Kamis, Mei 16, 2024
32.8 C
Palangkaraya

Lestarikan Hutan Adat, Dishut Siap Fasilitasi Pemkab Verifikasi MHA

Menjaga Rimba dari Keserakahan Manusia

PALANGKA RAYA-Sejak tahun 1970, luas tutupan rimba atau hutan di Kalimantan Tengah (Kalteng) terus berkurang. Penyusutan itu diakibatkan keserahakan manusia melalui perusahaan penebangan kayu, serta masifnya pertumbuhan industri perkebunan dan pertambangan di Bumi Tambun Bungai. Kondisi itu tak jarang memunculkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Kalteng Ferdi Yudianto membenarkan, di Kalteng sudah sering terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan maupun pertambangan terkait penyerobotan lahan dan hutan adat.

Ferdi menyinggung sejumlah kasus yang pernah terjadi. Mulai dari kasus di Desa Kinipan antara warga dengan PT SML, kasus PT HMBP II di Desa Bangkal dan PT Indexim di Muara Mea, serta kasus-kasus lain terkait penyerobotan tanah-tanah adat oleh perusahaan.

Konflik-konflik terkait lahan dan hutan adat antara warga dengan pihak perusahaan yang terjadi di Kalteng, hampir sama dengan peristiwa yang terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

“Sebenarnya kasus seperti itu (Pulau Rempang) sudah terjadi di Kalteng, hanya saja tidak sekasar perlakuan yang terjadi di Rempang (Batam) yang merelokasi, atau kata kasarnya mengusir masyarakat dari tanah leluhur,” ujar Ferdi saat berbincang dengan Kalteng Pos, Rabu (20/9).

Di Kalteng, kata Ferdi, penyerobotan wilayah adat dan ruang-ruang hidup masyarakat sering terjadi, meski tidak sampai ke tahap merelokasi paksa masyarakat di sekitar hutan dan tanah adat. Menurut Ferdi, apabila penyelesaian konflik tenurial di Kalteng tidak ditangani secara serius, ataupun negara tetap dengan kebijakannya, menyerahkan ruang-ruang hidup yang sudah dimiliki oleh masyarakat adat  kepada pihak perusahaan, maka ia meyakini pecahnya konflik di Kalteng karena persoalan  penyerobotan lahan dan tanah adat tinggal menunggu waktu saja.

“Bisa saja di Kalteng pecah konflik lebih besar dari yang terjadi di pulau lain selama ini,” ucapnya.

Oleh sebab itu, lanjut Ferdi, untuk menjaga kelestarian tanah dan hutan adat di Kalteng, pemerintah perlu menyerahkan sepenuhnya pengelolaan tanah dan hutan adat kepada masyarakat. Demi menjamin dan melindungi hak masyarakat dalam mengelola hutan dan tanah leluhur, maka pemerintah daerah perlu membuat aturan atau regulasi demi mengatur dan menjamin hak pengelolaan hutan dan tanah adat oleh masyarakat.

“Jika ingin memastikan hutan terjaga dan tetap lestari, cukup berikan akses pengelolaan secara langsung kepada masyarakat adat,” katanya.

Ferdi mengatakan bahwa demi menjamin hak dari masyarakat terutama masyarakat adat dalam mengelola hutan dan tanah di wilayah adat, maka pemerintah pusat maupun daerah harus segera membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur. “Misalnya di tingkat pusat, pemerintah perlu segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat,” terangnya.

Untuk di tingkat daerah, lanjutnya, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota perlu segera membuat raperda terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

“Kepala daerah juga harus segera mengeluarkan surat keputusan terkait penetapan masyarakat adat,” tegasnya.

Lembaga negara seperti Kementerian KLHK, kata Ferdi, perlu untuk mengeluarkan aturan yang mengatur wilayah atau daerah yang ditetapkan memiliki hutan dan tanah adat. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah juga bisa mengevaluasi semua perizinan yang berkaitan dengan penggunaan hutan adat.

