Sabtu, Mei 18, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Mengenang Guru Syeikh Irham Fachruzie, Ulama Karismatik yang Wafat di Kota Cantik

Banyak Waktu Berdakwah, Dalam Setahun Hanya Dua Bulan di Rumah

Kecintaan murid kepada guru tiada batas. Meski guru sudah meninggal dunia, cinta murid tetap ada. Seperti cinta kepada Guru Syeikh Irham Fachruzie. Ia merupakan keturunan ulama terkenal, yakni zuriat ketujuh dari Datuk Kalampayan sekaligus sepupu dari ulama besar Guru Sekumpul.

 

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

 

SYEIKH Irham Fachruzie merupakan salah satu pendakwah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Kalimantan Tengah (Kalteng). Ia lahir tahun 1952 di Martapura, Kalimantan Selatan (Kalsel). Zuriat ketujuh dari Datuk Kalampayan dan sepupu dari ulama besar Guru Sekumpul ini mengikuti warisan datuk-datuknya. Syeikh Irham Fachruzie melaksanakan dakwah yang dimulai di wilayah Kalsel.

Tahun 2002, ia datang ke Kalteng dan mulai berdakwah di kota-kota kecil. Di tahun yang sama, ia memboyong istri dan anak-anaknya untuk menetap di Kecamatan Ketapang, Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).

Setelah tiga tahun melaksanakan syiar di Kalteng, tahun 2005 ia berangkat ke Pulau Jawa untuk berdakwah di sana. Setahun kemudian, ia kembali lagi ke Kalteng. Terhitung dari 2006 hingga wafat tahun 2008, ia sering bolak-balik Kalteng-Jawa untuk syiar. Menjelang kematiannya, Syeikh Irham Fachruzie masih melaksanakan dakwah di Jawa, kembali ke Martapura, selanjutnya ke Sampit. Secara tiba-tiba ia mengalami serangan jantung dan dilarikan ke rumah sakit.

Syeikh Irham Fachruzie meninggal dunia pada usia 56 tahun, tepatnya tanggal 28 Agustus 2008. Meninggalkan seorang istri dan lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Saat itu anak-anak beliau masih sekolah. Anak terakhir masih berusia dua tahun. Permintaannya sebelum meninggal, agar dimakamkan di Kota Palangka Raya, bukan di Sampit atau di tanah kelahirnnya Martapura.

Putra pertamanya, Maulidi Malik Rahman satu-satunya anak yang hingga saat ini masih menetap di Sampit. Sedangkan istri dan empat anak lainnya sudah kembali ke Martapura. Beberapa waktu ke depan, sudah direncanakan, Maulidi sebagai zuriat pertama akan tinggal di Kota Palangka Raya untuk mengurus makam ayahnya.

Baca Juga :  Makam Berada di Dua Tempat, Selalu Ramai Dikunjungi Peziarah

“Sebelum meninggal, ayah saya meminta tanah kepada Pak Riban Satia yang saat itu belum menjadi Wali Kota Palangka Raya, katanya untuk makam ketika meninggal dunia, tapi perkataan itu dianggap bercanda oleh Pak Riban, ternyata benar, setelah meminta tanah untuk makam itu, ayah saya meninggal dunia,” ungkap Maulidi saat dibincangi Kalteng Pos di lokasi makam Syeikh Irham Fachruzie, Minggu (19/3).

Bukan tanpa alasan, keinginan Syeikh Irham Fachruzie untuk dimakamkan di Kota Cantik –julukan Kota Palangka Raya lantaran saat itu belum banyak makam guru besar yang bisa menjadi tempat ziarah umat Islam. Atas permintaan itu, setelah meninggal, jenazah Syeikh Irham Fachruzie langsung dibawa dan dimakamkan di Kota Palangka Raya, tepat satu wilayah dengan Masjid Al-Ikhlas, Jalan D.A Tawa 1, depan Kantor Kecamatan Jekan Raya, Jalan Mahir Mahar, lingkar luar Kota Palangka Raya.

