Minggu, Mei 19, 2024
23.7 C
Palangkaraya

Belum Sempat Berdakwah ke Wilayah Hulu Kotawaringin

Perjuangan Kiai Gede menyiarkan agama Islam di Tanah Borneo tidaklah mudah. Selain terkendala geografis, tantangan lainnya adalah logistik. Hal itulah yang menyebabkan dakwah Kiai Gede belum sampai ke daerah-daerah hulu, seperti daerah hulu Sungai Arut yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Arut Utara (Aruta).

RUSLAN, Pangkalan Bun

WILAYAH Aruta pada masa itu masih belum bisa ditaklukkan, lantaran terbentur adat dan budaya yang dianut oleh masyarakat lokal di hulu sungai. Apalagi sistem pendekatan dalam menyebarkan Islam kala itu lebih menekankan cara pendekatan kepada masyarakat.

“Karena sistem penyebaran Islam saat itu masih sama dengan konsep yang dilakukan oleh para sunan dalam menyebarkan ajaran Islam kala itu,” kata pemerhati sejarah, Agus Tadi Saputra, kepada Kalteng Pos.

Konsep sunan dalam menyebarkan agama Islam memiliki ciri khas tersendiri. Di antaranya dengan berbuat baik atau berbagi dengan masyarakat. Misalnya dengan memberi sarung, makanan, atau benda lainnya untuk menarik simpati warga. Artinya lebih kepada pendekatan persuasif. Bukan dengan mengunakan kekerasan dalam menyebarkan ajaran Islam.

Baca Juga :  Melihat Penjualan Jagung Menjelang Pergantian Tahun

Meski dianggap berhasil dalam menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah Kotawaringin, tapi layaknya manusia biasa, jejak Kiai Gede dalam menyebarkan Islam hanya sementara waktu di wilayah hulu (pehuluan) Sungai Arut dan hulu Sungai Lamandau (sekarang Kecamatan Arut Utara, Kotawaringin Barat dan sebagian masuk kabupaten Lamandau).

Kalangan sejarawan berpendapat bahwa dalam penyebaran Islam, sosok Kiai Gede melakukan pendekatan persaudaraan dan dagang. Pendekatan dagang yakni dengan menukar (barter) bahan dagang dan barang yang saat itu dibutuhkan untuk dibagikan kepada warga. Karena itulah metode dakwah yang digunakan Kiai Gede diyakini mirip dengan dakwah yang dilakukan oleh sunan dalam menyebarluaskan Islam di Pulau Jawa, yakni dengan memberikan bahan kebutuhan serta benda berharga untuk menarik simpati.

“Sebenarnya perjuangan Kiai Gede dalam mensyiarkan Islam di wilayah Kotawaringin saat itu masih belum sempat selesai, perjuangan beliau masih panjang, karena pada masa itu ajaran Islam belum berhasil masuk ke wilayah hulu Sungai Arut hingga sebagian Kabupaten Lamandau ,” kata Agus Tadi Saputra.

Baca Juga :  Tujuh Ikan Sapan (Langka) Menjadi Santapan

Karena kehabisan bahan untuk diberikan kepada masyarakat lokal, membuat Kiai Gede dan Tonggara Mandi (ayahnya) belum bisa menyebarkan ajaran Islam ke kawasan tersebut.

“Belum sempat menaklukan wilayah hulu Kotawaringin, Kiai Gede bersama ayahnya Tonggara Mandi yang merupakan manteri Kesultanan Banjar terlebih dahulu menyampaikan tingkat keberhasilan mereka dalam syiar Islam di wilayah Kecamatan Kotawaringin, khususnya di kampung sekitar sungai yang bisa dijangkau,” beber Agus.

Saat itu Kesultanan Banjar memang memiliki rencana membangun cabang kerajaan. Laporan dari Kiai Gede dan ayahnya kemudian ditindaklanjuti oleh Kesultanan Banjar dengan mengutus Pangeran Antakusuma (raja pertama Kesultanan Kutaringin) dan beberapa menteri dari Kesultanan Banjar untuk melihat lokasi yang tepat untuk pembangunan kerajaan baru di wilayah Kotawaringin sebagai perluasan dari Kesultanan Banjar. Alhasil wilayah hulu yang saat ini dikenal dengan nama Kecamatan Arut Utara belum sempat masuk ajaran Islam. (bersambung/ce/ala)

Perjuangan Kiai Gede menyiarkan agama Islam di Tanah Borneo tidaklah mudah. Selain terkendala geografis, tantangan lainnya adalah logistik. Hal itulah yang menyebabkan dakwah Kiai Gede belum sampai ke daerah-daerah hulu, seperti daerah hulu Sungai Arut yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Arut Utara (Aruta).