“Bahkan jika perlu pemerintah mencabut regulasi atau kebijakan yang bisa merugikan hak masyarakat adat dalam mengelola tanah dan hutan adat,” tegasnya.

Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng menyoroti konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Kinipan dengan perusahaan dan pemerintah setempat. Hal itu merupakan representasi dari buruknya perhatian pemerintah terhadap masyarakat adat.

“Pemerintah, dalam hal ini kepala daerah, masih tidak berpihak kepada masyarakat adat, karena keputusan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) ada lewat SK bupati dan atau peraturan daerah (perda). Sudah menjadi kewenangan kepala daerah untuk mengeluarkan itu,” jelas Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata saat dihubungi Kalteng Pos, Rabu (20/9).

Baca Juga :  Pemulangan Jamaah Haji Kalteng Mulai 12 Juli

Menurutnya, dalam aksi demonstrasi yang digelar masyarakat adat Laman (desa) Kinipan pada Selasa kemarin, ditujukan untuk mengingatkan bupati setempat agar menjalankan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik dan pengakuan masyarakat adat Laman Kinipan maupun wilayah lain di Kabupaten Lamandau.

“Pengakuan MHA di Kabupaten Lamandau, khususnya kepada MHA Laman Kinipan, tidak terlihat adanya keseriusan dari pemerintah,” ujarnya.

Dikatakan Bayu, sebetulnya sudah terbentuk panitia pengakuan MHA di kabupaten setempat. Namun proses-proses untuk pengakuan itu tidak dijalankan dengan baik oleh pihak panitia dan terkait. Dengan demikian, lanjut Bayu, keberpihakan pemerintah terhadap pengakuan dan perlindungan MHA di Kabupaten Lamandau masih lemah.

“Dari banyak kasus konflik antara masyarakat dengan perusahaan yang terjadi di Lamandau, pemerintah masih sebatas menjadi fasilitator, mereka belum bisa berperan melindungi dan memastikan terpenuhinya hak-hak masyarakat adat,” ujarnya.

Menurut Bayu, konflik antara MHA Laman Kinipan dan PT SML sudah terjadi cukup lama. Sudah banyak pihak yang ikut membantu penyelesaian. Terakhir, ada pertemuan antara DPR RI, Kementerian LHK, dan Pemkab Lamandau, serta masyarakat setempat.

“Dalam pertemuan itu sebetulnya sudah ada rekomendasi penyelesaian. Sayangnya, belum juga dijalankan oleh pemkab setempat. Salah satunya terkait pencanangan hutan adat bagi komunitas Laman Kinipan yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti,” terangnya.

Bayu Herinata berpendapat, upaya pengakuan dan perlindungan MHA harus dipercepat. Jika tidak, maka potensi konflik antara masyarakat dengan korporasi akan makin besar.

“Seiring ruang-ruang atau wilayah kelola rakyat makin mengecil dan berubah fungsi dan dikonversi menjadi wilayah korporasi, ruang hidup masyarakat adat akan makin kecil, potensi konflik pun akan makin besar,” ucapnya.

Pemerhati masyarakat adat, Destano menjelaskan, hutan adat atau tanah adat terbagi dalam dua versi, yakni berdasarkan klasifikasi dari negara dan berdasarkan sudut pandang masyarakat adat itu sendiri. Masih cukup banyak hutan adat di Kalteng yang belum diakui, seperti yang ada di Kinipan. Tentu hal itu menjadi persoalan yang selalu dihadapi komunitas masyarakat adat di Indonesia, termasuk Kalteng. Menurut Destano, semestinya ada “political will” dari pemerintah daerah maupun pusat untuk segera mungkin memberikan pengakuan. Jangan sampai kegaduhan terus berlanjut.

“Political will sangat dituntut dari para pemimpin daerah, pemerintah pusat juga semestinya melihat ada terobosan, misalnya ada hutan adat yang dikehendaki oleh masyarakat seperti di Kinipan,” terangnya.