“Saat itu masjid sudah terbangun, tapi belum sempurna, ayah saya dimakamkan tepat di sebelah kiri masjid,” beber pria kelahiran Martapura, 10 Agustus 1995.

Makam yang sudah berusia 15 tahun itu belum ada pengurusnya. Namun kondisi makam tetap bersih dan terawat. Banyak orang yang dengan tulus dan ikhlas merawat makam tersebut. Apalagi tidak ada keluarga di kota ini yang secara langsung merawat dan membersihkannya.

“Saya pribadi sudah berencana pindah dan tinggal di Kota Palangka Raya agar bisa mengurus makam ayah, dulu memang pernah terbentuk kepengurusan, tapi masih belum jalan,” ucap anak tertua dari zuriat Syeikh Irham Fachruzie ini.

Makam Syeikh Irham Fachruzie tidak pernah sepi dari peziarah. Dalam sehari pasti ada peziarah yang datang. Tidak hanya dari Kalteng, tetapi juga dari wilayah Sulawesi dan Sumatera. Yang datang berziarah umumnya merupakan murid langsung maupun mereka yang ingin mendapatkan berkah guru.

“Karena keluarga tidak punya tempat tinggal di Palangka Raya, jadi biasanya datang berkunjung ke makam tiga kali dalam setahun,” tuturnya.

Baca Juga :  Seniman Harus Mencoba Hal Baru, Ikuti Perkembangan Zaman

Seperti saat itu, Minggu (19/3/2023) telah dilaksanakan haul ke-15 Syeikh Irham Fachruzie. Istri dan seluruh anak berkumpul di makam untuk kegiatan haul di Masjid Al-Ikhlas. Mengundang masyarakat umum dengan jumlah jemaah sekitar 400 orang. “Alhamdulillah antusias masyarakat cukup tinggi, banyak jemaah yang datang, hari ini saja ada beberapa peziarah yang datang dari daerah-daerah lain,” ujarnya.

Pria berusia 27 tahun ini menambahkan, ada hal yang berkesan semasa ayahnya masih hidup. Sang ayah menjalankan dakwah dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Bahkan sering menolak pemberian orang yang berlebihan.

“Tugas utama beliau berdakwah, untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarga memang terkadang menerima bantuan dari orang, tetapi beliau hanya menerima sesuai kebutuhan saja, mendapatkan uang tidak menjadi prioritas utama,” sebutnya.

Ada beberapa pesan Syeikh Irham Fachruzie yang selalu diingat anak-anaknya. Di antaranya, jangan menghina orang yang salah, jangan menyalahkan orang, dan jangan menilai orang. “Kami diajarkan untuk terus membersihkan hati dan berprasangka baik kepada orang,” katanya.

Sementara itu, istri Syeikh Irham Fachruzie, Eni Suriati selalu mendukung dakwah sang suami. Ia memang selalu mendampingi suami dalam berdakwah. Misal saja ikut diboyong ke Sampit saat masuk ke Kalteng. Namun tidak jarang ia ditinggal bersama anak-anaknya, saat Syeikh Irham Fachruzie berdakwah ke daerah-daerah.

“Kami sering ditinggal berdakwah, saya bersama anak-anak, dalam setahun mungkin hanya dua bulan di rumah, selebihnya beliau menghabiskan waktunya untuk berdakwah,” ucapnya saat dibincangi usai haul ke-15 suaminya itu.

