Senin, Mei 20, 2024
30.5 C
Palangkaraya

Mengenang H Muhammad Qurthubi, Ulama Karismatik yang Wafat di Kota Cantik (2)

Tekun Ajarkan Tarekat Junaidiyah, Pengajian Masih Aktif

Tarekat Junaidiyah merupakan satu dari sekian banyak tarekat yang berkembang di Indonesia. Guru H Muhammad Qurthubi adalah ulama yang membesarkan tarekat ini di Bumi Tambun Bungai, khususnya di Kota Palangka Raya dan Pulang Pisau (Pulpis).

IRPAN JURAYZ, Palangka Raya

TAREKAT Junaidiyah memiliki daya tarik tersendiri bagi para pengikutnya, karena amalan-amalan yang dijalankan dipandang sangat mudah, tidak eksklusif, serta sangat kompromistis dengan situasi kehidupan modern. Tarekat ini sangat mengedepankan syari’at dengan acuan utama Al-Qur’an dan hadis Rasul.

“Amalannya sederhana sehingga relatif mudah dikerjakan oleh siapa saja dengan beragam kesibukan,” ucap Cecep Zakarias El Bilad, penulis buku Tarekat Junaidiyah.

Cecep yang juga merupakan salah satu pengikut Tarekat Junaidiyah ini menjelaskan bagaimana perkembangan ajaran tersebut. Disebutkannya bahwa pendiri Tarekat Junaidiyah adalah Junaidi Al-Baghdadi. Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi. Di Indonesia, Tarekat Junaidiyah mulanya masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan, tepatnya di Banua Anyar Alabio. Dibawa oleh guru yang lama tinggal di Tanah Arab (Makkah), H Kasyful Anwar Firdaus (1902-1974), yang berasal dari Banua Anyar Alabio.

Pengembangan tarekat ini dilakukan Ayah Qurthubi dengan penuh ketekunan. Melalui proses yang panjang, akhirnya Ayah Qurthubi hijrah ke Palangka Raya. Mulai saat itulah Tarekat Junaidiyah berkembang bagus di Kota Cantik –julukan Palangka Raya.

Baca Juga :  Ada Keluarga Memilih Bertahan, Sebagian Mengungsi karena Kehabisan Susu

“Tarekat Junaidiyah adalah tarekat yang bersifat terbuka, artinya siapa saja boleh menjadi pengikut tanpa melihat latar belakang pendidikan atau status sosial. Amalan-amalannya tidak terlalu berat dan tidak banyak memakan waktu,” terang Cecep.

Dalam Tarekat Junaidiyah, pengajian dibagi dalam tiga tingkatan, yakni taslim, tafwidh, dan tabbari. Dikatakan Nor Jannah, mantan istri HM Qurtubi, taslim berarti pasrah, menyerah, dan tunduk di bawah perintah Allah Swt secara tulus ikhlas dalam bentuk lahiriah maupun batiniah. Taslim merupakan aktivitas seorang muslim, mencakup hati, lisan, dan seluruh anggota tubuh benar-benar menjunjung tinggi segala suruhan atau anjuran ajaran Islam tanpa ragu, enggan, apalagi menentang serta meningggalkan larangan tanpa merasa rugi, iri hati, dan menyesal.

“Kebenaran taslim itu dapat dibuktikan dengan kejujuran hati, kebenaran ucapan, dan ketakwaan seluruh anggota tubuh. Tidak mudah untuk mencapai taslim itu. Dapat dibuktikan dengan rintangan bagi seseorang yang memasuki pintu taslim, malah ada yang gagal atau tidak berhasil,” ucap Nor Jannah.

Selanjutnya tafwidh, yang berarti pelimpahan atau penuangan dan peletakan. Maksudnya ialah pelimpahan sesuatu hal kepada seseorang. Istilah tersebut digunakan ahli tarekat dalam kegiatan rohaniah sebagai sarana kebaktian jiwa kepada Allah Swt. Tidak ada yang berhak menerima urusannya itu kecuali yang empunya. Kemudian tabarri, yang berarti pembebasan atau pelepasan terhadap lingkungan atau belenggu dan pengaruh hawa nafsu.

Baca Juga :  Papua Istimewa

Tarekat adalah jalan yang mengantarkan penempuhnya untuk menyucikan jiwa, membersihkan dan meluruskan akhlak, dalam mendekatkan diri kepada jenjang-jenjang/martabat hati (maqâmât) yang harus dilalui. Masing-masing tarekat biasanya memiliki konsep, istilah, teori, maupun deskripsi.

“Dalam Tarekat Junaidiyah, maqamat tersebut dibagi menjadi tiga, yakni martabat Tharîqah al-Ûlâ, martabat Tharîqah al-Wusthâ, martabat Tharîqah al-Qushwa wa al-‘Ulyâ,” beber Nor Jannah.

Sebelum wafat, Ayah Qurthubi pernah berpesan kepada murid terdekatnya, Agus Bambang Sutadi, untuk menjaga Umi Nor Jannah sekaligus mengelola markas dan membimbing jemaah Junaidiyah. Kemudian beberapa waktu setelah wafatnya Ayah Qurthubi, Agus Bambang Sutadi (biasa dipanggil Abi Agus) menikahi Umi Nor Jannah. Suami istri inilah yang hingga saat ini menjaga, merawat, dan membina markas serta jemaah Terekat Junaidiyah di Palangka Raya. Pengajian tarekat ini masih terus dijalankan di Jalan Mendawai IV hingga saat ini, tiap malam Kamis.