Selama ini, lanjutnya, masyarakat telah mengelola hutan adat dengan semestinya. Misalnya, tiap masyarakat adat sudah membagi tata guna dan tata kelola yang berkaitan dengan hutan adat itu sendiri. Seperti wilayah untuk bertani, wilayah untuk berkebun, wilayah untuk berkomunikasi dengan leluhur, dan sebagainya. Namun aktivitas seperti itu sering kali tidak dipahami oleh negara, sehingga hutan adat terlihat seperti diabaikan atau ditelantarkan. Pandangan demikian membuat masyarakat adat terlihat tidak mengelola.

“Poin pentingnya, yang sudah mereka tentukan sebagai wilayah adat, pasti ada fungsi tata guna dan tata kelolanya. Istilah lahan telantar itu tidak dikenal oleh masyarakat adat. Misalnya, kalau bertambah jumlah anggota masyarakat adat, maka lahan yang ada akan dipergunakan untuk perkampungan atau perumahan,” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakan Destano, hal seperti itulah yang justru tidak terbaca oleh negara selama ini. Sehingga sering muncul konflik yang tak berujung, karena tidak ada keinginan dari penyelenggara negara untuk ingin melihat dari sudut pandang masyarakat adat.

Hutan adat yang diserobot oleh pemerintah atau pihak swasta, salah satunya di Kinipan, tidak terekspos. Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah memutuskan mengenai peraturan tersebut, tetapi tak jarang fakta lapangan justru diabaikan. Negara tetap saja melihat bahwa pembangunan harus menggunakan indikator pengembangan ekonomi, dan tidak melihat masalah social cost dan ecology cost-nya. Padahal, saat terjadi dampak besar dari pelaksanaan suatu program pemerintah maupun aktivitas swasta, yang paling terdampak dan yang dirugikan adalah masyarakat adat di sekitar.

Baca Juga :  Kreativitas dan Kemampuan Adaptasi Anak-Anak Perlu Didorong

Destano menuturkan, konflik yang sering terjadi merupakan bentuk perlawanan masyarakat. Apabila tidak terselesaikan dengan tuntas, maka akan memicu konflik di daerah lain juga. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan kasus Rempang di Batam dapat terjadi juga di Kalteng. Apabila hak masyarakat lokal tidak terpenuhi, justru akan menjadi masalah yang harus diperhitungkan oleh penyelenggara negara, mulai dari tingkat desa hingga nasional.

“Apabila diabaikan, akan berpengaruh bagi kestabilan politik, ekonomi, dan sebagainya. Mungkin pada beberapa kasus, misalnya masyarakat terbatas SDM dan kemampuan perlawanan, persoalan seperti itu tidak akan mencuat dan hanya dimainkan dengan berbagai macam prakondisi oleh pihak berkepentingan. Namun di beberapa wilayah yang masyarakatnya punya solidaritas tinggi, konflik akan begitu mudah pecah, seperti di Rempang dan Kinipan,” tukasnya.

Sementara itu, Dinas Kehutanan (Dishut) Kalteng pun mengaku proaktif memfasilitasi kabupaten/kota untuk melakukan verifikasi MHA di wilayah masing-masing. Kepala Dishut Kalteng Agustan Saining mengatakan, pihaknya aktif mendorong pemerintah kabupaten (pemkab) untuk membuat surat keputusan (SK) atau peraturan daerah (perda) terkait MHA atau hutan adat. Langkah pertama yang dilakukan yakni melalui surat gubernur kepada bupati/wali kota, meminta membentuk panitia MHA dalam rangka memfasilitasi dan memverifikasi keberadaan MHA di wilayah masing-masing.

“Tiap tahun dishut mengadakan sosialisasi di tingkat tapak (18 UPT KPH) di kabupaten/kota terkait kebijakan penetapan hutan adat,” beber Agustan kepada Kalteng Pos, Senin (25/9).

Agustan menjelaskan, sejak tahun 2020, pihaknya telah memfasilitasi program dan anggaran penyusunan naskah akademik dan rancangan perda (raperda) pengakuan masyarakat hukum adat di 14 kabupaten/kota sebagai cikal bakal penetapan hutan adat di kabupaten/kota.