Ketika wafat 15 tahun yang lalu, lanjutnya, sanga sumai tidak meninggalkan harta kekayaan. Sementara anak-anak masih kecil. Anak pertama mondok di pesantren, anak kedua SMP, anak ketiga SD, anak keempat TK, dan anak kelima baru berusia dua tahun. “Namun suami saya bilang serahkan semuanya kepada Allah Swt, alhamdulillah saya bisa menghidupi anak-anak saya hingga sekarang ini, bahkan ada yang sudah dewasa,” tutupnya. (*/ce/ala)

Kecintaan murid kepada guru tiada batas. Meski guru sudah meninggal dunia, cinta murid tetap ada. Seperti cinta kepada Guru Syeikh Irham Fachruzie. Ia merupakan keturunan ulama terkenal, yakni zuriat ketujuh dari Datuk Kalampayan sekaligus sepupu dari ulama besar Guru Sekumpul.

 

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

 

SYEIKH Irham Fachruzie merupakan salah satu pendakwah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Kalimantan Tengah (Kalteng). Ia lahir tahun 1952 di Martapura, Kalimantan Selatan (Kalsel). Zuriat ketujuh dari Datuk Kalampayan dan sepupu dari ulama besar Guru Sekumpul ini mengikuti warisan datuk-datuknya. Syeikh Irham Fachruzie melaksanakan dakwah yang dimulai di wilayah Kalsel.

Tahun 2002, ia datang ke Kalteng dan mulai berdakwah di kota-kota kecil. Di tahun yang sama, ia memboyong istri dan anak-anaknya untuk menetap di Kecamatan Ketapang, Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).

Setelah tiga tahun melaksanakan syiar di Kalteng, tahun 2005 ia berangkat ke Pulau Jawa untuk berdakwah di sana. Setahun kemudian, ia kembali lagi ke Kalteng. Terhitung dari 2006 hingga wafat tahun 2008, ia sering bolak-balik Kalteng-Jawa untuk syiar. Menjelang kematiannya, Syeikh Irham Fachruzie masih melaksanakan dakwah di Jawa, kembali ke Martapura, selanjutnya ke Sampit. Secara tiba-tiba ia mengalami serangan jantung dan dilarikan ke rumah sakit.

Syeikh Irham Fachruzie meninggal dunia pada usia 56 tahun, tepatnya tanggal 28 Agustus 2008. Meninggalkan seorang istri dan lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Saat itu anak-anak beliau masih sekolah. Anak terakhir masih berusia dua tahun. Permintaannya sebelum meninggal, agar dimakamkan di Kota Palangka Raya, bukan di Sampit atau di tanah kelahirnnya Martapura.

Putra pertamanya, Maulidi Malik Rahman satu-satunya anak yang hingga saat ini masih menetap di Sampit. Sedangkan istri dan empat anak lainnya sudah kembali ke Martapura. Beberapa waktu ke depan, sudah direncanakan, Maulidi sebagai zuriat pertama akan tinggal di Kota Palangka Raya untuk mengurus makam ayahnya.

Baca Juga :  Makam Berada di Dua Tempat, Selalu Ramai Dikunjungi Peziarah

“Sebelum meninggal, ayah saya meminta tanah kepada Pak Riban Satia yang saat itu belum menjadi Wali Kota Palangka Raya, katanya untuk makam ketika meninggal dunia, tapi perkataan itu dianggap bercanda oleh Pak Riban, ternyata benar, setelah meminta tanah untuk makam itu, ayah saya meninggal dunia,” ungkap Maulidi saat dibincangi Kalteng Pos di lokasi makam Syeikh Irham Fachruzie, Minggu (19/3).

Bukan tanpa alasan, keinginan Syeikh Irham Fachruzie untuk dimakamkan di Kota Cantik –julukan Kota Palangka Raya lantaran saat itu belum banyak makam guru besar yang bisa menjadi tempat ziarah umat Islam. Atas permintaan itu, setelah meninggal, jenazah Syeikh Irham Fachruzie langsung dibawa dan dimakamkan di Kota Palangka Raya, tepat satu wilayah dengan Masjid Al-Ikhlas, Jalan D.A Tawa 1, depan Kantor Kecamatan Jekan Raya, Jalan Mahir Mahar, lingkar luar Kota Palangka Raya.

