Perayaan Imlek selalu identik dengan kue keranjang. Kuliner khas Tionghoa itu memiliki tekstur kenyal, manis, dan legit. Kue keranjang yang hanya diproduksi tiap Tahun Baru Imlek itu terbuat dari tepung ketan dan gula. Rumah Makan Singkawang merupakan satu-satunya di Palangka Raya yang memproduksi kue keranjang.
NOVIA N CLAUDIA, Palangka Raya
AWAL Februari lalu tepatnya pada Jumat (2/4), saya (penulis) berkesempatan berkunjung ke Rumah Makan Singkawang. Di dalam rumah makan yang terletak di Jalan Bangka itu, berjejer kue-kue keranjang yang sudah dikemas dengan rapi dan siap diantar ke pemesan. Di tengah kesibukan, Cik Ling Ling (34) menyambut saya dengan sangat ramah, sembari memasukkan kue keranjang ke dalam beberapa dus dan plastik.
Owner RM Singkawang sekaligus generasi ketiga secara turun-temurun itu merupakan satu-satunya yang memproduksi kue keranjang di Palangka Raya. Ia mengaku telah membuat kue keranjang selama 15 tahun dan melakukan pengiriman paling jauh hingga Taiwan. Kue keranjang memang diproduksi musiman. Hanya ketika menjelang Imlek.
“Kalau saya sendiri, usaha ini sudah dijalankan selama 15 tahun. Sejak generasi sebelumnya juga sudah membuat kue keranjang ini, dan saya melanjutkan. Produksi kue keranjang biasanya dilakukan selama satu bulan sebelum Imlek, dan produksinya hanya untuk memenuhi permintaan pemesan yang merayakan Imlek,” katanya, Jumat (2/2) lalu.
Meski saya tidak sempat melihat langsung proses pembuatan kue keranjang, tetapi Cik Ling Ling mau menjelaskannya. Kue khas Imlek dengan bahasa Mandarin ‘Nian Gao’ itu terbuat dari tepung ketan dan gula. Proses pembuatannya memakan waktu hingga 12 jam. Untuk pengapiannya masih menggunakan cara tradisional, yakni mengandalkan kayu bakar. Tidak heran, saat ia mempersilakan saya mencicipi kue keranjang hasil karya tanganya, rasa manisnya pas, tekstur kenyal, dan sangat wangi.
“Dalam pembuatan kue keranjang ini ada pantangan yang harus ditaati, seperti bagi perempuan yang sedang menstruasi dilarang untuk masuk ke dapur, karena bisa mengakibatkan produksi kue keranjang gagal,” ucapnya.
Pada Imlek tahun ini, kue berwarna cokelat itu diproduksi hingga mencapai 700 kilogram, dengan tujuh kali produksi. Harga yang dijual pun bervariasi. Untuk keu berukuran satu kilogram dijual seharga Rp65 ribu, sedangkan yang setengah kilogram seharga Rp35 ribu. Jika disimpan di luar kulkas, kue ini hanya bertahan selama satu bulan, karena berpotensi tumbuh jamur. Namun, apabila disimpan dalam kulkas, bisa bertahan sampai satu tahun.
“Tahun ini ada peningkatan permintaan dari tahun sebelumnya walaupun tidak signifikan. Pemesan juga bukan hanya dari Palangka Raya, tetapi juga dari Jakarta, Buntok, Kapuas, Banjarmasin, dan Sampit. Juga bisa dibeli di rumah makan Chinese Food lain yang ada di Kota Palangka Raya ini,” tandasnya.
Wanita berwajah oriental itu mengatakan, keberadaan Rumah Makan Singkawang sebagai satu-satunya tempat produksi kue keranjang di Kota Palangka Raya, sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang gemar dengan masakan Chinese Food. Sebagai salah satu hal yang identik dengan perayaan Imlek, kue keranjang tentunya memiliki arti hingga sejarah tersendiri. Penamaan kue keranjang berasal dari wadah cetaknya yang berbentuk keranjang.
“Kue ini salah satu kue yang wajib ada saat perayaan Imlek. Dari bentuknya yang bulat melambangkan keluarga yang rukun. Rasanya yang manis bermakna harapan agar siapa saja yang menyantapnya selalu bertutur kata baik dalam berucap. Namun ada juga yang memaknainya dengan berbeda-beda,” jelasnya.
Melalui proses produksi yang panjang menggunakan cara tradisional, memiliki rasa autentik serta nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Kue keranjang hanya dapat ditemui saat perayaan Imlek. Cik Ling Ling terakhir memproduksi kue keranjang pada 4 Februari. Sebab, tanggal 6 Februari ia dan keluarganya harus pulang ke kampung halaman di Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar). Selamat merayakan Tahun Baru Imlek 2024. (*/ce/ala)