Minggu, Mei 19, 2024
33 C
Palangkaraya

ITBT Palangka Raya Bawa Pukung Pahewan di Helateater 2023

Menghormati Jenggala lewat Gerak Boneka

PALANGKA RAYA-Bumi Tambun Bungai memiliki banyak kearifan budaya lokal. Salah satunya adalah paradigma turun-temurun masyarakat dalam memandang alam dan lingkungan tempat hidupnya. Suku asli Kalteng, dalam hal ini Dayak, dikisahkan memiliki hubungan yang sangat intim dengan alam.

Bagi masyarakat Dayak, alam tidak diposisikan sebagai sumber semua penghidupan yang eksistensinya ada untuk dieksploitasi sepenuhnya, tapi sebagai teman yang mempunyai simbiosis mutualisme dengan manusia. Keberadaannya diposisikan sebagai sahabat yang harus diayomi dan dijaga. Jika tidak dijaga, akan timbul malapetaka. Begitulah pemikiran masyarakat asli Dayak.

Dalam menjaga alam itu pun, dibutuhkan ritual-ritual tertentu sebagai ciri penghormatan dan penghargaan atas alam. Ritual itu dinamakan dengan Pukung Pahewan. Sebuah konsep lokal masyarakat Dayak di Desa Pilang dan beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalimantan dalam menjaga kelestarian jenggala.

Dalam penerapan konsep itu, masyarakat Dayak menganggap bahwa alam, khususnya hutan, punya kehidupan tersendiri layaknya manusia, yang eksistensinya harus dihormati dan dijaga. Jika tak dijaga, alam akan melakukan perlawanan terhadap manusia. Dalam menjaga dan menghormati itu pun dibutuhkan ritual-ritual tertentu. Konsep inilah yang kemudian diadopsi sebagai seni pertunjukan (teater) oleh Institute Tingang Borneo Theater (ITBT) Palangka Raya.

Ide itu nantinya akan dipentaskan oleh ITBT Palangka Raya dalam ajang perhelatan seni bergengsi di Jakarta bernama Helateater 2023. Helateater adalah festival dua tahunan yang diadakan oleh Salihara untuk menjadi wadah bersaing sehat bagi pelaku teater dari seluruh Indonesia.

Salihara merupakan pusat kesenian multidisiplin milik swasta pertama di Indonesia yang didirikan oleh Goenawan Mohamad, sastrawan dan mantan pemimpin redaksi Majalah Tempo. ITBT akan mementaskan konsep teater yang mereka gagas di Gedung Salihara, Jakarta, pada 4-5 Maret mendatang.

Penggagas ide dan sutradara pertunjukan Abdul Khafizd Amrullah menuturkan pertunjukan ITBT pada Helateater 2023 nantinya, terinspirasi dari budaya Pukung Pahewan, bercerita tentang seorang anak yang memiliki keberanian dan rasa ingin tahu tinggi bernama Himba. Ia tinggal bersama kakeknya yang merupakan seorang pembuat kecapi. Dalam kehidupan sehari-hari, ia dan kakeknya membuat kecapi dengan memanfaatkan kayu yang ada di hutan.

Baca Juga :  Pegawai Lapas Tambal Jalan Berlubang

Suatu hari Himba diajak kakeknya ke hutan mencari kayu untuk bahan pembuatan kecapi. Dalam perjalanan Himba tertarik dengan binatang yang ada di hutan dan ingin membawanya, namun tidak diizinkan oleh sang kakek dan Himba harus melepaskannya.

“Karena rasa penasaran yang tinggi namun terhalang restu sang kakek, keesokan harinya, Himba memutuskan untuk kembali ke hutan sendirian tanpa sepengetahuan kakeknya. Ia akhirnya mendapatkan apa yang ia cari, bersamaan dengan masalah yang datang karena tindakannya,” terang Khafizd kepada Kalteng Pos per telepon , Minggu (26/2).

