Kuas, kanvas, dan pewarna adalah sahabat bagi Dyah mengekspresikan berbagai imajinasi yang terinspirasi dari kejadian di sekitarnya. Mulai dari peristiwa yang menarik atensi masyarakat hingga persoalan remeh-temeh yang kerap luput dari perhatian orang, tetapi punya nilai estetis. Kepekaan menangkap inspirasi ini berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaannya.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
DI bawah terangnya lampu sorot dinding pameran tempat lukisan dipajang, warna-warni lukisan cukup memekakkan mata siapa pun yang melihat. Dalam satu gambar, terbelah dua kejadian. Bergradasi. Merepresentasikan proses berjalannya waktu. Dari bagian kiri ke bagian kanan gambar, waktu seolah terus berjalan, meski sempat diselimuti ketakutan. Makin ke kanan, harapan makin nyata disemai.
Di bagian kiri lukisan, empat orang wanita, dalam posisi mengelilingi jarum jam, tertelungkup sembari mengenakan masker dan terkungkung virus. Tampak berjibaku dengan waktu. Ditemani cahaya mentari yang redup. Sementara di bagian kanan, lima orang wanita menari riang di bawah sinar mentari nan terang. Didukung dengan kondisi lingkungan berupa bunga matahari dan dedaunan yang tumbuh subur.
Lukisan berjudul Semusim Berlalu yang dipamerkan dalam pameran seni rupa dan fotografi di Aula UPT Taman Budaya Kalteng, Jumat (26/6) lalu itu, merupakan salah satu lukisan yang cukup menarik perhatian. Karya lukis tersebut adalah salah satu dari sebelas karya tangan ciamik Dyah Paramita Candravardani yang ditampilkan pada pameran itu. Hasil imajinasi Dyah berdasarkan inspirasi sehari-hari yang dituangkannya di atas kanvas menggunakan cat akrilik.
“Pandemi merenggut kebahagiaan. Titik balik terjadi ketika manusia tetap memiliki harapan. Harapan akan muncul karena kesetiaan kepada Sang Pencipta sepanjang waktu. Kedukaan dan rasa kehilangan, bahkan waktu yang seolah tak berujung, pada saatnya sampai di titik balik. Akan tersemai pemulihan, semangat, kebangkitan, dan optimisme,” ungkap Lala, sapaan akrab Dyah Paramita, ketika menjelaskan karya lukisnya kepada wartawan di sela-sela kegiatan pameran.
Lala tinggal di Kota Palangka Raya sejak tahun 2003. Selama tinggal di Kota Cantik ini, sudah ada sekitar 25 karya lukis yang ia hasilkan. Masing-masing karya lukis memiliki cerita dan makna yang beragam. Pada umumnya merupakan hasil imajinasi yang terinspirasi dari berbagai kondisi lingkungan, sosial, dan kebudayaan di Bumi Tambun Bungai, daerah tempatnya merantau.
“Kebanyakan menggambarkan kondisi daerah, tetapi temanya lebih beragam, seperti lingkungan, potensi alam, kondisi sosial, kebudayaan, kaitannya dengan antropologi, arkeologi, dan lain-lain,” ungkapnya.
Lukisan-lukisan milik Lala banyak menggambarkan persoalan alam dan kondisi sosial masyarakat. Bahkan hasil peleburan antara keduanya. Latar belakang pendidikannya yang pernah mengenyam kuliah Jurusan Arkeologi di Universitas Gajah Mada dan pekerjaannya sebagai Pamong Budaya di Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kota Palangka Raya, cukup memperluas imajinasinya untuk membingkai kondisi alam dan sosial dalam kacamata estetika, yang kemudian dituangkan menjadi karya seni rupa. Bukan sesuatu yang mengherankan. Sebab, perupa yang satu ini banyak terinspirasi oleh gaya lukis Vincent Van Gogh dan Affandi.
“Kenapa saya tertarik terhadap kedua pelukis itu, karena saya suka gaya lukisnya, cita rasa karyanya, pemilihan warna, serta kehidupan pribadi mereka. Dari keduanya saya belajar, ketika kita sudah tiada, orang-orang akan mengingat kita, bersama dengan karya-karya yang telah kita buat selama hidup,” ungkap wanita yang pernah menjadi guru antropologi itu.
Dari keluasan tema yang ada dalam lukisannya, ibu anak dua itu mengaku lebih cenderung melukis hal-hal yang bertemakan alam dan budaya, serta kaitan antara keduanya. Hasil imajinasi atas kedua tema itu diramunya dari hal-hal yang terjadi di sekelilingnya, baik yang begitu menjadi atensi maupun yang luput dari atensi orang. Dibingkai sedemikian rupa menjadi hasil karya seni rupa untuk mengekspresikan berbagai hal yang terjadi di sekelilingnya.
“Harapannya enggak cuman budaya saja, tapi juga bisa mengetuk sisi lain, misalnya agar yang melihat lukisan ini bisa arif terhadap lingkungan, budaya, dan menjaga kebersihan lingkungan, fenomena seperti ini termasuk dalam situasi yang banyak luput dari perhatian orang, kita bisa memperhatikan hal-hal kecil yang luput dari perhatian, mengolahnya menjadi sesuatu yang bermakna,” tuturnya.
Bagi Lala, melukis merupakan aktivitas penting dalam hidupnya. Hobi yang sudah tertanam dalam jiwanya sejak kecil ketika masih tinggal di tanah kelahirannya, Yogyakarta. Selain terkenal dengan julukan Kota Pelajar, tempat kelahirannya itu juga terkenal dengan julukan kotanya para seniman. Wadah orang-orang dengan bakat seni memaksimalkan potensi dirinya.
“Kecintaan terhadap seni lukis sudah muncul sejak saya duduk di bangku TK, sering ikut lomba melukis, keterusan sampai menjadi hobi, orang tua juga sangat menyukai seni, rumah saya pernah dijadikan tempat memajang karya seni Affandi, apalagi di Yogyakarta itu banyak sekali galeri seni dan saya sering ke berkunjung,” ungkap wanita kelahiran 1971 tersebut.
Lukisan Semusim Berlalu adalah karya lukis yang menurutnya paling berkesan di antara puluhan karya tangannya. Sebab, lukisan itu ia buat ketika pandemi melanda Kalteng atau pertengahan tahun 2021. Menggambarkan harapan di tengah keputusasaan pembatasan kegiatan sosial manusia sebagai makhluk sosial.
“Lukisan itu juga sampai dipamerkan di pameran daring dan masuk lima besar di Garasi Seni 10, salah satu galeri seni terbesar di Indonesia yang didirikan oleh Profesor Setiawan Sabana, seorang pelukis sekaligus dosen di ITB yang mempunyai kepedulian terhadap perupa perempuan dan perupa difabel,” ungkap wanita yang berulang tahun tiap tanggal 31 Juli itu. (*/bersambung/ce/ala)