Sosok ayah dan ibunya memiliki peran penting bagi Muhammaf Syafi’i Ma’arif dalam menghafal Al-Qur’an. Besar di Ponpes Salafiyah Iqro yang didirikan orang tuanya, Syafi’i tumbuh menjadi pemuda yang mencintai Al-Qur’an. Ia pun dipercaya menjadi guru tahfidz quran di pesantren yang didirikan oleh kedua orangtuanya itu.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
USIANYA masih sangat muda. Baru menginjak kepala dua. Sebentar lagi 21 tahun. Namanya Muhammad Syafi’i Ma’arif. Familiar? Mirip dengan sosok cendekiawan muslim Muhammadiyah bernama Syafi’i Ma’arif itu. Bedanya, kalau yang itu pakai nama depan Ahmad. Sama-sama menempuh karier di bidang agama. Sama-sama lahir dan tumbuh dari keluarga religius. Muhammad Syafi’i Ma’arif adalah hafidz Al-Qur’an 30 juz kelahiran Palangka Raya.
Dari kecil, dimotivasi oleh sang ayah dan dibimbing oleh sang ibu, Syafi’i sudah belajar Al-Quran. Bisa dibilang, Syafi’i diajarkan langsung Al Qur’an oleh kedua orangtuanya. Sang ayah, Almarhum H Umar Hasan, berperan sebagai motivator lisan. Sang ibu, Hj Hafizah (48), langsung membina hafalan dan rutin menagih setoran hafalan setiap harinya.
“Dari umur 15 tahun mulai hafalan Al-Qur’an. Sejak saat itu setiap hari rutin menyetor hafalan ke ibu. Rata-rata hafalan per hari satu halaman. Kadang bisa lebih, itu kalau lagi enak (mood-nya),” ungkap Syafi’i saat ditemui Kalteng Pos di Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Iqro Palangka Raya, Jalan Karanggan, Jumat (15/3).
Pemuda kelahiran 5 Juli 2003 ini pun konsisten melakukan aktivitas hafalannya sejak usia 15 tahun. Ia pun menargetkan agar setiap tahun mampu menghafal 10 juz. Meski berat, ia terus mencoba mencapai target tersebut. Tak jarang, rasa malas pun datang. Kendati demikian, sang ibu disiplin mengingatkannya agar selalu konsisten menyetorkan hafalan. Meski mood sedang buruk, ia tetap menyetorkan hafalan, paling tidak bisa satu halaman.
“Selama tiga tahun bisa hafal 30 juz. Hafalan dari umur 15 tahun, alhamdulillah di usia 17 tahun sudah hafal 30 juz. Saat ini terus menjaga hafalan dengan terus mengulang-ulangnya,” bebernya. Selain orangtua, sosok penting bagi proses menghafal Al-Qur’an darinya adalah para alumnus pondok yang bersedia mengajarkan ilmu menghafal dan membimbingnya.
Saat ini, di samping mematangkan hafalan, putra ketujuh dari 12 bersaudara ini juga merupakan pembina hafidz quran di Ponpes Salafiyah Iqro Palangka Raya. Ponpes tempat ia menimba ilmu sejak kecil. Menjadi guru yang mengajarkan materi tahfidz quran kepada para santri dan santriwati di ponpes yang sudah berdiri sejak 2004 itu. Besar di ponpes, Syafi’i mengambil sekolah paket penyetaraan dari SD hingga SMA. Kini ia sedang berkuliah enam semester di Program Studi Hukum Keluarga Islam, Universitas Muhammadiyah Palangka Raya.
Perjalanan menghafal 30 Juz Al-Qur’an bukanlah hal yang mudah. Harus terus dimotivasi, baik motivasi oleh orang lain maupun diri sendiri agar konsisten menjalankan proses hafalan. Sejak pertama ingin menghafal, Syafi’i mengaku sudah dimotivasi oleh orangtuanya bahwa dampak yang dirasakan ketika hafal Al-Qur’an tidaklah sekarang, tetapi untuk jangka panjang kehidupannya.
“Dulu belum terlalu banyak tempat penghafal al quran. Jadi memang orangtua bilang hafalan itu tidak dirasakan sekarang, tapi jangka panjang. Belajar Al-Qur’an, baik di dunia maupun di akhirat, pasti berguna,” tambahnya.
Syafi’i juga tertantang untuk mengikuti berbagai macam perlombaan yang dapat menguji hafalannya. Ia mengaku sering mengikuti lomba-lomba resmi yang diadakan oleh pemerintah. Sejak tahun 2014 dirinya mengikuti berbagai lomba resmi, yakni MTQ. Kalau yang kecil2 dari sekolah. Besar di pondok ini. Rasa malas pasti ada, tapi terus dimotivasi oleh almarhum ayah, didorong. Ayah pengurus pesantren. Tercatat, pada 2015 dirinya lolos cabang hafalan Al-Qur’an 10 juz sampai ke MTQ provinsi
“2018 juara satu MTQ provinsi bidang hafalan 10 juz, yang 30 juz baru mulai 2022 sih ikut lombanya, tapi juara juga, lupa berapa waktu itu. Di tahun 2023 juara tiga hafalan 30 juz,” tuturnya. (*bersambung/ala)