Sabtu, Mei 18, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Kasus DBD Tinggi, Daerah Belum Punya Rencana Menyediakan Vaksin

PALANGKA RAYA-Langkah penanganan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kalimantan Tengah (Kalteng) harus dimaksimalkan. Pasalnya, kasus penyakit tersebut meningkat sejak beberapa bulan terakhir, seiring masuknya musim hujan. Di samping memaksimalkan langkah pencegahan seperti menjaga kesehatan fisik dan kebersihan lingkungan, upaya penanganan juga harus dijalankan, seperti penelusuran epidemiologi hingga penyediaan vaksin DBD.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI sedang melakukan kajian untuk menjadikan program vaksinasi DBD sebagai program nasional 2025. Berbagai upaya dilakukan untuk bisa menanggulangi kasus DBD agar tidak terus meningkat, bahkan menimbulkan kematian. Salah satu upaya yang tengah digodok adalah vaksinasi DBD secara nasional. Namun program ini masih dalam proses pengkajian untuk diterapkan sebagai kebijakan nasional.

Sampai saat ini vaksinasi DBD belum disediakan secara gratis oleh pemerintah, mengingat biaya penyediaan yang tidak murah dan perlu ada pengkajian mendalam terkait kebutuhan vaksinasi itu. Tak terkecuali untuk di Kalteng.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalteng Suyuti Syamsul melalui Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Provinsi Kalteng, Riza Syahputra mengungkapkan, sampai saat ini wacana vaksinasi DBD masih dikaji Kemenkes RI. Sejauh ini vaksin DBD belum dibagikan ke dinkes-dinkes di tiap daerah.

“Pemerintah pusat melalui Kemenkes masih berwacana bagaimana cara menurunkan DBD, salah satu opsinya adalah dengan penyuntikan vaksin, tetapi biayanya tidak murah, apalagi harga vaksin DBD mahal, juga harus dipertimbangkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang banyak ini,” ungkap Riza kepada Kalteng Pos, Kamis (1/2).

Program khusus dari pemerintah terkait vaksinasi DBD memang belum ada. Namun sudah ada vaksinasi DBD yang dilakukan oleh swasta. Masyarakat bisa mendapatkan vaksinasi secara mandiri jika dirasa perlu.

“Kalau vaksinasi dilayani oleh swasta, masyarakat yang datang harus berbayar, tetapi itu di luar kewenangan pemerintah, terkait berapa peredaran jumlah vaksin di swasta, itu kami tidak monitor, tidak ada aturan kalau mereka harus melapor ke kami terkait vaksinasi,” ujarnya.

Baca Juga :  11 Kasus DBD Ditemukan Selama Dua Bulan

Riza tidak menampik bahwa memang ada beberapa pemerintah daerah yang menyediakan vaksinasi gratis. Contohnya, Pemerintah Kota (Pemko) Balikpapan. Pemerintah daerah setempat, ujarnya, memang sudah menganggarkan dana untuk pembelian vaksin DBD.

“Itu kan kebijakan dari Pemko Balikpapan, mereka mengadakan sendiri vaksin DBD untuk masyarakat, yang demikian bisa dilakukan oleh masing-masing daerah, tapi kami belum ada rencana ke sana,” jelasnya.

Maka dari itu, kebijakan ini masih dikaji oleh Kemenkes RI untuk diterapkan di tingkat kebijakan nasional.

Riza menambahkan, jika dianggap penting dan kajian yang dilakukan sudah komprehensif, maka kebijakan serupa juga bisa diterapkan di Kalteng oleh pemerintah daerah. Namun, tidak semua daerah cocok mengambil kebijakan tersebut. Tergantung kondisi tiap daerah.

“Sampai sekarang kami belum ada rencana untuk penyediaan vaksin DBD,” sebutnya.

Jika acuannya adalah persoalan meningkatnya kasus DBD, kata Riza, melonjaknya penyakit itu memang sudah menjadi tren peningkatan secara nasional. Masyarakat tidak perlu panik. Jika dibandingkan dengan kasus DBD se-Kalteng per Desember 2023 lalu, kasus DBD pada Januari 2024 tercatat menurun.

“Kalau terkait vaksin DBD oleh rumah sakit swasta di Palangka Raya, kemungkinan ada, tapi saya belum bisa memastikan, karena kami belum punya data,” tuturnya.

Sebagai upaya penanganan DBD di Kalteng saat ini, pihaknya menyediakan kebutuhan logistik yang sudah dikirim ke dinkes di tiap daerah. Logistik tersebut terdiri atas insektisida sebanyak 860 liter untuk keperluan fogging, larvasida untuk membasmi jentik nyamuk di genangan air sebanyak 1.030 kg, rapid test dengue untuk mendeteksi DBD sebanyak 96.800 test, dan mobil ULV (mobil untuk melakukan fogging secara besar), terutama ke daerah-daerah dengan kasus DBD yang tinggi.