“Sampai dengan akhir 2022, tersisa tiga kabupaten yang belum selesai, tetapi sudah diprogramkan untuk tahun 2023,” sebutnya.

Dikatakannya, sejauh ini hutan adat yang telah ditetapkan berjumlah 16. Dengan rincian, 1 hutan adat di Pulang Pisau, 14 di Gunung Mas, dan 1 di Palangka Raya.

“Pada dasarnya kami (Dishut Kalteng, red) menyambut baik yang dilakukan Kementerian LHK, yakni menetapkan 15 status hutan adat seluas kurang lebih 68.326 hektare di Kabupaten Gunung Mas,” ungkapnya.

Menurut Agustan, dengan adanya penetapan status hutan adat, maka Gunung Mas tercatat sebagai kabupaten yang memiliki hutan adat terluas se-Indonesia.

Penetapan 15 status hutan adat di Kabupaten Gumas merupakan salah satu capaian positif, karena dalam kurung waktu tidak terlalu lama atau kurang lebih lima bulan, 10 Februari – 8 Agustus 2023, hutan adat di daerah setempat telah ditetapkan.

Dengan penetapan status itu, lanjut Agustan, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat sekitar hutan dan sebagai warisan kepada anak cucu di kemudian hari.

Agustan mengakui masyarakat hukum adat dengan segala dinamikanya saat ini makin mengemuka dalam tata kehidupan sosial ekonomi di Indonesia. Kearifan lokal dan pengetahuan lokal yang selama ini dijaga, dihayati, dan dilakukan oleh MHA merupakan penyeimbang dari globalisasi dan modernisasi yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi geografis, budaya, maupun sosial suatu wilayah.

“Penetapan status hutan adat di Kabupaten Gunung Mas merupakan kerja bersama antara  Kementerian LHK, Pemprov Kalteng, Pemkab Gumas, tim terpadu, lembaga terkait, dan masyarakat hukum adat,” jelasnya.

Kendala yang dihadapi dalam pengusulan hutan adat di Kalteng, yakni masih belum ditetapkannya perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di beberapa kabupaten. “Alasan lainnya, ada wilayah hutan adat yang masuk wilayah konsesi atau perizinan perusahan,” pungkasnya. (sja/dan/ovi/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Sejak tahun 1970, luas tutupan rimba atau hutan di Kalimantan Tengah (Kalteng) terus berkurang. Penyusutan itu diakibatkan keserahakan manusia melalui perusahaan penebangan kayu, serta masifnya pertumbuhan industri perkebunan dan pertambangan di Bumi Tambun Bungai. Kondisi itu tak jarang memunculkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Kalteng Ferdi Yudianto membenarkan, di Kalteng sudah sering terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan maupun pertambangan terkait penyerobotan lahan dan hutan adat.

Ferdi menyinggung sejumlah kasus yang pernah terjadi. Mulai dari kasus di Desa Kinipan antara warga dengan PT SML, kasus PT HMBP II di Desa Bangkal dan PT Indexim di Muara Mea, serta kasus-kasus lain terkait penyerobotan tanah-tanah adat oleh perusahaan.

Konflik-konflik terkait lahan dan hutan adat antara warga dengan pihak perusahaan yang terjadi di Kalteng, hampir sama dengan peristiwa yang terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

“Sebenarnya kasus seperti itu (Pulau Rempang) sudah terjadi di Kalteng, hanya saja tidak sekasar perlakuan yang terjadi di Rempang (Batam) yang merelokasi, atau kata kasarnya mengusir masyarakat dari tanah leluhur,” ujar Ferdi saat berbincang dengan Kalteng Pos, Rabu (20/9).

Di Kalteng, kata Ferdi, penyerobotan wilayah adat dan ruang-ruang hidup masyarakat sering terjadi, meski tidak sampai ke tahap merelokasi paksa masyarakat di sekitar hutan dan tanah adat. Menurut Ferdi, apabila penyelesaian konflik tenurial di Kalteng tidak ditangani secara serius, ataupun negara tetap dengan kebijakannya, menyerahkan ruang-ruang hidup yang sudah dimiliki oleh masyarakat adat  kepada pihak perusahaan, maka ia meyakini pecahnya konflik di Kalteng karena persoalan  penyerobotan lahan dan tanah adat tinggal menunggu waktu saja.

