana pemilu.
“Dalam dugaan tindak pidana ini, prosesnya masih berjalan. Belum tentu ini benar-benar merupakan perbuatan tindak pidana pemilu. Penahanan tersangka yang diduga terlibat dalam politik uang dilakukan atas kebijakan tim penyidik,” kata Ari saat dihubungi Kalteng Pos via telepon, Senin pagi (24/3/2025).
Ia menambahkan, penahanan dilakukan polisi agar tersangka tidak melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Namun, kewenangan sepenuhnya berada pada tim penyidik.
Ari mengimbau masyarakat setempat untuk tetap tenang dan tidak mudah terpengaruh oleh opini yang beredar luas. Ia menegaskan, jika benar terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Pemilu, maka harus dibuktikan dengan jelas.
“Yang dianggap pelanggaran dalam pemilu adalah apabila seseorang menggunakan uang untuk memengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan atau tidak memilih salah satu pasangan calon. Selain itu, memberikan hak suara tanpa hak dan memanipulasi perhitungan suara dengan niat jahat juga merupakan pelanggaran,” jelasnya.
Ia menegaskan, semua proses ini akan diuji dalam persidangan. Pihak kepolisian dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) akan menangani kasus ini dengan cepat dan sesuai prosedur.
Menanggapi kemungkinan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Ari menekankan bahwa ada tahapan yang harus ditempuh sebelum membawa perkara ke MK. Tim paslon yang merasa dirugikan harus berhati-hati dalam menyusun gugatan.
“Peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam hal ini sangat penting. Apakah Bawaslu telah memberikan sanksi kepada calon atau tim suksesnya? Jika memang terbukti melakukan tindak pidana pemilu, Bawaslu memiliki kewenangan untuk mendiskualifikasi paslon,” ujarnya.
Menurutnya, pihak yang keberatan harus terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan di Bawaslu. Jika tidak menemukan jalan keluar atau merasa belum puas, barulah dapat mengajukan gugatan ke MK.
“Perlu diingat, MK tidak mengadili perkara pidana. MK hanya akan mempertimbangkan apakah pelanggaran tersebut memengaruhi hasil perolehan suara atau tidak,” imbuhnya.
Ari mengingatkan, dalam mengajukan keberatan ke MK, pihak penggugat harus mencantumkan poin-poin keberatan secara tepat. Dalam Undang-Undang Pemilu disebutkan bahwa pelanggaran dalam pemilu menjadi ranah Bawaslu.
Lebih lanjut, Ari menekankan pentingnya transparansi dalam proses persidangan. Ia meminta agar persidangan tidak diselesaikan secara terburu-buru dan memastikan seluruh saksi telah dipanggil serta alat bukti telah dijabarkan dengan jelas.
“Diskualifikasi pasangan calon hanya bisa dilakukan jika terbukti terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Selain itu, pihak yang mengajukan keberatan juga harus memiliki bukti konkret,” paparnya.
Ia pun mengingatkan agar Gakkumdu tidak melemahkan atau mengurangi esensi dari proses tindak pidana pemilu. Jika unsur perbuatan pidana (actus reus) dan niat jahat (mens rea) telah jelas dan ada bukti yang kuat, maka itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana.
Dengan proses hukum yang transparan dan adil, Ari berharap masyarakat dapat memahami bahwa hukum akan ditegakkan sesuai aturan yang berlaku. (irj/ham/ce/ala)