Selasa, Desember 24, 2024
26.7 C
Palangkaraya

Ini Dia Sosok dr Tria Pertiwi, yang Menciptakan Inovasi Penanganan HIV/AIDS 

Di tengah hiruk-pikuk kota, terdapat salah satu sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang berdedikasi tinggi dalam memerangi penyakit mematikan, HIV/AIDS. Dia adalah dr Tria Pertiwi, yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi ujung tombak penanganan kasus HIV/AIDS di Kota Palangka Raya, khususnya di Puskesmas Panarung.

 

ARIANI SAFITRI–NADA NIKMATUL ILMI, Palangka Raya

BAGI dr Tria Pertiwi, menjadi seorang dokter adalah panggilan jiwa. “Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama,” ucap perempuan kelahiran Palangka Raya ini.

Dokter Tria kini bertugas sebagai dokter umum di Puskesmas Panarung. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat penanggung jawab program Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) di puskesmas tersebut.

Dokter yang terdaftar sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun 2019 lalu, kini menjabat sebagai Ketua Tim Layanan Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP) HIV/AIDS di Puskesmas Panarung.

Prestasi yang telah diraih oleh dr Tria, yang baru saja menyandang status sebagai seorang ibu, antara lain adalah penghargaan sebagai tenaga kesehatan (nakes) teladan.

Penghargaan ini diberikan oleh dinas kesehatan. Sebagai ketua tim PDP HIV/AIDS, ia berhasil membuat inovasi dalam program penanganan HIV/AIDS, dengan menciptakan aplikasi telemedicine bernama Tata Dado (Tanya Tetamba Dengan Aplikasi Dokter).

“Diharapkan dengan adanya aplikasi ini, cakupan screening dan pengobatan dapat meningkat,” katanya dengan penuh harap.

Tata Dado adalah layanan telemedicine yang memungkinkan orang dengan HIV (ODHIV) untuk berkonsultasi dengan dokter melalui nomor WhatsApp. Layanan ini hadir sebagai upaya untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses pengobatan HIV/AIDS tanpa stigma, dengan cara yang mudah, cepat, dan bermutu.

Dengan adanya Tata Dado, teman-teman ODHIV ataupun ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dapat lebih mudah memperoleh informasi yang tepat dan benar mengenai HIV/AIDS.

Inovasi ini akhirnya mendapatkan penghargaan sebagai juara 1 tenaga kesehatan teladan tingkat Kota Palangka Raya dan juara 2 tingkat Provinsi Kalimantan Tengah.

Perempuan berparas ayu ini juga menceritakan salah satu momen paling berkesan dalam perjalanan kariernya sebagai dokter, yakni ketika mendampingi ODHA.

“Ada kepuasan tersendiri ketika berhasil mendampingi pasien dari titik terendah hingga akhirnya bangkit menjadi sehat lagi. Ini seperti sebuah perjuangan bersama,” ujarnya.

“Ternyata, kalau kita bantu orang dengan tulus, dan orang tersebut juga mau membantu dirinya sendiri, hasilnya pasti baik,” tambahnya.

Baca Juga :  Wali Kota Apresiasi Forum Mahasiswa Mazwa Se-Indonesia

Di Puskesmas Panarung, mereka juga menerima rujukan dari luar daerah. Puskesmas ini memiliki tim khusus yang ditugaskan untuk menangani kasus HIV/AIDS, yang terdiri dari dokter, konselor, petugas pelaporan, petugas farmasi, dan petugas laboratorium.

Puskesmas Panarung memberikan layanan kesehatan lengkap, termasuk pemeriksaan (screening) dan pengobatan HIV/AIDS.

Layanan Test and Treat (TNT), yang memungkinkan orang yang dinyatakan reaktif HIV/AIDS untuk langsung mendapatkan pengobatan pada hari yang sama, dapat mempermudah proses itu.

Pemeriksaan atau pengobatan HIV/AIDS di Puskesmas Panarung tidak dikenakan biaya (gratis).

“Layanan ini merupakan program nasional yang juga sudah diatur dalam perda. Oleh karena itu, program ini tidak dikenakan biaya,” ucap dokter kelahiran tahun 1994 itu.

Jika seseorang merasa berisiko terinfeksi virus HIV/AIDS, bisa mendatangi puskesmas untuk pemeriksaan.

Setelah penyampaian keinginan untuk melakukan screening, akan langsung diarahkan untuk melakukan pemeriksaan. Jika hasil screening terdeteksi reaktif atau terinfeksi, pengobatan dan konseling akan segera dilanjutkan.