“Bisa saja di Kalteng pecah konflik lebih besar dari yang terjadi di pulau lain selama ini,” ucapnya.

Oleh sebab itu, lanjut Ferdi, untuk menjaga kelestarian tanah dan hutan adat di Kalteng, pemerintah perlu menyerahkan sepenuhnya pengelolaan tanah dan hutan adat kepada masyarakat. Demi menjamin dan melindungi hak masyarakat dalam mengelola hutan dan tanah leluhur, maka pemerintah daerah perlu membuat aturan atau regulasi demi mengatur dan menjamin hak pengelolaan hutan dan tanah adat oleh masyarakat.

“Jika ingin memastikan hutan terjaga dan tetap lestari, cukup berikan akses pengelolaan secara langsung kepada masyarakat adat,” katanya.

Ferdi mengatakan bahwa demi menjamin hak dari masyarakat terutama masyarakat adat dalam mengelola hutan dan tanah di wilayah adat, maka pemerintah pusat maupun daerah harus segera membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur. “Misalnya di tingkat pusat, pemerintah perlu segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat,” terangnya.

Untuk di tingkat daerah, lanjutnya, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota perlu segera membuat raperda terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

“Kepala daerah juga harus segera mengeluarkan surat keputusan terkait penetapan masyarakat adat,” tegasnya.

Lembaga negara seperti Kementerian KLHK, kata Ferdi, perlu untuk mengeluarkan aturan yang mengatur wilayah atau daerah yang ditetapkan memiliki hutan dan tanah adat. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah juga bisa mengevaluasi semua perizinan yang berkaitan dengan penggunaan hutan adat.

“Bahkan jika perlu pemerintah mencabut regulasi atau kebijakan yang bisa merugikan hak masyarakat adat dalam mengelola tanah dan hutan adat,” tegasnya.

Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng menyoroti konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Kinipan dengan perusahaan dan pemerintah setempat. Hal itu merupakan representasi dari buruknya perhatian pemerintah terhadap masyarakat adat.

“Pemerintah, dalam hal ini kepala daerah, masih tidak berpihak kepada masyarakat adat, karena keputusan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) ada lewat SK bupati dan atau peraturan daerah (perda). Sudah menjadi kewenangan kepala daerah untuk mengeluarkan itu,” jelas Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata saat dihubungi Kalteng Pos, Rabu (20/9).

Baca Juga :  Pemulangan Jamaah Haji Kalteng Mulai 12 Juli

Menurutnya, dalam aksi demonstrasi yang digelar masyarakat adat Laman (desa) Kinipan pada Selasa kemarin, ditujukan untuk mengingatkan bupati setempat agar menjalankan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik dan pengakuan masyarakat adat Laman Kinipan maupun wilayah lain di Kabupaten Lamandau.

“Pengakuan MHA di Kabupaten Lamandau, khususnya kepada MHA Laman Kinipan, tidak terlihat adanya keseriusan dari pemerintah,” ujarnya.

Dikatakan Bayu, sebetulnya sudah terbentuk panitia pengakuan MHA di kabupaten setempat. Namun proses-proses untuk pengakuan itu tidak dijalankan dengan baik oleh pihak panitia dan terkait. Dengan demikian, lanjut Bayu, keberpihakan pemerintah terhadap pengakuan dan perlindungan MHA di Kabupaten Lamandau masih lemah.

“Dari banyak kasus konflik antara masyarakat dengan perusahaan yang terjadi di Lamandau, pemerintah masih sebatas menjadi fasilitator, mereka belum bisa berperan melindungi dan memastikan terpenuhinya hak-hak masyarakat adat,” ujarnya.

Menurut Bayu, konflik antara MHA Laman Kinipan dan PT SML sudah terjadi cukup lama. Sudah banyak pihak yang ikut membantu penyelesaian. Terakhir, ada pertemuan antara DPR RI, Kementerian LHK, dan Pemkab Lamandau, serta masyarakat setempat.