“Saat itu masjid sudah terbangun, tapi belum sempurna, ayah saya dimakamkan tepat di sebelah kiri masjid,” beber pria kelahiran Martapura, 10 Agustus 1995.

Makam yang sudah berusia 15 tahun itu belum ada pengurusnya. Namun kondisi makam tetap bersih dan terawat. Banyak orang yang dengan tulus dan ikhlas merawat makam tersebut. Apalagi tidak ada keluarga di kota ini yang secara langsung merawat dan membersihkannya.

“Saya pribadi sudah berencana pindah dan tinggal di Kota Palangka Raya agar bisa mengurus makam ayah, dulu memang pernah terbentuk kepengurusan, tapi masih belum jalan,” ucap anak tertua dari zuriat Syeikh Irham Fachruzie ini.

Makam Syeikh Irham Fachruzie tidak pernah sepi dari peziarah. Dalam sehari pasti ada peziarah yang datang. Tidak hanya dari Kalteng, tetapi juga dari wilayah Sulawesi dan Sumatera. Yang datang berziarah umumnya merupakan murid langsung maupun mereka yang ingin mendapatkan berkah guru.

“Karena keluarga tidak punya tempat tinggal di Palangka Raya, jadi biasanya datang berkunjung ke makam tiga kali dalam setahun,” tuturnya.

Baca Juga :  Seniman Harus Mencoba Hal Baru, Ikuti Perkembangan Zaman

Seperti saat itu, Minggu (19/3/2023) telah dilaksanakan haul ke-15 Syeikh Irham Fachruzie. Istri dan seluruh anak berkumpul di makam untuk kegiatan haul di Masjid Al-Ikhlas. Mengundang masyarakat umum dengan jumlah jemaah sekitar 400 orang. “Alhamdulillah antusias masyarakat cukup tinggi, banyak jemaah yang datang, hari ini saja ada beberapa peziarah yang datang dari daerah-daerah lain,” ujarnya.

Pria berusia 27 tahun ini menambahkan, ada hal yang berkesan semasa ayahnya masih hidup. Sang ayah menjalankan dakwah dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Bahkan sering menolak pemberian orang yang berlebihan.

“Tugas utama beliau berdakwah, untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarga memang terkadang menerima bantuan dari orang, tetapi beliau hanya menerima sesuai kebutuhan saja, mendapatkan uang tidak menjadi prioritas utama,” sebutnya.

Ada beberapa pesan Syeikh Irham Fachruzie yang selalu diingat anak-anaknya. Di antaranya, jangan menghina orang yang salah, jangan menyalahkan orang, dan jangan menilai orang. “Kami diajarkan untuk terus membersihkan hati dan berprasangka baik kepada orang,” katanya.

Sementara itu, istri Syeikh Irham Fachruzie, Eni Suriati selalu mendukung dakwah sang suami. Ia memang selalu mendampingi suami dalam berdakwah. Misal saja ikut diboyong ke Sampit saat masuk ke Kalteng. Namun tidak jarang ia ditinggal bersama anak-anaknya, saat Syeikh Irham Fachruzie berdakwah ke daerah-daerah.

“Kami sering ditinggal berdakwah, saya bersama anak-anak, dalam setahun mungkin hanya dua bulan di rumah, selebihnya beliau menghabiskan waktunya untuk berdakwah,” ucapnya saat dibincangi usai haul ke-15 suaminya itu.

Ketika wafat 15 tahun yang lalu, lanjutnya, sanga sumai tidak meninggalkan harta kekayaan. Sementara anak-anak masih kecil. Anak pertama mondok di pesantren, anak kedua SMP, anak ketiga SD, anak keempat TK, dan anak kelima baru berusia dua tahun. “Namun suami saya bilang serahkan semuanya kepada Allah Swt, alhamdulillah saya bisa menghidupi anak-anak saya hingga sekarang ini, bahkan ada yang sudah dewasa,” tutupnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/