Proses screening HIV/AIDS dilakukan dalam tiga tahap, disesuaikan dengan kondisi kesehatan pasien.

Setelah serangkaian pemeriksaan tersebut dan pasien dinyatakan reaktif HIV/AIDS, tim penanggulangan HIV/AIDS puskesmas akan melakukan konseling. Jika pasien bersedia melanjutkan pengobatan, proses pemeriksaan lebih lanjut dan pengobatan dapat langsung dimulai.

Seringkali, pasien HIV/AIDS akan membawa keluarganya saat melakukan konseling, karena tahap ini sangat penting dalam proses pengobatan. “Namun, selama pengobatan, kami terus memantau kondisinya dan memeriksa stok obat,” jelas dr Tria.

Pengobatan HIV/AIDS dilakukan dengan mengonsumsi satu pil obat tiap hari pada waktu yang sama selama seumur hidup. Obat tersebut merupakan kombinasi dosis tetap dari tiga jenis antivirus (fixed drug combination).

Tujuan dari pengobatan HIV/AIDS ini adalah untuk menekan dan mengendalikan pertumbuhan virus dalam tubuh seseorang.

Dokter Tria menjelaskan, meskipun obat untuk semua pasien HIV/AIDS sama, tetapi ada beberapa jenis obat yang dibedakan sesuai kondisi pasien. Sedangkan untuk obat standar, dosisnya sama.

Pengobatan HIV/AIDS memerlukan pertimbangan terhadap keuntungan dan efek samping obat. “Kalau dibandingkan dengan dampak buruk dari penyakit ini kalau tidak diobati, efek samping obat jauh lebih ringan,” tambahnya.

Tim ini juga rutin melakukan pemeriksaan pengobatan pada pasien untuk memantau fungsi ginjal dan hati. Jika ditemukan peningkatan fungsi ginjal atau hati, obat yang digunakan akan diganti, untuk mengurangi risiko pada pasien.

Baca Juga :  Dua Tahun Berturut-Turut, IDG Kalteng Tertinggi Se-Indonesia

Puskesmas juga mempermudah pasien HIV/AIDS dalam mengambil obat. Obat-obatan biasanya diberikan untuk konsumsi selama satu bulan. Namun pada beberapa kasus, pasien dapat diberi obat lebih banyak. Mislanya, mereka harus pulang ke kampung halaman.

Untuk pencegahan penularan virus HIV/AIDS, ada dua jenis layanan yang dapat dilakukan, yaitu pencegahan setelah terjadinya kegiatan berisiko dan pencegahan sebelum terpapar.

Layanan PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis) adalah strategi pencegahan HIV yang diberikan kepada orang yang HIV-negatif, yaitu dengan mengonsumsi dua jenis obat anti-HIV sebelum terpapar atau melakukan kontak dengan HIV untuk mengurangi risiko infeksi.

Beberapa pasangan suami istri yang salah satunya terinfeksi HIV dan menjalani pengobatan, dapat memiliki anak yang lahir negatif HIV. Bahkan, pasangan yang satu positif dan yang lainnya negatif juga dapat mencegah penularan dengan menggunakan layanan PrEP.

Dokter Tria menjelaskan, penyebaran HIV/AIDS hanya bisa terjadi melalui beberapa cara tertentu, seperti transfusi darah yang terinfeksi, hubungan seks, penularan dari ibu ke anak, dan penggunaan jarum suntik bergantian yang tidak steril.

“Darah yang terinfeksi HIV/AIDS yang mengenai kulit yang utuh tidak akan menyebabkan penularan. Namun, jika kulit terluka, ada kemungkinan terinfeksi, karena ada pintu masuk,” jelasnya.

“Jangan takut untuk melakukan deteksi, karena makin dini kita mengetahui status kesehatan kita, maka makin cepat juga kita bisa mendapatkan pengobatan, sehingga hasilnya akan lebih baik,” ujarnya.

Akan tetapi, stigma negatif terhadap HIV/AIDS yang masih berkembang di masyarakat, membuat penyakit ini terlihat sangat menakutkan.

Padahal, jika ODHA rutin menjalani pengobatan minimal selama tiga bulan, virus tersebut dapat ditekan dan dikendalikan, sehingga kondisi pasien dapat terus membaik.

Tim PDP HIV Puskesmas Panarung berupaya untuk memastikan pasien mendapatkan informasi yang akurat dan menghindari informasi hoaks yang beredar.

“Walaupun ada informasi yang salah, mereka harus mengonfirmasi ke kami,” tegas dr Tria.