Baca Juga :  Waspada, DBD Sudah Renggut Tiga Nyawa

“Kami mengirimkan logistik-logistik itu ke tiap dinkes kabupaten/kota, karena yang mengurus itu adalah yang punya wilayah, dalam hal ini dinkes kabupaten/kota,” ucapnya.

Riza menjelaskan, fogging tidak serta-merta dilakukan, tetapi harus ada penyelidikan epidemiologi terlebih dahulu. Misalnya di suatu lokasi terdapat orang yang terserang DBD, kemudian dirawat di rumah sakit. Lalu rumah sakit bersangkutan melapor ke dinkes kabupaten/kota setempat. Selanjutnya dinkes kabupaten/kota bekerja sama dengan puskesmas tempat asal pasien DBD.

“Dinkes kabupaten/kota yang nanti melakukan penyelidikan epidemiologi dengan mengecek tempat tinggal penderita DBD, memastikan apakah ada jentik nyamuk di rumah bersangkutan atau di sekitar rumahnya, barulah mengambil kesimpulan apakah perlu dilakukan fogging atau tidak,” terang Riza.

Karena itu, tidak semua kasus DBD di suatu lokasi langsung ditangani dengan upaya fogging. Butuh pengkajian terlebih dahulu. Sebab, jika semua kasus dilakukan fogging, malah akan menyebabkan semua predator pembunuh nyamuk demam berdarah dengue mati.

“Ini untuk meluruskan anggapan keliru masyarakat selama ini, yang langsung minta fogging ketika muncul kasus DBD di lingkungan mereka, padahal tidak semua mesti di-fogging,” jelasnya.

Di samping penanganan, Riza tetap menekankan kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan. Berdasarkan pendapat ahli, lanjutnya, sebenarnya cara mengatasi DBD cukup sederhana. Yakni dengan menyingkirkan nyamuk pembawa DBD. Karena itu, pemberantasan sarang nyamuk sangat direkomendasikan.

“Lebih bagus kami sarankan agar menjaga kebersihan lingkungan, jadi sampah-sampah dikubur, terutama yang bisa menampung genangan air. Juga pastikan untuk selalu menguras bak mandi serta menutup dan memberantas sarang nyamuk. Cara itu lebih murah dan sangat direkomendasikan untuk mencegah DBD,” tandasnya. (dan/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Langkah penanganan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kalimantan Tengah (Kalteng) harus dimaksimalkan. Pasalnya, kasus penyakit tersebut meningkat sejak beberapa bulan terakhir, seiring masuknya musim hujan. Di samping memaksimalkan langkah pencegahan seperti menjaga kesehatan fisik dan kebersihan lingkungan, upaya penanganan juga harus dijalankan, seperti penelusuran epidemiologi hingga penyediaan vaksin DBD.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI sedang melakukan kajian untuk menjadikan program vaksinasi DBD sebagai program nasional 2025. Berbagai upaya dilakukan untuk bisa menanggulangi kasus DBD agar tidak terus meningkat, bahkan menimbulkan kematian. Salah satu upaya yang tengah digodok adalah vaksinasi DBD secara nasional. Namun program ini masih dalam proses pengkajian untuk diterapkan sebagai kebijakan nasional.

Sampai saat ini vaksinasi DBD belum disediakan secara gratis oleh pemerintah, mengingat biaya penyediaan yang tidak murah dan perlu ada pengkajian mendalam terkait kebutuhan vaksinasi itu. Tak terkecuali untuk di Kalteng.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalteng Suyuti Syamsul melalui Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Provinsi Kalteng, Riza Syahputra mengungkapkan, sampai saat ini wacana vaksinasi DBD masih dikaji Kemenkes RI. Sejauh ini vaksin DBD belum dibagikan ke dinkes-dinkes di tiap daerah.

“Pemerintah pusat melalui Kemenkes masih berwacana bagaimana cara menurunkan DBD, salah satu opsinya adalah dengan penyuntikan vaksin, tetapi biayanya tidak murah, apalagi harga vaksin DBD mahal, juga harus dipertimbangkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang banyak ini,” ungkap Riza kepada Kalteng Pos, Kamis (1/2).

Program khusus dari pemerintah terkait vaksinasi DBD memang belum ada. Namun sudah ada vaksinasi DBD yang dilakukan oleh swasta. Masyarakat bisa mendapatkan vaksinasi secara mandiri jika dirasa perlu.

“Kalau vaksinasi dilayani oleh swasta, masyarakat yang datang harus berbayar, tetapi itu di luar kewenangan pemerintah, terkait berapa peredaran jumlah vaksin di swasta, itu kami tidak monitor, tidak ada aturan kalau mereka harus melapor ke kami terkait vaksinasi,” ujarnya.

