PALANGKA RAYA-Permasalahan stunting atau tengkes masih menjadi momok di Bumi Tambun Bungai. 59.000 keluarga di Kalteng tercatat berisiko stunting. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah. Perlu kewaspadaan dan melakukan berbagai intervensi atau tindakan dalam menangani persoalan ini.
Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 memang menunjukkan bahwa Kalteng mengalami penurunan prevalensi stunting sebesar 0,5 persen. Pada tahun 2021, prevalensi stunting di Kalteng berada di angka 27,4 persen, sementara di tahun 2022 turun menjadi 26,9 persen. Kendati secara rata-rata mengalami penurunan, tapi pada beberapa daerah justru mengalami kenaikan signifikan. Daerah yang sebelumnya tidak terlalu tinggi angka prevalensi stunting, justru menunjukkan disparitas kenaikan yang signifikan.
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalteng Dadi Ahmad Roswandi menuturkan, secara nasional data SSGI Kalteng turun sebesar 0,5 persen. Namun pada beberapa daerah mengalami kenaikan yang tinggi.
“Memang turun, tetapi kalau kita melihat di beberapa daerah, disparitasnya tinggi ya, seperti Murung Raya yang tadinya 35 menjadi 40 persen, kemudian Barito Selatan, dan Seruyan, bahkan Palangka Raya naik menjadi 2,6 dibandingkan tahun sebelumnya,” beber Dadi kepada media, Senin (13/2/2023).
Menurutnya hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pihaknya sebagai tim percepatan penurunan stunting (TPPS, karena upaya percepatan penurunan stunting harus menyentuh tiap daerah. Kendati sudah diperlihatkan bahwa Kalteng mengalami penurunan, beberapa wilayah yang justru mengalami kenaikan harus tetap menjadi perhatian serius.
Berkaca dari kondisi Kalteng saat ini, Dadi menyebut ada 59 ribu keluarga berisiko stunting, 23 ribu keluarga yang memiliki jamban tidak layak, dan 22 ribu keluarga yang mengakses air minum tidak layak. Tentu ribuan bukanlah angka yang sedikit. Apalagi untuk penyakit seperti stunting yang menyerang anak usia dini, berpotensi menciptakan generasi penerus bangsa yang tidak sehat. “Ini menjadi perhatian kita bersama,” tuturnya.
Dadi menjelaskan, indikator keluarga berisiko stunting adalah seperti pasangan usia subur yang memiliki anak lebih dari tiga, keluarga memiliki jamban yang tidak sehat, keluarga dengan akses air minum yang tidak layak, pasangan menikah muda, serta keluarga yang melahirkan anak di usia 35-45 tahun. “Jadi itulah definisi keluarga berisiko stunting, yaitu terlalu muda, terlalu banyak, terlalu sering, dan terlalu rapat,” tambahnya.
Solusi pun ditawarkan. Tentu melalui upaya intervensi, baik lewat intervensi sensitif maupun intervensi spesifik. Intervensi sensitif adalah bentuk intervensi pendukung untuk penurunan kecepatan stunting, seperti penyediaan air bersih dan sanitasi yang baik untuk masyarakat. Upaya intervensi jenis ini dilakukan dengan melibatkan instansi terkait yang berperan sesuai bidangnya.
Beberapa masalah penyebab stunting yang diintervensi dengan jenis intervensi sensitif ini seperti akses masyarakat terhadap air bersih dan jamban layak pakai.
Sementara intervensi spesifik merupakan bentuk intervensi yang berhubungan dengan peningkatan gizi dan kesehatan masyarakat agar terhindar dari risiko atau potensi stunting. Jenis intervensi ini dilakukan melalui pemberian gizi secara intens kepada anak berisiko stunting.
“Upaya kami dilakukan lewat intervensi itu, memang intervensi sensitif yang lebih dominan yaitu 70 persen, karena merupakan penyebab terbesar stunting, sementara 30 persennya untuk intervensi spesifik,” bebernya.
Dadi menyebut pihaknya menetapkan target penurunan stunting tahun 2024 sebesar 15 persen. Sementara saat ini stunting di Kalteng masih berkisar di angka 26,9 persen.
Terkait dengan beberapa daerah yang tadi mengalami disparitas kenaikan yang tinggi, Dadi menyebut hasil audit kasus stunting berbeda di tiap daerah. Seperti di Murung Raya, lanjut Dadi, masih marak terjadi pernikahan anak. “Yang harusnya belum cukup umur, sudah dinikahkan, jadi berisiko stuntingnya tinggi, belum lagi masalah sanitasi dan rendahnya kunjungan ke posyandu sehingga tidak mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan bayi,” bebernya.
Sementara itu, Ketua TPPS Provinsi Kalteng sekaligus Sekda Kalteng H Nuryakin mengatakan, upaya penanganan stunting di Kalteng saat ini dititikberatkan pada intervensi sensitif. Maka dari itu, lanjut Nuryakin, dalam menjalankan upaya itu diperlukan koordinasi yang baik antara stakeholder terkait.
“Kalau kita bicara stunting, kan tidak hanya soal gizi, tapi juga masalah sanitasi, air bersih, dan lain-lain, maka perlu intervensi perangkat daerah yang membidangi itu,” ucap Nuryakin kepada media, Senin (13/2/2023).
Agar penanganan intervensi sensitif lancar, diperlukan data-data komprehensif yang menunjukkan atau merepresentasikan kondisi serta penyebab tingginya prevalensi stunting di suatu daerah. Nuryakin menyebut bahwa Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran menginginkan agar ke depannya Kalteng memiliki data-data rinci terkait warga yang terkena stunting.
“Pak gubernur ingin ada data-data stunting yang rinci, meliputi by name, by address, kondisi lingkungan seperti apa, lalu intervensi yang mesti dilakukan,” tandasnya. (dan/ce/ala)