Gereja Imanuel, lanjut Uhing, digagas dan dirancang sendiri oleh C.C. Hendrich. Dilatarbelakangi oleh motivasi membangun rumah ibadah bagi jemaat di lingkungan sekitar. Gereja yang selanjutnya dinamakan Gereja Imanuel itu kemudian menjadi gereja tertua di Kalimantan sekaligus titik awal penyebaran agama Kristen di Kalteng.
Hanya bermodalkan dana seadanya yang dikumpulkan dari jemaat setempat. Saat itu terkumpul dana 70 gulden. Lalu ditambah bantuan dana dari teman-teman Hendrich di Jerman.
“Tahun 1875 mulai merealisasikan pembangunan gereja ini, selesai dikerjakan tahun 1876, hanya beratapkan daun rumbia tanpa dinding,” jelasnya.
Pembangunan gereja selesai akhir Februari 1876. Memakan waktu kurang lebih setahun. Penahbisan gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai dilaksanakan 3 Desember 1876. Sejak saat itu jemaat mulai menggunakan Gereja Imanuel GKE Mandomai sebagai tempat ibadah.
Kemudian pada tahun 1905, misionaris C Hendrich, anak dari C.C. Hendrich, menggantikan atap gereja menjadi atap sirap.
Tahun 1930, banguna gereja direnovasi. Tak hanya perbaikan, tapi juga ada penambahan luas bangunan. Proses itu dipimpin oleh misionaris S Weisser dari Zending Basel, Swiss. Penambahan luas bangunan menjadi 24×12 meter guna menambah kapasitas/daya tampung, mempertimbangkan jumlah jemaat yang terus bertambah. Namun Uhing tidak mengetahui pasti luas awal bangunan gereja sebelum dilakukan penambahan. Pada berbagai referensi pun fakta itu tidak ditemukan. Selain perluasan, juga dilakukan pembuatan candi kiri dan kanan seluas 15 meter persegi. Dari yang semula hanya ada satu candi menjadi tiga candi.
Selanjutnya tahun 1972, Pdt Sudjarwadi IM SMTh melakukan perbaikan gereja meliputi pelapisan sebagian lantai dengan sistem saluang murik (saling silang), mengganti sebagian tongkat, dan memasang instalasi listrik. Perbaikan saat itu mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui Departemen Agama RI.