Di tepian sungai yang membelah Kalimantan Tengah, Noorhidayah menemukan kisah yang belum banyak tertulis. Bukan sekadar cerita tentang kehidupan masyarakat di bantaran sungai, tetapi tentang sebuah identitas yang hidup dan terus berkembang, yaitu Muslim Dayak.
DHEA UMILATI, Palangka Raya
PERJALANAN akademiknya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta membawanya pada riset mendalam selama lebih dari satu tahun. Sebagai seorang antropolog Muslim, ia tidak hanya ingin memahami, tetapi juga merasakan kehidupan komunitas Muslim Dayak yang selama ini jarang mendapat sorotan dalam kajian ilmiah, terutama di bidang antropologi.
Bagi masyarakat Muslim Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), sungai bukan sekadar jalur transportasi atau sumber mata pencaharian. Lebih dari itu, sungai adalah nadi kehidupan, bagian dari sejarah, dan cerminan cara pandang mereka terhadap dunia.
“Saya bertanya kepada mereka, mengapa memilih tinggal di pinggiran sungai? Jawabannya bukan sekadar karena faktor ekonomi atau warisan keluarga, tapi ada ikatan batin yang mendalam. Sungai memberikan mereka kehidupan, bukan hanya dalam arti materi, tetapi juga secara spiritual dan kultural,” ungkapnya saat menceritakan isi bukunya pada Kalteng Pos, Kamis (13/2).
Melalui pendekatan etnografi, dia tidak hanya menjadi pengamat, tetapi turut membaur dengan masyarakat. Ia mengikuti keseharian mereka, dari menjual ikan hingga menjalani ritual-ritual budaya. Ini dilakukan agar pemahamannya terhadap komunitas ini tidak hanya sebatas teori, tetapi juga berdasarkan pengalaman langsung.
“Untuk tempat penelitian kemarin saya meneliti di daerah Petuk Katimpun, masih pinggiran Kota Palangka Raya tetapi mereka masih menjunjung tinggi nilai leluhur dan adat istiadat dari para tetua,” tuturnya.
Dalam penelitian ini, Noorhidayah juga menemukan bahwa komunitas Muslim Dayak memiliki cara unik dalam mempertahankan identitas mereka. Meskipun tinggal di wilayah perkotaan, gaya hidup mereka masih mencerminkan pola sosial khas pedesaan, erat dalam kekerabatan, berbasis komunitas, dan memiliki solidaritas tinggi.
Hal ini berbeda dengan komunitas Muslim lain di perkotaan yang lebih individualis. “Mereka bisa hidup di kota, tapi tetap menjaga nilai-nilai kampung yang erat dengan kebersamaan. Ini yang menjadikan mereka unik,” katanya.
Dalam menulis buku Dayak Islam, Direktur Asosiasi Studi Kalimantan (APSK) itu tentunya juga menghadapi tantangan. Bagaimana menafsirkan kehidupan komunitas ini tanpa menambahkan prasangka atau bias dari sudut pandangnya sendiri.
“Saya tidak ingin pembaca salah paham. Identitas mereka bukan sekadar soal keislaman dalam arti normatif, tetapi lebih kepada bagaimana Islam beradaptasi dengan budaya lokal dan bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai Muslim dalam konteks yang unik,” jelasnya.
Baginya, menjadi antropolog bukan sekadar mencatat fakta, tetapi juga memahami makna di baliknya. Oleh karena itu, ia harus benar-benar merasakan bagaimana komunitas ini menjalani kehidupan mereka, mulai dari berdagang di pasar hingga merasakan keterikatan emosional dengan sungai.
Lewat buku Dayak Islam, Dosen IAIN Palangka Raya itu berharap masyarakat lebih memahami bahwa komunitas Muslim Dayak memiliki eksistensi yang kuat. Mereka bukan kelompok yang terpisah dari masyarakat Dayak lainnya, melainkan bagian dari keberagaman budaya di Indonesia.
“Kita sering melihat identitas Muslim dalam satu bentuk tertentu. Padahal, ada banyak cara menjadi Muslim di berbagai tempat, dan komunitas Muslim Dayak adalah salah satu contohnya. Buku ini ingin menunjukkan bahwa Islam bisa beradaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya,” tutupnya. (ala)