Baca Juga :  11 Kasus DBD Ditemukan Selama Dua Bulan

Riza tidak menampik bahwa memang ada beberapa pemerintah daerah yang menyediakan vaksinasi gratis. Contohnya, Pemerintah Kota (Pemko) Balikpapan. Pemerintah daerah setempat, ujarnya, memang sudah menganggarkan dana untuk pembelian vaksin DBD.

“Itu kan kebijakan dari Pemko Balikpapan, mereka mengadakan sendiri vaksin DBD untuk masyarakat, yang demikian bisa dilakukan oleh masing-masing daerah, tapi kami belum ada rencana ke sana,” jelasnya.

Maka dari itu, kebijakan ini masih dikaji oleh Kemenkes RI untuk diterapkan di tingkat kebijakan nasional.

Riza menambahkan, jika dianggap penting dan kajian yang dilakukan sudah komprehensif, maka kebijakan serupa juga bisa diterapkan di Kalteng oleh pemerintah daerah. Namun, tidak semua daerah cocok mengambil kebijakan tersebut. Tergantung kondisi tiap daerah.

“Sampai sekarang kami belum ada rencana untuk penyediaan vaksin DBD,” sebutnya.

Jika acuannya adalah persoalan meningkatnya kasus DBD, kata Riza, melonjaknya penyakit itu memang sudah menjadi tren peningkatan secara nasional. Masyarakat tidak perlu panik. Jika dibandingkan dengan kasus DBD se-Kalteng per Desember 2023 lalu, kasus DBD pada Januari 2024 tercatat menurun.

“Kalau terkait vaksin DBD oleh rumah sakit swasta di Palangka Raya, kemungkinan ada, tapi saya belum bisa memastikan, karena kami belum punya data,” tuturnya.

Sebagai upaya penanganan DBD di Kalteng saat ini, pihaknya menyediakan kebutuhan logistik yang sudah dikirim ke dinkes di tiap daerah. Logistik tersebut terdiri atas insektisida sebanyak 860 liter untuk keperluan fogging, larvasida untuk membasmi jentik nyamuk di genangan air sebanyak 1.030 kg, rapid test dengue untuk mendeteksi DBD sebanyak 96.800 test, dan mobil ULV (mobil untuk melakukan fogging secara besar), terutama ke daerah-daerah dengan kasus DBD yang tinggi.

Baca Juga :  Waspada, DBD Sudah Renggut Tiga Nyawa

“Kami mengirimkan logistik-logistik itu ke tiap dinkes kabupaten/kota, karena yang mengurus itu adalah yang punya wilayah, dalam hal ini dinkes kabupaten/kota,” ucapnya.

Riza menjelaskan, fogging tidak serta-merta dilakukan, tetapi harus ada penyelidikan epidemiologi terlebih dahulu. Misalnya di suatu lokasi terdapat orang yang terserang DBD, kemudian dirawat di rumah sakit. Lalu rumah sakit bersangkutan melapor ke dinkes kabupaten/kota setempat. Selanjutnya dinkes kabupaten/kota bekerja sama dengan puskesmas tempat asal pasien DBD.

“Dinkes kabupaten/kota yang nanti melakukan penyelidikan epidemiologi dengan mengecek tempat tinggal penderita DBD, memastikan apakah ada jentik nyamuk di rumah bersangkutan atau di sekitar rumahnya, barulah mengambil kesimpulan apakah perlu dilakukan fogging atau tidak,” terang Riza.

Karena itu, tidak semua kasus DBD di suatu lokasi langsung ditangani dengan upaya fogging. Butuh pengkajian terlebih dahulu. Sebab, jika semua kasus dilakukan fogging, malah akan menyebabkan semua predator pembunuh nyamuk demam berdarah dengue mati.

“Ini untuk meluruskan anggapan keliru masyarakat selama ini, yang langsung minta fogging ketika muncul kasus DBD di lingkungan mereka, padahal tidak semua mesti di-fogging,” jelasnya.

Di samping penanganan, Riza tetap menekankan kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan. Berdasarkan pendapat ahli, lanjutnya, sebenarnya cara mengatasi DBD cukup sederhana. Yakni dengan menyingkirkan nyamuk pembawa DBD. Karena itu, pemberantasan sarang nyamuk sangat direkomendasikan.

“Lebih bagus kami sarankan agar menjaga kebersihan lingkungan, jadi sampah-sampah dikubur, terutama yang bisa menampung genangan air. Juga pastikan untuk selalu menguras bak mandi serta menutup dan memberantas sarang nyamuk. Cara itu lebih murah dan sangat direkomendasikan untuk mencegah DBD,” tandasnya. (dan/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/