Cerita ini terinspirasi dari konsep Pukung Pahewan. Konsep ini pertama kali dikenal oleh Khafizd saat berkunjung ke Desa Pilang dan bertemu dengan Bue Iber Djamal. Bue Iber merupakan tokoh masyarakat dan salah satu pejuang pelestarian hutan di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau.

“Beliau salah satu tokoh sangat getol memperjuangkan budaya lokal masyarakat dayak, salah satunya Pukung Pahewan ini dalam melestarikan hutan. Kami sempat diajak beliau berjalan ke dalam hutan lalu melihat beberapa pohon yang ada bekas-bekas ritual, rumah kecil, ada sesajen, dan bendera kuning, kami dijelaskan bahwa itu adalah cara masyarakat Dayak menghormati hutan. Hal itulah yang membuat aku tertarik untuk menyampaikannya melalui seni,” bebernya.

Menurut Khafizd, ketika beberapa pohon di dalam hutan ditaruh sesajen demikian, maka orang-orang tidak akan berani mengganggu hutan tersebut. Cara demikian digunakan sebagai media menghormati eksistensi alam. Sayangnya, konsep kearifan pemikiran lokal ini mengalami tantangan yang cukup berat di era kontemporer seperti saat ini.

Lulusan Teknik Informatika STMIK Amikom Yogyakarta ini mengaku sempat melakukan riset sederhana berkenaan hal ini. Ia mengunjungi beberapa daerah aliran sungai di Kalteng dan bertemu dengan beberapa narasumber, ada sebagian masyarakat yang masih mempercayai konsep ini, namun tidak sedikit juga yang menceritakan bahwa dahulu memang ada tempat yang dikeramatkan seperti Pukung Pahewan, tetapi sekarang tempatnya sudah habis dan tidak ada lagi.

Baca Juga :  Pancasila Sebagai Rumusan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

“Mungkin bagi kita masyarakat modern, hal demikian sudah tidak relevan, pasti ada yang mempertanyakan mengapa harus dibuat begitu dan menganggap tak lebih sekadar mitos, tapi pada akhirnya dampaknya jadi jelek, kita menyepelekan kearifan lokal itu, terus kita nggak menjaga alam,” jelasnya.

Menurut pengamatan Khafizd, konsep Pukung Pahewan juga dimiliki oleh masyarakar DAS lain di Kalimantan, bahkan luar Kalimantan seperti Sumatra. Hanya saja, terjadi perbedaan dalam penyebutan. “Tapi maksudnya sama, pohon itu dikeramatkan sebagai bentuk penghormatan atas eksistensinya di alam,” bebernya.

Hal ini menjadi dasar dari lahirnya pertunjukan bertajuk Himba, yang pihaknya gagas pada perhelatan Helateater 4-5 Maret mendatang. Bagi Khafizd, konsep Pukung Pahewan yang mereka usung menjadi tantangan dalam memproduksi karya Himba. “Kita ada dua kali pertunjukan,” ucapnya.

Dalam konsepnya, Himba mengangkat isu yang cukup berat, yakni paradigma masyarakat dayak dalam menjaga alam, namun dalam penggarapan karyanya akan diolah menjadi ringan. Usai berpikir keras, Khafizd selaku koreografer memilih menyajikan pertunjukan tersebut dengan permainan boneka (puppet) yang dominan, serta dikolaborasikan dengan permainan bayangan, topeng, dan pantomim.

“Pertunjukan ini melibatkan empat pemain boneka yakni Fani Aditya, Lusy Oklivtita, Amanda Dwi, dan Budiyanto. Pertunjukan ini juga berkolaborasi dengan seorang komposer musik etnik Kalteng, Daniel Nuhan,” bebernya.