Ia juga berpesan agar masyarakat menghindari seks bebas, yang sering menjadi sumber penularan HIV/AIDS. “Terakhir, kita harus selektif dalam melakukan atau menerima transfusi darah,” pungkasnya. (*/ce/ala)

Di tengah hiruk-pikuk kota, terdapat salah satu sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang berdedikasi tinggi dalam memerangi penyakit mematikan, HIV/AIDS. Dia adalah dr Tria Pertiwi, yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi ujung tombak penanganan kasus HIV/AIDS di Kota Palangka Raya, khususnya di Puskesmas Panarung.

 

ARIANI SAFITRI–NADA NIKMATUL ILMI, Palangka Raya

BAGI dr Tria Pertiwi, menjadi seorang dokter adalah panggilan jiwa. “Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama,” ucap perempuan kelahiran Palangka Raya ini.

Dokter Tria kini bertugas sebagai dokter umum di Puskesmas Panarung. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat penanggung jawab program Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) di puskesmas tersebut.

Dokter yang terdaftar sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun 2019 lalu, kini menjabat sebagai Ketua Tim Layanan Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP) HIV/AIDS di Puskesmas Panarung.

Prestasi yang telah diraih oleh dr Tria, yang baru saja menyandang status sebagai seorang ibu, antara lain adalah penghargaan sebagai tenaga kesehatan (nakes) teladan.

Penghargaan ini diberikan oleh dinas kesehatan. Sebagai ketua tim PDP HIV/AIDS, ia berhasil membuat inovasi dalam program penanganan HIV/AIDS, dengan menciptakan aplikasi telemedicine bernama Tata Dado (Tanya Tetamba Dengan Aplikasi Dokter).

“Diharapkan dengan adanya aplikasi ini, cakupan screening dan pengobatan dapat meningkat,” katanya dengan penuh harap.

Tata Dado adalah layanan telemedicine yang memungkinkan orang dengan HIV (ODHIV) untuk berkonsultasi dengan dokter melalui nomor WhatsApp. Layanan ini hadir sebagai upaya untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses pengobatan HIV/AIDS tanpa stigma, dengan cara yang mudah, cepat, dan bermutu.

Dengan adanya Tata Dado, teman-teman ODHIV ataupun ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dapat lebih mudah memperoleh informasi yang tepat dan benar mengenai HIV/AIDS.

Inovasi ini akhirnya mendapatkan penghargaan sebagai juara 1 tenaga kesehatan teladan tingkat Kota Palangka Raya dan juara 2 tingkat Provinsi Kalimantan Tengah.

Perempuan berparas ayu ini juga menceritakan salah satu momen paling berkesan dalam perjalanan kariernya sebagai dokter, yakni ketika mendampingi ODHA.

“Ada kepuasan tersendiri ketika berhasil mendampingi pasien dari titik terendah hingga akhirnya bangkit menjadi sehat lagi. Ini seperti sebuah perjuangan bersama,” ujarnya.

“Ternyata, kalau kita bantu orang dengan tulus, dan orang tersebut juga mau membantu dirinya sendiri, hasilnya pasti baik,” tambahnya.

Baca Juga :  Wali Kota Apresiasi Forum Mahasiswa Mazwa Se-Indonesia

Di Puskesmas Panarung, mereka juga menerima rujukan dari luar daerah. Puskesmas ini memiliki tim khusus yang ditugaskan untuk menangani kasus HIV/AIDS, yang terdiri dari dokter, konselor, petugas pelaporan, petugas farmasi, dan petugas laboratorium.

Puskesmas Panarung memberikan layanan kesehatan lengkap, termasuk pemeriksaan (screening) dan pengobatan HIV/AIDS.

Layanan Test and Treat (TNT), yang memungkinkan orang yang dinyatakan reaktif HIV/AIDS untuk langsung mendapatkan pengobatan pada hari yang sama, dapat mempermudah proses itu.

Pemeriksaan atau pengobatan HIV/AIDS di Puskesmas Panarung tidak dikenakan biaya (gratis).

“Layanan ini merupakan program nasional yang juga sudah diatur dalam perda. Oleh karena itu, program ini tidak dikenakan biaya,” ucap dokter kelahiran tahun 1994 itu.

Jika seseorang merasa berisiko terinfeksi virus HIV/AIDS, bisa mendatangi puskesmas untuk pemeriksaan.

Setelah penyampaian keinginan untuk melakukan screening, akan langsung diarahkan untuk melakukan pemeriksaan. Jika hasil screening terdeteksi reaktif atau terinfeksi, pengobatan dan konseling akan segera dilanjutkan.

Proses screening HIV/AIDS dilakukan dalam tiga tahap, disesuaikan dengan kondisi kesehatan pasien.