“Dalam pertemuan itu sebetulnya sudah ada rekomendasi penyelesaian. Sayangnya, belum juga dijalankan oleh pemkab setempat. Salah satunya terkait pencanangan hutan adat bagi komunitas Laman Kinipan yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti,” terangnya.

Bayu Herinata berpendapat, upaya pengakuan dan perlindungan MHA harus dipercepat. Jika tidak, maka potensi konflik antara masyarakat dengan korporasi akan makin besar.

“Seiring ruang-ruang atau wilayah kelola rakyat makin mengecil dan berubah fungsi dan dikonversi menjadi wilayah korporasi, ruang hidup masyarakat adat akan makin kecil, potensi konflik pun akan makin besar,” ucapnya.

Pemerhati masyarakat adat, Destano menjelaskan, hutan adat atau tanah adat terbagi dalam dua versi, yakni berdasarkan klasifikasi dari negara dan berdasarkan sudut pandang masyarakat adat itu sendiri. Masih cukup banyak hutan adat di Kalteng yang belum diakui, seperti yang ada di Kinipan. Tentu hal itu menjadi persoalan yang selalu dihadapi komunitas masyarakat adat di Indonesia, termasuk Kalteng. Menurut Destano, semestinya ada “political will” dari pemerintah daerah maupun pusat untuk segera mungkin memberikan pengakuan. Jangan sampai kegaduhan terus berlanjut.

“Political will sangat dituntut dari para pemimpin daerah, pemerintah pusat juga semestinya melihat ada terobosan, misalnya ada hutan adat yang dikehendaki oleh masyarakat seperti di Kinipan,” terangnya.

Selama ini, lanjutnya, masyarakat telah mengelola hutan adat dengan semestinya. Misalnya, tiap masyarakat adat sudah membagi tata guna dan tata kelola yang berkaitan dengan hutan adat itu sendiri. Seperti wilayah untuk bertani, wilayah untuk berkebun, wilayah untuk berkomunikasi dengan leluhur, dan sebagainya. Namun aktivitas seperti itu sering kali tidak dipahami oleh negara, sehingga hutan adat terlihat seperti diabaikan atau ditelantarkan. Pandangan demikian membuat masyarakat adat terlihat tidak mengelola.

“Poin pentingnya, yang sudah mereka tentukan sebagai wilayah adat, pasti ada fungsi tata guna dan tata kelolanya. Istilah lahan telantar itu tidak dikenal oleh masyarakat adat. Misalnya, kalau bertambah jumlah anggota masyarakat adat, maka lahan yang ada akan dipergunakan untuk perkampungan atau perumahan,” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakan Destano, hal seperti itulah yang justru tidak terbaca oleh negara selama ini. Sehingga sering muncul konflik yang tak berujung, karena tidak ada keinginan dari penyelenggara negara untuk ingin melihat dari sudut pandang masyarakat adat.

Hutan adat yang diserobot oleh pemerintah atau pihak swasta, salah satunya di Kinipan, tidak terekspos. Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah memutuskan mengenai peraturan tersebut, tetapi tak jarang fakta lapangan justru diabaikan. Negara tetap saja melihat bahwa pembangunan harus menggunakan indikator pengembangan ekonomi, dan tidak melihat masalah social cost dan ecology cost-nya. Padahal, saat terjadi dampak besar dari pelaksanaan suatu program pemerintah maupun aktivitas swasta, yang paling terdampak dan yang dirugikan adalah masyarakat adat di sekitar.

Baca Juga :  Kreativitas dan Kemampuan Adaptasi Anak-Anak Perlu Didorong

Destano menuturkan, konflik yang sering terjadi merupakan bentuk perlawanan masyarakat. Apabila tidak terselesaikan dengan tuntas, maka akan memicu konflik di daerah lain juga. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan kasus Rempang di Batam dapat terjadi juga di Kalteng. Apabila hak masyarakat lokal tidak terpenuhi, justru akan menjadi masalah yang harus diperhitungkan oleh penyelenggara negara, mulai dari tingkat desa hingga nasional.