Pendiri ITBT Palangka Raya itu pada tahun 2013 itu menuturkan, saat ini progress latihan mereka sudah 90 persen. Berangkat ke Jakarta pada 2 Maret mendatang. “Kami terus berlatih, running adegan dari awal sampai akhir, ulang terus, setting musik juga, untuk setting panggung dan pencahayaan akan kami lakukan di lokasi lomba nanti,” tuturnya.(dan/ram)

PALANGKA RAYA-Bumi Tambun Bungai memiliki banyak kearifan budaya lokal. Salah satunya adalah paradigma turun-temurun masyarakat dalam memandang alam dan lingkungan tempat hidupnya. Suku asli Kalteng, dalam hal ini Dayak, dikisahkan memiliki hubungan yang sangat intim dengan alam.

Bagi masyarakat Dayak, alam tidak diposisikan sebagai sumber semua penghidupan yang eksistensinya ada untuk dieksploitasi sepenuhnya, tapi sebagai teman yang mempunyai simbiosis mutualisme dengan manusia. Keberadaannya diposisikan sebagai sahabat yang harus diayomi dan dijaga. Jika tidak dijaga, akan timbul malapetaka. Begitulah pemikiran masyarakat asli Dayak.

Dalam menjaga alam itu pun, dibutuhkan ritual-ritual tertentu sebagai ciri penghormatan dan penghargaan atas alam. Ritual itu dinamakan dengan Pukung Pahewan. Sebuah konsep lokal masyarakat Dayak di Desa Pilang dan beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalimantan dalam menjaga kelestarian jenggala.

Dalam penerapan konsep itu, masyarakat Dayak menganggap bahwa alam, khususnya hutan, punya kehidupan tersendiri layaknya manusia, yang eksistensinya harus dihormati dan dijaga. Jika tak dijaga, alam akan melakukan perlawanan terhadap manusia. Dalam menjaga dan menghormati itu pun dibutuhkan ritual-ritual tertentu. Konsep inilah yang kemudian diadopsi sebagai seni pertunjukan (teater) oleh Institute Tingang Borneo Theater (ITBT) Palangka Raya.

Ide itu nantinya akan dipentaskan oleh ITBT Palangka Raya dalam ajang perhelatan seni bergengsi di Jakarta bernama Helateater 2023. Helateater adalah festival dua tahunan yang diadakan oleh Salihara untuk menjadi wadah bersaing sehat bagi pelaku teater dari seluruh Indonesia.

Salihara merupakan pusat kesenian multidisiplin milik swasta pertama di Indonesia yang didirikan oleh Goenawan Mohamad, sastrawan dan mantan pemimpin redaksi Majalah Tempo. ITBT akan mementaskan konsep teater yang mereka gagas di Gedung Salihara, Jakarta, pada 4-5 Maret mendatang.

Penggagas ide dan sutradara pertunjukan Abdul Khafizd Amrullah menuturkan pertunjukan ITBT pada Helateater 2023 nantinya, terinspirasi dari budaya Pukung Pahewan, bercerita tentang seorang anak yang memiliki keberanian dan rasa ingin tahu tinggi bernama Himba. Ia tinggal bersama kakeknya yang merupakan seorang pembuat kecapi. Dalam kehidupan sehari-hari, ia dan kakeknya membuat kecapi dengan memanfaatkan kayu yang ada di hutan.

Baca Juga :  Pegawai Lapas Tambal Jalan Berlubang

Suatu hari Himba diajak kakeknya ke hutan mencari kayu untuk bahan pembuatan kecapi. Dalam perjalanan Himba tertarik dengan binatang yang ada di hutan dan ingin membawanya, namun tidak diizinkan oleh sang kakek dan Himba harus melepaskannya.

“Karena rasa penasaran yang tinggi namun terhalang restu sang kakek, keesokan harinya, Himba memutuskan untuk kembali ke hutan sendirian tanpa sepengetahuan kakeknya. Ia akhirnya mendapatkan apa yang ia cari, bersamaan dengan masalah yang datang karena tindakannya,” terang Khafizd kepada Kalteng Pos per telepon , Minggu (26/2).

Cerita ini terinspirasi dari konsep Pukung Pahewan. Konsep ini pertama kali dikenal oleh Khafizd saat berkunjung ke Desa Pilang dan bertemu dengan Bue Iber Djamal. Bue Iber merupakan tokoh masyarakat dan salah satu pejuang pelestarian hutan di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau.