RUSLAN, Pangkalan Bun

WILAYAH Aruta pada masa itu masih belum bisa ditaklukkan, lantaran terbentur adat dan budaya yang dianut oleh masyarakat lokal di hulu sungai. Apalagi sistem pendekatan dalam menyebarkan Islam kala itu lebih menekankan cara pendekatan kepada masyarakat.

“Karena sistem penyebaran Islam saat itu masih sama dengan konsep yang dilakukan oleh para sunan dalam menyebarkan ajaran Islam kala itu,” kata pemerhati sejarah, Agus Tadi Saputra, kepada Kalteng Pos.

Konsep sunan dalam menyebarkan agama Islam memiliki ciri khas tersendiri. Di antaranya dengan berbuat baik atau berbagi dengan masyarakat. Misalnya dengan memberi sarung, makanan, atau benda lainnya untuk menarik simpati warga. Artinya lebih kepada pendekatan persuasif. Bukan dengan mengunakan kekerasan dalam menyebarkan ajaran Islam.

Baca Juga :  Melihat Penjualan Jagung Menjelang Pergantian Tahun

Meski dianggap berhasil dalam menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah Kotawaringin, tapi layaknya manusia biasa, jejak Kiai Gede dalam menyebarkan Islam hanya sementara waktu di wilayah hulu (pehuluan) Sungai Arut dan hulu Sungai Lamandau (sekarang Kecamatan Arut Utara, Kotawaringin Barat dan sebagian masuk kabupaten Lamandau).

Kalangan sejarawan berpendapat bahwa dalam penyebaran Islam, sosok Kiai Gede melakukan pendekatan persaudaraan dan dagang. Pendekatan dagang yakni dengan menukar (barter) bahan dagang dan barang yang saat itu dibutuhkan untuk dibagikan kepada warga. Karena itulah metode dakwah yang digunakan Kiai Gede diyakini mirip dengan dakwah yang dilakukan oleh sunan dalam menyebarluaskan Islam di Pulau Jawa, yakni dengan memberikan bahan kebutuhan serta benda berharga untuk menarik simpati.

“Sebenarnya perjuangan Kiai Gede dalam mensyiarkan Islam di wilayah Kotawaringin saat itu masih belum sempat selesai, perjuangan beliau masih panjang, karena pada masa itu ajaran Islam belum berhasil masuk ke wilayah hulu Sungai Arut hingga sebagian Kabupaten Lamandau ,” kata Agus Tadi Saputra.

Baca Juga :  Tujuh Ikan Sapan (Langka) Menjadi Santapan

Karena kehabisan bahan untuk diberikan kepada masyarakat lokal, membuat Kiai Gede dan Tonggara Mandi (ayahnya) belum bisa menyebarkan ajaran Islam ke kawasan tersebut.

“Belum sempat menaklukan wilayah hulu Kotawaringin, Kiai Gede bersama ayahnya Tonggara Mandi yang merupakan manteri Kesultanan Banjar terlebih dahulu menyampaikan tingkat keberhasilan mereka dalam syiar Islam di wilayah Kecamatan Kotawaringin, khususnya di kampung sekitar sungai yang bisa dijangkau,” beber Agus.

Saat itu Kesultanan Banjar memang memiliki rencana membangun cabang kerajaan. Laporan dari Kiai Gede dan ayahnya kemudian ditindaklanjuti oleh Kesultanan Banjar dengan mengutus Pangeran Antakusuma (raja pertama Kesultanan Kutaringin) dan beberapa menteri dari Kesultanan Banjar untuk melihat lokasi yang tepat untuk pembangunan kerajaan baru di wilayah Kotawaringin sebagai perluasan dari Kesultanan Banjar. Alhasil wilayah hulu yang saat ini dikenal dengan nama Kecamatan Arut Utara belum sempat masuk ajaran Islam. (bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/