Ada beberapa murid atau badal (penerus) Ayah HM Qurthubi. Mereka adalah Guru Tamidzi (wafat), M Syibli Sabari (wafat), Ustaz Suryani (wafat), Madian Asih (wafat), Kursani (wafat), Muhammad Ridwan, Suhardi, Abdul Fatah, dan Shalih. (bersambung/ce/ala)

 

Tarekat Junaidiyah merupakan satu dari sekian banyak tarekat yang berkembang di Indonesia. Guru H Muhammad Qurthubi adalah ulama yang membesarkan tarekat ini di Bumi Tambun Bungai, khususnya di Kota Palangka Raya dan Pulang Pisau (Pulpis).

IRPAN JURAYZ, Palangka Raya

TAREKAT Junaidiyah memiliki daya tarik tersendiri bagi para pengikutnya, karena amalan-amalan yang dijalankan dipandang sangat mudah, tidak eksklusif, serta sangat kompromistis dengan situasi kehidupan modern. Tarekat ini sangat mengedepankan syari’at dengan acuan utama Al-Qur’an dan hadis Rasul.

“Amalannya sederhana sehingga relatif mudah dikerjakan oleh siapa saja dengan beragam kesibukan,” ucap Cecep Zakarias El Bilad, penulis buku Tarekat Junaidiyah.

Cecep yang juga merupakan salah satu pengikut Tarekat Junaidiyah ini menjelaskan bagaimana perkembangan ajaran tersebut. Disebutkannya bahwa pendiri Tarekat Junaidiyah adalah Junaidi Al-Baghdadi. Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi. Di Indonesia, Tarekat Junaidiyah mulanya masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan, tepatnya di Banua Anyar Alabio. Dibawa oleh guru yang lama tinggal di Tanah Arab (Makkah), H Kasyful Anwar Firdaus (1902-1974), yang berasal dari Banua Anyar Alabio.

Pengembangan tarekat ini dilakukan Ayah Qurthubi dengan penuh ketekunan. Melalui proses yang panjang, akhirnya Ayah Qurthubi hijrah ke Palangka Raya. Mulai saat itulah Tarekat Junaidiyah berkembang bagus di Kota Cantik –julukan Palangka Raya.

Baca Juga :  Ada Keluarga Memilih Bertahan, Sebagian Mengungsi karena Kehabisan Susu

“Tarekat Junaidiyah adalah tarekat yang bersifat terbuka, artinya siapa saja boleh menjadi pengikut tanpa melihat latar belakang pendidikan atau status sosial. Amalan-amalannya tidak terlalu berat dan tidak banyak memakan waktu,” terang Cecep.

Dalam Tarekat Junaidiyah, pengajian dibagi dalam tiga tingkatan, yakni taslim, tafwidh, dan tabbari. Dikatakan Nor Jannah, mantan istri HM Qurtubi, taslim berarti pasrah, menyerah, dan tunduk di bawah perintah Allah Swt secara tulus ikhlas dalam bentuk lahiriah maupun batiniah. Taslim merupakan aktivitas seorang muslim, mencakup hati, lisan, dan seluruh anggota tubuh benar-benar menjunjung tinggi segala suruhan atau anjuran ajaran Islam tanpa ragu, enggan, apalagi menentang serta meningggalkan larangan tanpa merasa rugi, iri hati, dan menyesal.

“Kebenaran taslim itu dapat dibuktikan dengan kejujuran hati, kebenaran ucapan, dan ketakwaan seluruh anggota tubuh. Tidak mudah untuk mencapai taslim itu. Dapat dibuktikan dengan rintangan bagi seseorang yang memasuki pintu taslim, malah ada yang gagal atau tidak berhasil,” ucap Nor Jannah.

Selanjutnya tafwidh, yang berarti pelimpahan atau penuangan dan peletakan. Maksudnya ialah pelimpahan sesuatu hal kepada seseorang. Istilah tersebut digunakan ahli tarekat dalam kegiatan rohaniah sebagai sarana kebaktian jiwa kepada Allah Swt. Tidak ada yang berhak menerima urusannya itu kecuali yang empunya. Kemudian tabarri, yang berarti pembebasan atau pelepasan terhadap lingkungan atau belenggu dan pengaruh hawa nafsu.

Baca Juga :  Papua Istimewa

Tarekat adalah jalan yang mengantarkan penempuhnya untuk menyucikan jiwa, membersihkan dan meluruskan akhlak, dalam mendekatkan diri kepada jenjang-jenjang/martabat hati (maqâmât) yang harus dilalui. Masing-masing tarekat biasanya memiliki konsep, istilah, teori, maupun deskripsi.

“Dalam Tarekat Junaidiyah, maqamat tersebut dibagi menjadi tiga, yakni martabat Tharîqah al-Ûlâ, martabat Tharîqah al-Wusthâ, martabat Tharîqah al-Qushwa wa al-‘Ulyâ,” beber Nor Jannah.

Sebelum wafat, Ayah Qurthubi pernah berpesan kepada murid terdekatnya, Agus Bambang Sutadi, untuk menjaga Umi Nor Jannah sekaligus mengelola markas dan membimbing jemaah Junaidiyah. Kemudian beberapa waktu setelah wafatnya Ayah Qurthubi, Agus Bambang Sutadi (biasa dipanggil Abi Agus) menikahi Umi Nor Jannah. Suami istri inilah yang hingga saat ini menjaga, merawat, dan membina markas serta jemaah Terekat Junaidiyah di Palangka Raya. Pengajian tarekat ini masih terus dijalankan di Jalan Mendawai IV hingga saat ini, tiap malam Kamis.

Ada beberapa murid atau badal (penerus) Ayah HM Qurthubi. Mereka adalah Guru Tamidzi (wafat), M Syibli Sabari (wafat), Ustaz Suryani (wafat), Madian Asih (wafat), Kursani (wafat), Muhammad Ridwan, Suhardi, Abdul Fatah, dan Shalih. (bersambung/ce/ala)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/