“Beliau salah satu tokoh sangat getol memperjuangkan budaya lokal masyarakat dayak, salah satunya Pukung Pahewan ini dalam melestarikan hutan. Kami sempat diajak beliau berjalan ke dalam hutan lalu melihat beberapa pohon yang ada bekas-bekas ritual, rumah kecil, ada sesajen, dan bendera kuning, kami dijelaskan bahwa itu adalah cara masyarakat Dayak menghormati hutan. Hal itulah yang membuat aku tertarik untuk menyampaikannya melalui seni,” bebernya.

Menurut Khafizd, ketika beberapa pohon di dalam hutan ditaruh sesajen demikian, maka orang-orang tidak akan berani mengganggu hutan tersebut. Cara demikian digunakan sebagai media menghormati eksistensi alam. Sayangnya, konsep kearifan pemikiran lokal ini mengalami tantangan yang cukup berat di era kontemporer seperti saat ini.

Lulusan Teknik Informatika STMIK Amikom Yogyakarta ini mengaku sempat melakukan riset sederhana berkenaan hal ini. Ia mengunjungi beberapa daerah aliran sungai di Kalteng dan bertemu dengan beberapa narasumber, ada sebagian masyarakat yang masih mempercayai konsep ini, namun tidak sedikit juga yang menceritakan bahwa dahulu memang ada tempat yang dikeramatkan seperti Pukung Pahewan, tetapi sekarang tempatnya sudah habis dan tidak ada lagi.

Baca Juga :  Pancasila Sebagai Rumusan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

“Mungkin bagi kita masyarakat modern, hal demikian sudah tidak relevan, pasti ada yang mempertanyakan mengapa harus dibuat begitu dan menganggap tak lebih sekadar mitos, tapi pada akhirnya dampaknya jadi jelek, kita menyepelekan kearifan lokal itu, terus kita nggak menjaga alam,” jelasnya.

Menurut pengamatan Khafizd, konsep Pukung Pahewan juga dimiliki oleh masyarakar DAS lain di Kalimantan, bahkan luar Kalimantan seperti Sumatra. Hanya saja, terjadi perbedaan dalam penyebutan. “Tapi maksudnya sama, pohon itu dikeramatkan sebagai bentuk penghormatan atas eksistensinya di alam,” bebernya.

Hal ini menjadi dasar dari lahirnya pertunjukan bertajuk Himba, yang pihaknya gagas pada perhelatan Helateater 4-5 Maret mendatang. Bagi Khafizd, konsep Pukung Pahewan yang mereka usung menjadi tantangan dalam memproduksi karya Himba. “Kita ada dua kali pertunjukan,” ucapnya.

Dalam konsepnya, Himba mengangkat isu yang cukup berat, yakni paradigma masyarakat dayak dalam menjaga alam, namun dalam penggarapan karyanya akan diolah menjadi ringan. Usai berpikir keras, Khafizd selaku koreografer memilih menyajikan pertunjukan tersebut dengan permainan boneka (puppet) yang dominan, serta dikolaborasikan dengan permainan bayangan, topeng, dan pantomim.

“Pertunjukan ini melibatkan empat pemain boneka yakni Fani Aditya, Lusy Oklivtita, Amanda Dwi, dan Budiyanto. Pertunjukan ini juga berkolaborasi dengan seorang komposer musik etnik Kalteng, Daniel Nuhan,” bebernya.

Pendiri ITBT Palangka Raya itu pada tahun 2013 itu menuturkan, saat ini progress latihan mereka sudah 90 persen. Berangkat ke Jakarta pada 2 Maret mendatang. “Kami terus berlatih, running adegan dari awal sampai akhir, ulang terus, setting musik juga, untuk setting panggung dan pencahayaan akan kami lakukan di lokasi lomba nanti,” tuturnya.(dan/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/