Kamis, November 21, 2024
26.5 C
Palangkaraya

Menapaktilasi Perjuangan Tokoh Islam di Tanah Barito (16)

Muhammad Seman Meneruskan Perjuangan Ayah Mengusir Penjajah

Perjuangan menggempur para serdadu Belanda di tanah Barito terus berlanjut. Setelah Pangeran Antasari dan pejuang lainnya wafat, perlawanan dilanjutkan oleh tokoh Islam berdarah Dayak, Muhammad Seman. Putra dari Pangeran Antasari ini bersama rakyat terus bertempur dengan pasukan penjajah.

DADANG, Puruk Cahu

GERAKAN perjuangan melawan penjajah Belanda di wilayah Kesultanan Banjar yang meliputi wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Kalimantan Tengah (Kalteng), berlangsung antara tahun 1859 hingga tahun 1905. Pertempuran yang tercatat dalam sejarah ini dikenal juga dengan sebutan Perang Banjar-Barito. Pangeran Antasari merupakan salah satu tokoh Islam yang juga merupakan Raja Kesultanan Banjar. Ia terkenal gigih dan berani bertempur melawan pasukan Belanda. Pahlawan nasional ini diketahui wafat pada 11 Oktober 1862, pada usia 53 tahun.

Setelah Pangeran Antasari wafat, perlawanan terhadap Belanda masih terus berlanjut. Perjuangan dilanjutkan oleh putranya, Muhammad Seman. Ia dikenal dengan nama lahirnya adalah Gusti Matseman, sebagai penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda. Kala itu Pemerintahan Banjar terletak di Muara Teweh, hulu Sungai Barito.

Baca Juga :  Berdakwah Sejak Zaman Kerajaan Kutaringin

Sultan Muhammad Seman merupakan anak dari Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah. Nyai Fatimah merupakan saudara perempuan dari Tumenggung Surapati Panglima Dayak (Siang) dalam Perang Barito. Muhammad Seman dinobatkan sebagai sultan untuk memimpin perlawanan terhadap Belanda di tanah Barito. Sultan Muhammad Seman dikenal gigih dan berani dalam berperang menghadapi pasukan Belanda.

“Selain bertempur melawan Belanda, Sultan Muhammad Seman juga aktif dalam berdakwa, menyebarkan agama Islam di wilayah hulu Barito, sebagai pewaris haram manyarah Waja Sampai Kaputing,” kata Ustaz Sampurna Irawan atau Guru Kiang saat ditemui di Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya (Mura), Kamis (6/4).

Dari berbagai literatur disebutkan bahwa Sultan Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar (Kerajaan Kastapura) dalam pemerintahan periode 1862-1905. Ada juga versi lain yang menyebut masa pemerintahnya 1875-1905. Sultan Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar berdarah Dayak dari pihak ibu. Ia meneruskan perjuangan ayahnya untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Banjar dan Barito.

Baca Juga :  Serang Benteng Terapung Sangkai demi Bela Tanah Pagustian

Tentunya Sultan Muhammad Seman tak sendirian berjuang. Ia berperang bersama pejuang lainnya, seperti Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari dan lainnya. Mereka terus menggempur pertahanan Belanda di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan wilayah sepanjang Sungai Barito.

Sekitar Agustus 1883, Sultan Muhammad Seman bersama pasukannya melakukan operasi di daerah Dusun Hulu. Kemudian bergerak ke arah Telok Mayang. Sultan yang dikenal gigih dan berani berperang ini, bersama pasukannya terus maju dan beberapa kali melancarkan serangan ke pos penjajah Belanda di Muara Teweh. (bersambung/ce/ala)

Perjuangan menggempur para serdadu Belanda di tanah Barito terus berlanjut. Setelah Pangeran Antasari dan pejuang lainnya wafat, perlawanan dilanjutkan oleh tokoh Islam berdarah Dayak, Muhammad Seman. Putra dari Pangeran Antasari ini bersama rakyat terus bertempur dengan pasukan penjajah.

DADANG, Puruk Cahu

GERAKAN perjuangan melawan penjajah Belanda di wilayah Kesultanan Banjar yang meliputi wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Kalimantan Tengah (Kalteng), berlangsung antara tahun 1859 hingga tahun 1905. Pertempuran yang tercatat dalam sejarah ini dikenal juga dengan sebutan Perang Banjar-Barito. Pangeran Antasari merupakan salah satu tokoh Islam yang juga merupakan Raja Kesultanan Banjar. Ia terkenal gigih dan berani bertempur melawan pasukan Belanda. Pahlawan nasional ini diketahui wafat pada 11 Oktober 1862, pada usia 53 tahun.

Setelah Pangeran Antasari wafat, perlawanan terhadap Belanda masih terus berlanjut. Perjuangan dilanjutkan oleh putranya, Muhammad Seman. Ia dikenal dengan nama lahirnya adalah Gusti Matseman, sebagai penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda. Kala itu Pemerintahan Banjar terletak di Muara Teweh, hulu Sungai Barito.

Baca Juga :  Berdakwah Sejak Zaman Kerajaan Kutaringin

Sultan Muhammad Seman merupakan anak dari Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah. Nyai Fatimah merupakan saudara perempuan dari Tumenggung Surapati Panglima Dayak (Siang) dalam Perang Barito. Muhammad Seman dinobatkan sebagai sultan untuk memimpin perlawanan terhadap Belanda di tanah Barito. Sultan Muhammad Seman dikenal gigih dan berani dalam berperang menghadapi pasukan Belanda.

“Selain bertempur melawan Belanda, Sultan Muhammad Seman juga aktif dalam berdakwa, menyebarkan agama Islam di wilayah hulu Barito, sebagai pewaris haram manyarah Waja Sampai Kaputing,” kata Ustaz Sampurna Irawan atau Guru Kiang saat ditemui di Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya (Mura), Kamis (6/4).

Dari berbagai literatur disebutkan bahwa Sultan Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar (Kerajaan Kastapura) dalam pemerintahan periode 1862-1905. Ada juga versi lain yang menyebut masa pemerintahnya 1875-1905. Sultan Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar berdarah Dayak dari pihak ibu. Ia meneruskan perjuangan ayahnya untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Banjar dan Barito.

Baca Juga :  Serang Benteng Terapung Sangkai demi Bela Tanah Pagustian

Tentunya Sultan Muhammad Seman tak sendirian berjuang. Ia berperang bersama pejuang lainnya, seperti Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari dan lainnya. Mereka terus menggempur pertahanan Belanda di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan wilayah sepanjang Sungai Barito.

Sekitar Agustus 1883, Sultan Muhammad Seman bersama pasukannya melakukan operasi di daerah Dusun Hulu. Kemudian bergerak ke arah Telok Mayang. Sultan yang dikenal gigih dan berani berperang ini, bersama pasukannya terus maju dan beberapa kali melancarkan serangan ke pos penjajah Belanda di Muara Teweh. (bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/