“Apabila diabaikan, akan berpengaruh bagi kestabilan politik, ekonomi, dan sebagainya. Mungkin pada beberapa kasus, misalnya masyarakat terbatas SDM dan kemampuan perlawanan, persoalan seperti itu tidak akan mencuat dan hanya dimainkan dengan berbagai macam prakondisi oleh pihak berkepentingan. Namun di beberapa wilayah yang masyarakatnya punya solidaritas tinggi, konflik akan begitu mudah pecah, seperti di Rempang dan Kinipan,” tukasnya.

Sementara itu, Dinas Kehutanan (Dishut) Kalteng pun mengaku proaktif memfasilitasi kabupaten/kota untuk melakukan verifikasi MHA di wilayah masing-masing. Kepala Dishut Kalteng Agustan Saining mengatakan, pihaknya aktif mendorong pemerintah kabupaten (pemkab) untuk membuat surat keputusan (SK) atau peraturan daerah (perda) terkait MHA atau hutan adat. Langkah pertama yang dilakukan yakni melalui surat gubernur kepada bupati/wali kota, meminta membentuk panitia MHA dalam rangka memfasilitasi dan memverifikasi keberadaan MHA di wilayah masing-masing.

“Tiap tahun dishut mengadakan sosialisasi di tingkat tapak (18 UPT KPH) di kabupaten/kota terkait kebijakan penetapan hutan adat,” beber Agustan kepada Kalteng Pos, Senin (25/9).

Agustan menjelaskan, sejak tahun 2020, pihaknya telah memfasilitasi program dan anggaran penyusunan naskah akademik dan rancangan perda (raperda) pengakuan masyarakat hukum adat di 14 kabupaten/kota sebagai cikal bakal penetapan hutan adat di kabupaten/kota.

“Sampai dengan akhir 2022, tersisa tiga kabupaten yang belum selesai, tetapi sudah diprogramkan untuk tahun 2023,” sebutnya.

Dikatakannya, sejauh ini hutan adat yang telah ditetapkan berjumlah 16. Dengan rincian, 1 hutan adat di Pulang Pisau, 14 di Gunung Mas, dan 1 di Palangka Raya.

“Pada dasarnya kami (Dishut Kalteng, red) menyambut baik yang dilakukan Kementerian LHK, yakni menetapkan 15 status hutan adat seluas kurang lebih 68.326 hektare di Kabupaten Gunung Mas,” ungkapnya.

Menurut Agustan, dengan adanya penetapan status hutan adat, maka Gunung Mas tercatat sebagai kabupaten yang memiliki hutan adat terluas se-Indonesia.

Penetapan 15 status hutan adat di Kabupaten Gumas merupakan salah satu capaian positif, karena dalam kurung waktu tidak terlalu lama atau kurang lebih lima bulan, 10 Februari – 8 Agustus 2023, hutan adat di daerah setempat telah ditetapkan.

Dengan penetapan status itu, lanjut Agustan, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat sekitar hutan dan sebagai warisan kepada anak cucu di kemudian hari.

Agustan mengakui masyarakat hukum adat dengan segala dinamikanya saat ini makin mengemuka dalam tata kehidupan sosial ekonomi di Indonesia. Kearifan lokal dan pengetahuan lokal yang selama ini dijaga, dihayati, dan dilakukan oleh MHA merupakan penyeimbang dari globalisasi dan modernisasi yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi geografis, budaya, maupun sosial suatu wilayah.

“Penetapan status hutan adat di Kabupaten Gunung Mas merupakan kerja bersama antara  Kementerian LHK, Pemprov Kalteng, Pemkab Gumas, tim terpadu, lembaga terkait, dan masyarakat hukum adat,” jelasnya.

Kendala yang dihadapi dalam pengusulan hutan adat di Kalteng, yakni masih belum ditetapkannya perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di beberapa kabupaten. “Alasan lainnya, ada wilayah hutan adat yang masuk wilayah konsesi atau perizinan perusahan,” pungkasnya. (sja/dan/ovi/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/