Setelah serangkaian pemeriksaan tersebut dan pasien dinyatakan reaktif HIV/AIDS, tim penanggulangan HIV/AIDS puskesmas akan melakukan konseling. Jika pasien bersedia melanjutkan pengobatan, proses pemeriksaan lebih lanjut dan pengobatan dapat langsung dimulai.

Seringkali, pasien HIV/AIDS akan membawa keluarganya saat melakukan konseling, karena tahap ini sangat penting dalam proses pengobatan. “Namun, selama pengobatan, kami terus memantau kondisinya dan memeriksa stok obat,” jelas dr Tria.

Pengobatan HIV/AIDS dilakukan dengan mengonsumsi satu pil obat tiap hari pada waktu yang sama selama seumur hidup. Obat tersebut merupakan kombinasi dosis tetap dari tiga jenis antivirus (fixed drug combination).

Tujuan dari pengobatan HIV/AIDS ini adalah untuk menekan dan mengendalikan pertumbuhan virus dalam tubuh seseorang.

Dokter Tria menjelaskan, meskipun obat untuk semua pasien HIV/AIDS sama, tetapi ada beberapa jenis obat yang dibedakan sesuai kondisi pasien. Sedangkan untuk obat standar, dosisnya sama.

Pengobatan HIV/AIDS memerlukan pertimbangan terhadap keuntungan dan efek samping obat. “Kalau dibandingkan dengan dampak buruk dari penyakit ini kalau tidak diobati, efek samping obat jauh lebih ringan,” tambahnya.

Tim ini juga rutin melakukan pemeriksaan pengobatan pada pasien untuk memantau fungsi ginjal dan hati. Jika ditemukan peningkatan fungsi ginjal atau hati, obat yang digunakan akan diganti, untuk mengurangi risiko pada pasien.

Baca Juga :  Dua Tahun Berturut-Turut, IDG Kalteng Tertinggi Se-Indonesia

Puskesmas juga mempermudah pasien HIV/AIDS dalam mengambil obat. Obat-obatan biasanya diberikan untuk konsumsi selama satu bulan. Namun pada beberapa kasus, pasien dapat diberi obat lebih banyak. Mislanya, mereka harus pulang ke kampung halaman.

Untuk pencegahan penularan virus HIV/AIDS, ada dua jenis layanan yang dapat dilakukan, yaitu pencegahan setelah terjadinya kegiatan berisiko dan pencegahan sebelum terpapar.

Layanan PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis) adalah strategi pencegahan HIV yang diberikan kepada orang yang HIV-negatif, yaitu dengan mengonsumsi dua jenis obat anti-HIV sebelum terpapar atau melakukan kontak dengan HIV untuk mengurangi risiko infeksi.

Beberapa pasangan suami istri yang salah satunya terinfeksi HIV dan menjalani pengobatan, dapat memiliki anak yang lahir negatif HIV. Bahkan, pasangan yang satu positif dan yang lainnya negatif juga dapat mencegah penularan dengan menggunakan layanan PrEP.

Dokter Tria menjelaskan, penyebaran HIV/AIDS hanya bisa terjadi melalui beberapa cara tertentu, seperti transfusi darah yang terinfeksi, hubungan seks, penularan dari ibu ke anak, dan penggunaan jarum suntik bergantian yang tidak steril.

“Darah yang terinfeksi HIV/AIDS yang mengenai kulit yang utuh tidak akan menyebabkan penularan. Namun, jika kulit terluka, ada kemungkinan terinfeksi, karena ada pintu masuk,” jelasnya.

“Jangan takut untuk melakukan deteksi, karena makin dini kita mengetahui status kesehatan kita, maka makin cepat juga kita bisa mendapatkan pengobatan, sehingga hasilnya akan lebih baik,” ujarnya.

Akan tetapi, stigma negatif terhadap HIV/AIDS yang masih berkembang di masyarakat, membuat penyakit ini terlihat sangat menakutkan.

Padahal, jika ODHA rutin menjalani pengobatan minimal selama tiga bulan, virus tersebut dapat ditekan dan dikendalikan, sehingga kondisi pasien dapat terus membaik.

Tim PDP HIV Puskesmas Panarung berupaya untuk memastikan pasien mendapatkan informasi yang akurat dan menghindari informasi hoaks yang beredar.

“Walaupun ada informasi yang salah, mereka harus mengonfirmasi ke kami,” tegas dr Tria.

Ia juga berpesan agar masyarakat menghindari seks bebas, yang sering menjadi sumber penularan HIV/AIDS. “Terakhir, kita harus selektif dalam melakukan atau menerima transfusi darah,” pungkasnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/